![]() |
Pedagang Hadramaut Arab |
Berdasarkan data
arkeologis seperti prasasti-prasasti maupun data historis berupa
berita-berita asing, kegiatan perdagangan di Kepulauan Indonesia sudah dimulai
sejak abad pertama Masehi. Jalur-jalur pelayaran dan jaringan perdagangan
Kerajaan Sriwijaya dengan negeri-negeri
di Asia Tenggara, India, dan Cina terutama berdasarkan
berita-berita Cina telah dikaji, antara lain oleh W. Wolters (1967). Demikian
pula dari catatan-catatan sejarah Indonesia dan Malaya yang dihimpun dari
sumber-sumber Cina oleh W.P Groeneveldt, telah menunjukkan adanya jaringan–jaringan perdagangan antara
kerajaan-kerajaan di Kepulauan Indonesia dengan berbagai negeri terutama dengan
Cina. Kontak dagang ini sudah berlangsung sejak abad-abad pertama Masehi sampai
dengan abad ke-16.
Kemudian kapal-kapal dagang Arab juga sudah mulai
berlayar ke wilayah Asia Tenggara sejak permulaan abad ke-7. Dari literatur
Arab banyak sumber
berita tentang perjalanan mereka ke Asia Tenggara.
Adanya jalur pelayaran tersebut menyebabkan munculnya jaringan perdagangan dan
pertumbuhan serta perkembangan kota-kota pusat kesultanan dengan kota-kota
bandarnya pada abad ke-13 sampai abad ke-18 misalnya, Samudera Pasai, Malaka,
Banda Aceh, Jambi, Palembang, Siak Indrapura, Minangakabau, Demak, Cirebon,
Banten, Ternate, Tidore, Goa-Tallo, Kutai, Banjar, dan kota-kota lainnya.
Dari sumber literatur Cina, Cheng Ho mencatat
terdapat kerajaan yang bercorak Islam atau kesultanan, antara lain, Samudera
Pasai dan Malaka yang tumbuh dan berkembang sejak abad ke-13 sampai abad
ke-15, sedangkan Ma Huan juga memberitakan adanya komunitas-komunitas Muslim di
pesisir utara Jawa Timur. Berita
Tome Pires dalam Suma
Oriental (1512-1515)
memberikan gambaran mengenai keberadaan jalur pelayaran jaringan perdagangan,
baik regional maupun internasional. Ia menceritakan tentang lalu lintas dan kehadiran
para pedagang di Samudra
Pasai yang berasal dari Bengal, Turki, Arab, Persia, Gujarat, Kling, Malayu, Jawa, dan
Siam.
Selain itu Tome Pires juga mencatat kehadiran para
pedagang di Malaka dari Kairo, Mekkah, Aden, Abysinia, Kilwa, Malindi, Ormuz,
Persia, Rum, Turki, Kristen Armenia, Gujarat, Chaul, Dabbol, Goa, Keling,
Dekkan, Malabar, Orissa, Ceylon, Bengal, Arakan, Pegu, Siam, Kedah, Malayu,
Pahang, Patani, Kamboja, Campa, Cossin Cina, Cina, Lequeos, Bruei, Lucus,
Tanjung Pura, Lawe, Bangka, Lingga, Maluku, Banda, Bima, Timor, Madura, Jawa, Sunda, Palembang,
Jambi, Tongkal, Indragiri, Kapatra, Minangkabau, Siak, Arqua, Aru, Tamjano,
Pase, Pedir, dan Maladiva.
Berdasarkan kehadiran sejumlah pedagang dari
berbagai negeri dan bangsa di Samudera Pasai, Malaka, dan bandar-bandar di
pesisir utara Jawa sebagaimana diceritakan Tome Pires, kita dapat mengambil kesimpulan adanya jalur-jalur
pelayaran dan jaringan perdagangan antara beberapa kesultanan di Kepulauan
Indonesia baik yang bersifat regional maupun internasional.
Hubungan pelayaran
dan perdagangan antara Nusantara dengan Arab meningkat
menjadi hubungan langsung dan dalam intensitas
tinggi. Dengan demikian aktivitas perdagangan dan pelayaran di
Samudera Hindia semakin ramai. Peningkatan pelayaran tersebut berkaitan erat dengan makin majunya perdagangan
di masa
jaya pemerintahan Dinasti Abbasiyah (750-1258). Dengan
ditetapkannya Baghdad menjadi pusat pemerintahan menggantikan Damaskus (Syam),
aktivitas pelayaran dan perdagangan di Teluk Persia menjadi lebih ramai.
Pedagang Arab yang selama ini hanya berlayar sampai
India, sejak abad ke-8 mulai masuk ke Kepulauan Indonesia dalam rangka
perjalanan ke Cina. Meskipun hanya transit, tetapi hubungan Arab dengan kerajaan-kerajaan di
Kepulauan Indonesia menjadi langsung. Hubungan ini menjadi
semakin ramai manakala pedagang Arab dilarang masuk ke Cina dan koloni mereka
dihancurkan oleh Huang Chou, menyusul suatu pemberontakan yang terjadi pada 879
H. Orang–orang Islam melarikan diri dari pelabuhan Kanton dan meminta perlindungan Raja Kedah dan
Palembang.
Ditaklukkannya
Malaka oleh Portugis pada 1511, dan usaha Portugis selanjutnya
untuk menguasai lalu lintas di selat tersebut, mendorong para pedagang untuk
mengambil jalur alternatif, dengan melintasi
Semenanjung atau pantai barat Sumatra ke Selat Sunda.
Pergeseran ini melahirkan pelabuhan perantara yang baru, seperti Aceh, Patani, Pahang, Johor, Banten, Makassar dan lain
sebagainya. Saat itu, pelayaran di Selat Malaka sering diganggu
oleh bajak laut. Perompakan laut sering terjadi pada jalur-jalur perdagangan
yang ramai, tetapi kurang mendapat pengawasan oleh penguasa setempat.
Perompakan itu sesungguhnya merupakan bentuk kuno
kegiatan dagang. Kegiatan tersebut dilakukan karena merosotnya keadaan politik
dan mengganggu kewenangan pemerintahan yang berdaulat penuh atau kedaulatannya
di bawah penguasa kolonial.
Akibat dari aktivitas bajak laut, rute pelayaran
perdagangan yang semula melalui Asia Barat ke Jawa lalu berubah melalui pesisir
Sumatra dan Sunda. Dari pelabuhan ini pula para pedagang singgah di Pelabuhan Barus, Pariaman, dan Tiku.
![]() |
Cengkeh |
Perdagangan pada wilayah timur Kepulauan Indonesia
lebih terkonsentrasi pada perdagangan
cengkih dan pala. Dari Ternate dan Tidore (Maluku) dibawa barang
komoditi ke Somba Opu, ibukota Kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan. Somba Opu
pada abad ke-16 telah menjalin hubungan perdagangan dengan Patani, Johor,
Banjar, Blambangan, dan Maluku.
Adapun Hitu (Ambon) menjadi pelabuhan yang menampung
komoditi cengkih yang datang dari Huamual
(Seram Barat), sedangkan komoditi pala berpusat di
Banda. Semua pelabuhan tersebut umumnya didatangi oleh para pedagang Jawa,
Cina, Arab, dan Makassar. Kehadiran pedagang itu mempengaruhi corak kehidupan
dan budaya setempat, antara lain
ditemui bekas koloninya seperti Maspait (Majapahit), Kota Jawa
(Jawa) dan Kota Mangkasare (Makassar).
Pada abad ke-15, Sulawesi Selatan telah didatangi
pedagang Muslim dari Malaka, Jawa, dan Sumatra. Dalam perjalanan sejarahnya,
masyarakat Muslim di Gowa terutama Raja Gowa Muhammad Said (1639-1653) dan
putra penggantinya, Hasanuddin (1653-1669)
telah menjalin hubungan dagang dengan Portugis. Bahkan Sultan
Muhammad Said dan Karaeng Pattingaloang turut memberikan saham dalam
perdagangan yang dilakukan Fr. Vieira, meskipun mereka beragama Katolik. Kerjasama ini didorong
oleh adanya usaha monopoli perdagangan rempah-rempah yang dilancarkan oleh kompeni Belanda di Maluku.
Hubungan Ternate, Hitu dengan Jawa sangat erat
sekali. Ini ditandai dengan adanya seorang raja yang dianggap benar-benar telah
memeluk Islam ialah Zainal Abidin (1486-1500) yang pernah belajar di Madrasah
Giri. Ia dijuluki sebagai Raja Bulawa, artinya raja cengkeh, karena membawa
cengkeh dari Maluku sebagai persembahan. Cengkih, pala, dan bunga pala (fuli)
hanya terdapat di Kepulauan Indonesia bagian timur, sehingga banyak barang
yang sampai ke Eropa harus melewati jalur perdagangan yang panjang dari Maluku sampai ke Laut Tengah.
Cengkih yang diperdagangkan adalah putik bunga
tumbuhan hijau (szygium aromaticum atau caryophullus aromaticus) yang
dikeringkan. Satu pohon ini ada yang menghasilkan cengkih sampai 34 kg.
Hamparan cengkih ditanam di perbukitan di pulau-pulau kecil Ternate, Tidore,
Makian, dan Motir di lepas
pantai barat Halmahera dan baru berhasil ditanam di pulau
yang relatif besar, yaitu Bacan, Ambon dan Seram.
Meningkatnya ekspor lada dalam kancah perdagangan
internasional, membuat pedagang nusantara mengambil alih peranan India sebagai pemasok utama bagi pasaran Eropa yang
berkembang dengan cepat. Selama periode (1500-1530) banyak terjadi gangguan di
laut sehingga bandar-bandar Laut Tengah harus mencari pasokan hasil bumi Asia ke Lisabon. Oleh karena itu secara
berangsur jalur perdagangan yang ditempuh pedagang muslim bertambah aktif,
ditambah dengan adanya perang di laut Eropa, penaklukan Ottoman atas Mesir (1517) dan pantai Laut Merah Arabia (1538) memberikan
dukungan yang besar bagi berkembangnya pelayaran Islam di Samudera Hindia.
Meskipun banyak kota
bandar, namun yang berfungsi untuk melakukan ekspor dan impor komoditi pada
umumnya adalah kota-kota bandar besar yang beribu kota pemerintahan di pesisir,
seperti Banten, Jayakarta, Cirebon, Jepara - Demak, Ternate, Tidore, Goa-Tallo, Banjarmasin, Malaka, Samudera Pasai,
Kesultanan Jambi, Palembang dan Jambi.
Kesultanan Mataram
berdiri dari abad ke-16 sampai
ke-18. Meskipun kedudukannya sebagai kerajaan pedalaman namun
wilayah kekuasaannya meliputi sebagian besar pulau Jawa yang merupakan hasil
ekspansi Sultan Agung. Kesultanan Mataram juga memiliki kota-kota bandar,
seperti Jepara, Tegal, Kendal, Semarang, Tuban, Sedayu, Gresik, dan Surabaya.
![]() |
situasi bandar Makassar |
Dalam proses
perdagangan telah terjalin hubungan antar etnis yang sangat erat. Berbagai etnis dari kerajaan-kerajaan
tersebut kemudian berkumpul dan membentuk komunitas. Oleh karena
itu,
muncul nama-nama kampung berdasarkan asal daerah. Misalnya,di Jakarta terdapat perkampungan Keling, Pakojan, dan
kampungkampung lainnya yang berasal
dari daerah-daerah asal yang jauh dari kota-kota yang dikunjungi, seperti
Kampung Melayu, Kampung Bandan, Kampung Ambon, dan Kampung Bali.
Pada zaman pertumbuhan
dan perkembangan Islam, sistem jual
beli barang masih dilakukan dengan cara barter. Sistem barter
dilakukan antara pedagang-pedagang dari daerah pesisir dengan daerah pedalaman,
bahkan kadang-kadang langsung kepada petani. Transaksi itu dilakukan di pasar, baik di kota maupun
desa. Tradisi jual-beli dengan sistem barter hingga kini masih dilakukan oleh
beberapa masyarakat sederhana yang berada jauh di daerah terpencil. Di beberapa kota pada masa
pertumbuhan dan perkembangan Islam telah menggunakan
mata uang sebagai nilai tukar barang. Mata uang yang dipergunakan tidak
mengikat pada mata uang tertentu, kecuali ada ketentuan yang diatur pemerintah
daerah setempat.
Kemunduran perdagangan
dan kerajaan yang berada di daerah tepi pantai disebabkan karena kemenangan
militer dan ekonomi dari
Belanda, dan munculnya kerajaan-kerajaan agraris di pedalaman yang
tidak menaruh perhatian pada perdagangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar