Selamat Datang di Blog Ninosnina ^_^

Bintang-ku

Sabtu, 23 Maret 2013

KESETARAAN DAN KEADILAN GENDER


Abstrak

Era reformasi membawa spirit penataan dan pembangunan system dalam semua dimensi kehidupan bangsa dan negara. Salah satu yang juga mendapat perhatian yaitu kekerasan, trafficking, perkosaan, plecehan seksual yang merugikan perempuan karena hak-hak azasinya diabaikan oleh negara. Karena itu pemerintah sebagai elemen penting dalam mengatasi persoalan itu juga harus turun tangan dengan membangun kebijakan serta perangkat pendukung dalam meminimalisi efek kekerasan itu dengan program-program yang terstruktur dan tersistematisasi. Program yang juga harus didukung oleh penyediaan dana yang memihak pada program-program strategis pemberdayaan dan pendidikan perempuan secara sustainable. Bagi perempuan yang tercerahkan yang berada di birokrasi, legislatif, pekerja sosial dan pemerintah pasti akan lebih mampu menata dirinya sendiri, juga kalau bisa ikut membantu menata mereka yang masih terpinggir atau yang belum menikmati pembangunan karena terikat pada tugas domestik, menyusui dan mengurus suami dengan langkahnya masing-masing. Bisa dengan kampanye anti kekerasan, membangun solidaritas dilingkungan masing-masing, serta bagi perempuan yang punya power dengan memperjuangkan nasib perempuan melalui kemitraan dengan mereka yang dilapangan untuk bersama-sama berjuang untuk perbaikan bangsa dengan membuat kebijakan di era reformasi yang bisa menolong perempuan lain terangkat, seperti apa yang sudah dilakukan ibu pembebasan kaum perempuan Indonesia RA. Kartini dalam gerakan emansipasi wanita dalam era kemerdekaan dahulu. Inilah tantangan yang ditunggu dari ibu-ibu Kartini modern dalam membebaskan kaumnya dari masa depan yang gelap, menuju masa depan yang terang.
Masalah kesetaran dan keadilan gender di Indonesia merupakan masalah yang sangat kompleks. Kondisi tersebut tidak saja di timbulkan oleh adanya ketimpangan struktural mengenai kedudukan dan peran kaum perempuan dalam keluarga dan masyarakat, tetapi juga di bentuk oleh berbagai elemen dan faktor cultural yang bersifat diskriminatif. Dan era reformasi yang terjadi saat ini, masih belum banyak memberikan perubahan mendasar terhadap posisi dan keberadaan kaum perempuan tersebut.

Kata kunci : Era reformasi, Perempuan, Kesetaraan dan keadilan gender.
A.    Deskripsi Singkat Kesetaraan Gender Menjadi Isu Global
Berdasarkan kodrati penciptaan Tuhan Yang Maha Esa, manusia diciptakan berpasang-pasangan yang terdiri atas perempuan dan laki-laki yang saling membutuhkan satu sama lainnya. Keduanya diciptakan berbeda agar bisa saling melengkapi sebagai makhluk sosial guna membangun suatu kekuatan (sinergi) baru yang lebih kuat dan bermanfaat.
Deklarasi Hak-hak Azazi Manusia (HAM) PBB (1948) menandai awal mulainya perjuangan kaum perempuan dalam mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender. Perjuangan kesetaraan dan keadilan gender sedang menjadi isu global yang sangat menarik perhatian dunia baik di tingkat global maupun di Indonesia. Perubahan tersebut sejalan dengan pergeseran paradigma pembangunan dari pendekatan keamanan dan kestabilan (security) menuju pendekatan kesejahteraan dan keadilan (prosperity) atau dari pendekatan produksi (production centered development) ke pendekatan kemanusian (people centered development) dalam suasana yang lebih demokratis dan terbuka. Seiring dengan era globalisasi total, maka isu kesetaraan gender menjadi isu global yang sangat relevan menyangkut keterpaduan antara kerjasama laki-laki dan perempuan.
Kesetaraan dan keadilan gender merupakan salah satu tujuan dari delapan tujuan  global negara-negara sedunia yang berkomitmen dalam Millenium Development Goals (MDGs). Target MDGs sampai dengan tahun 2015, yaitu: (1) Memberantas kemiskinan dan kelaparan, (2) Mewujudkan pendidikan dasar, (3) Meningkatkan persamaan gender dan pemberdayaan perempuan, (4) Mengurangi angka kematian bayi, (5) Meningkatkan kesehatan ibu, (6) Memerangi HIV/AIDS, malaria, dan penyakit lainnya, (7) Pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan, dan (8) Mengembangkan kemitraan global dalam pembangunan. Merujuk pada tujuan Internasional di atas, maka VISI Pembangunan Nasional Tahun 2004-2009 diarahkan untuk mencapai (1) Terwujudnya kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara yang aman, bersatu, rukun dan damai, (2) Terwujudnya masyarakat, bangsa, dan negara yang menjunjung tinggi hukum, kesetaraan, dan hak asasi manusia, dan (3) Terwujudnya perekonomian yang mampu menyediakan kesempatan kerja dan penghidupan yang layak serta memberikan fondasi yang kokoh bagi pembangunan yang berkelanjutan.
Selanjutnya berdasarkan VISI Pembangunan Nasional tersebut ditetapkan 3 (tiga) MISI Pembangunan Nasional Tahun 2004-2009, meliputi: (1) Mewujudkan Indonesia yang Aman dan Damai, (2) Mewujudkan Indonesia yang Adil dan Demokratis, dan (3) Mewujudkan Indonesia yang Sejahtera. Strategi Pembangunan Indonesia diarahkan pada dua sasaran pokok yaitu pemenuhan hak dasar rakyat serta penciptaan landasan pembangunan yang kokoh. Hak-hak dasar rakyat dalam bentuk bebas dari kemiskinan, pengangguran, keterbelakangan, ketidakadilan, penindasan, rasa takut, dan kebebasan mengemukakan pikiran dan pendapatnya memperoleh prioritas untuk diwujudkan. Pemenuhan hak dasar diantaranya adalah hak rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan pendidikan (RPJMN, tahun 2004-2009). Ketergantungan antara kaum laki-laki dan perempuan merupakan dasar dari prinsip kemitraan dan keharmonisan, meskipun dalam kenyataannya sering terjadi perlakuan diskriminasi, marjinalisasi, sub-ordinasi, beban ganda, dan tindak kekerasan dari satu pihak ke pihak lain. Perilaku yang tidak setara ini merupakan hasil akumulasi dan ekses dari nilai sosio-kultural suatu masyarakat yang berlangsung selama berabad-abad. Untuk itu perlu ada perubahan mind-set dari semua pihak untuk menyamakan pandangan tentang persepsi gender.
Perubahan mindset tentang pentingnya gender dalam pembangunan bagi pembuat kebijakan baik di pusat maupun di daerah, baik mulai pejabat Eselon I sampai IV, sangat diperlukan dengan alasan rasionalitas sebagai berikut:
1.    Sebagai warga negara baik laki-laki maupun perempuan dibawah lindungan Hukum baik nasional maupun internasional, maka setiap orang dijamin mempunyai kesamaan hak; keadilan; dan kesetaraan (partisipasi, akses/ kesempatan, kontrol dan manfaat). GENDER merupakan salah satu isu pada semua tujuan pembangunan global (tujuan ke-3 dari 8 tujuan utama, yaitu ”Meningkatkan persamaan gender dan pemberdayaan perempuan”).
2.    Setiap warga negara laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan perlindungan, kesempatan berusaha, kesempatan mendapatkan pendidikan, sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan VISI Pembangunan Nasional Tahun 2004-2009 diarahkan untuk mencapai:
a.    Terwujudnya kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara yang aman,bersatu, rukun dan damai.
b.    Terwujudnya masyarakat, bangsa, dan negara yang menjunjung tinggi hukum, kesetaraan, dan hak asasi manusia, dan
c.    Terwujudnya perekonomian yang mampu menyediakan kesempatan kerja dan penghidupan yang layak serta memberikan fondasi yang kokoh bagi pembangunan yang berkelanjutan.
3.    Kesetaraan dan keadilan gender selanjutnya ditujukan untuk melaksanakan MISI Pembangunan Nasional Tahun 2004-2009, yang meliputi:
a. Mewujudkan Indonesia yang Aman dan Damai.
b. Mewujudkan Indonesia yang Adil dan Demokratis.
c. Mewujudkan Indonesia yang Sejahtera.
4.    Namun demikian, kenyataan di lapangan, masih banyak ditemui adanya kesenjangan gender di segala bidang (sosial budaya, ekonomi, hukum, hankam, teknologi, pendidikan, tenaga kerja, dan kepemilikan properti) yang akar permasalahannya berasal dari kesenjangan sosiologis kultural di tingkat keluarga dan masyarakat lokal (adanya marjinalisasi, ketidakadilan dalam pembagian peran, pelabelan pada kaum perempuan, beban ganda pada perempuan, dan penyalahgunaan arti dan pengertian kodrati untuk memagari kaum perempuan agar tidak terlalu banyak berpartisipasi di sektor publik).
5.    Gender merupakan suatu konsep berkaitan dengan peran antara laki-laki dan perempuan (baik anak cacat/normal maupun anak berdasarkan perkembangannya apakah balita, anak, remaja, dewasa, atau lansia).
6.    Relasi gender adalah hubungan antara laki-laki dan perempuan berkaitan dengan pembagian peran yang dijalankan masing-masing pada berbagai tipe dan struktur keluarga (keluarga miskin/kaya, keluarga desa/kota, keluarga lengkap/tunggal, keluarga punya anak/tidak punya anak, keluarga pada berbagai tahapan life cycle dan keluarga petani/nelayan). Bahkan relasi gender ini juga diperluas secara bertahap berdasarkan luasan ekologi, mulai dari mikro, meso, ekso dan makro (keluarga inti, keluarga besar, masyarakat regional, masyarakat nasional, bangsa dan negara dan masyarakat internasional).
7.    Permasalahan gender bermula dari permasalahan relasi gender yang tidak seimbang dan merugikan salah satu pihak. Apabila relasi gender ini dianggap bermasalah dan merugikan salah satu pihak, maka dampak dari kesenjangan gender tersebut, tampak pada kehidupan keluarga yaitu adanya bias gender dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan tenaga kerja serta ekonomi yang semuanya membawa ketertinggalan kaum perempuan dibandingkan dengan laki-laki; meningkatkan aktivitas trafficking yang sebagian besar merugikan kaum perempuan dan anak-anak, meningkatkan frekuensi domestic violence (kekerasan dalam rumah tangga) yang kasusnya lebih besar menimpa kaum perempuan dibandingkan dengan laki-laki, dan masih adanya pengasuhan bias gender yang lebih menguntungkan anak laki-laki dibandingkan dengan perempuan.
8.    Dampak dari kesenjangan gender di tingkat keluarga akan meluas ke tingkat makro dengan kenyataan bahwa Bangsa Indonesia masih mengalami kualitas HDI yang rendah; pertumbuhan ekonomi yang terhambat; kualitas pendidikan rendah (APS, APK, APM rendah; Angka Buta Aksara tinggi), kualitas kesehatan rendah (AKI/AKB tinggi); masalah sosial yang tinggi (pengangguran, kriminalitas, trafficking), kualitas kesejahteraan keluarga dan masyarakat rendah atau kemiskinan struktural meningkat dan regeneratif, kualitas pemeliharaan lingkungan rendah (kerusakan hutan dan erosi serta polusi yang tinggi; transfer ketidakadilan dari generasi ke generasi konstan/ meningkat; dan urbanisasi/migrasi yang tinggi).
9.    Untuk mengatasi masalah tersebut, perlu suatu pemahaman dan kesadaran dari seluruh lapisan masyarakat dan juga dari seluruh aparatur negara di dalam memahami akar permasalahan. Untuk itu perubahan mind-set dalam pemahaman konsep gender dan pentingnya peran gender dalam pembangunan suatu negara harus dimulai dari sekarang.
10.    Di dalam menanggulangi kesenjangan gender yang sudah berabad-abad dimasyarakat, perlu dilakukan intervensi pihak pemerintah dalam merumuskan Kebijakan Pengarusutamaan Gender dan Anak (PUGA) Di Tingkat Nasional/ Propinsi/Kab./Kota melalui berbagai program dan kegiatan yang bersinergis antar stakeholder di berbagai jenjang pemerintahan untuk mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) mulai dari tingkat keluarga, masyarakat dan negara dengan memberikan akses, partisipasi, kontrol dan manfaat yang sama antara laki-laki dan perempuan. Dengan demikian konsep dan teori gender dalam menjelaskan kedudukan, peran, hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan dalam dimensi kesetaraan dan keadilan menjadi sangat relevan untuk dipelajari oleh para pejabat daerah.


URAIAN SEJARAH PERJUANGAN PEREMPUAN


A. SEJARAH PERJUANGAN PEREMPUAN DI INDONESIA

Di Indonesia, perjuangan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan khususnya dalam bidang pendidikan dimulai oleh RA Kartini sejak Tahun 1908. Dalam perjalanan selanjutnya, semangat perjuangan RA Kartini ditindaklanjuti oleh Kongres Perempuan Indonesia tanggal 22 Desember 1928 yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Ibu.
Di Era Orde Baru (Orba), pada Tahun 1978 dibentuk Kementrian Urusan Peranan
Wanita dalam kabinet. Orde Baru melakukan penyeragaman pada banyak hal atas nama kestabilan Negara. Kegiatan PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga) sebagai organisasi mandiri yang sudah dibentuk sejak 1957, diselipkan di bawah asuhan Menteri Dalam Negeri. Ideologinya adalah “Panca Dharma Wanita”, yaitu perempuan sebagai pendamping setia suami, ibu pendidik anak, pengatur rumah tangga, sebagai pekerja penambah penghasilan keluarga, dan sebagai anggota masyarakat yang berguna. Semua kewajiban itu dilakukan dalam konteks cara
pandang sesuai dengan “kodrat wanita”.
Walaupun begitu, isu emansipasi menghangat, seiring dengan menguatnya tuntutan atas peran perempuan dalam pembangunan di tingkat internasional. Legitimasi terhadap itu berjalan mulus lewat jargon “Kemitrasejajaran Perempuan dan Lakilaki”, yang tercantum wacana “Peranan Wanita Dalam Pembangunan” dalam setiap Repelita produk Orde Baru. Hanya saja, kebijakan ini ternyata menimbulkan efek yang lebih berat pada perempuan Indonesia berupa beban ganda. Tahun 1974, Undang-Undang tentang Perkawinan akhirnya disahkan, mengakhiri pasang-surut perdebatan selama puluhan tahun sejak gagasannya dicetuskan oleh gerakan perempuan pada masa kolonial. Tak ada reaksi yang cukup signifikan atas pengesahan tersebut.
Di sisi lain, sekitar tahun 1970-1980an, benih-benih gerakan perempuan kontemporer mulai bersemi di kalangan menengah intelektual. Dikenal dengan sebutan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau Non-Government Organization (NGO). Kalangan ini mulai menjalin kontak dan memperluas lingkup gerak hingga ke tingkat internasional, memberi kesempatan untuk bekerjasama dengan dunia luar.
Perjuangan untuk meningkatkan kualitas perempuan serta menegakkan kesetaraan dan keadilan gender di Era Orde Baru agak tenggelam, namun semangat itu bangkit kembali sejak Era Kabinet Persatuan Nasional. Walaupun sudah banyak upaya dan perjuangan dalam meningkatkan kesetaraan dan keadilan gender, baik di dunia internasional maupun di Indonesia, kondisi kesenjangan gender masih dijumpai. Pada periode Habibie, satu hal yang perlu dicatat adalah pembentukan Komisi Nasional Perlindungan Kekerasan terhadap Perempuan, atau yang lebih dikenal dengan Komnas Perempuan. Lembaga yang dibentuk pada Tahun 1999 lewat Instruksi Presiden ini merupakan jawaban atas tuntutan sejumlah tokoh perempuan kepada Presiden Habibie untuk menyikapi upaya penyelesaian atas tragedy kerusuhan 12-14 Mei 1998 di Jakarta. Dalam perkembangannya hingga sekarang, Komnas Perempuan banyak berperan sebagai lembaga yang aktif memasyarakatkan pengakuan atas hak-hak perempuan sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM).
Dalam periode kepemimpinan Presiden Abdurrachman Wahid, dikeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 9 Tahun 2000 tentang Program Pengarusutamaan Gender (PUG). Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan mulai gencar menggemakan kampanye isu kesetaraan dan keadilan gender (KKG). Pada kepemimpinan Presiden Megawati Sukarnoputri, Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan tetap melanjutkan Inpres No. 9 Tahun 2000 dengan fokus perhatian utama pada partisipasi perempuan dalam kehidupan publik dan jabatan politik-strategis. Tuntutan kuota 30 persen bagi calon perempuan untuk kursi legislatif, disetujui dalam Undang-undang Pemilihan Umum yang baru pada Pasal 65. Pada Pemilihan Umum tahun 2004, hanya 11 persen legislatif perempuan. Pada tahun yang sama, pasangan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Yusuf Kalla terpilih mengangkat 4 orang perempuan dalam kabinetnya.

B. Sejarah Perjuangan Perempuan di Dunia Internasional
Perjuangan perempuan muncul dari adanya kesadaran perempuan akan ketertinggalannya dibandingkan dengan laki-laki dalam berbagai aspek. Untuk mengejar ketertinggalannya tersebut telah dikembangkan konsep emansipasi (kesamaan) antara perempuan dan laki-laki yang diawali dengan timbulnya gerakan global yang dipelopori oleh perempuan dan berhasil mendeklarasikan melalui badan ekonomi sosial PBB (ECOSOC) yang diakomodasi Pemerintah Indonesia dengan dibentuknya Komite Nasional Kedudukan Wanita Indonesia (KNKWI). Selanjutnya di Mexico City diselenggarakan Konferensi Dunia yang Pertama tentang Perempuan World Conference International Year of Women oleh PBB dan diperkenalkan tema perempuan dalam pembangunan (WID). Diperoleh gambaran bahwa di negara manapun status perempuan lebih rendah dari pada laki-laki dan terbelakang dalam berbagai aspek kehidupan baik sebagai pelaku maupun penikmat hasil pembangunan. Untuk meningkatkan status dan kualitas perempuan telah dilakukan berbagai program dan kegiatan pemberdayaan perempuan, namun hasilnya masih belum memadai. Kesempatan kerja perempuan belum membaik, beban kerja masih berat, dan pendidikan masih rendah. Dari keadaan tersebut lahir pemikiran bahwa hubungan/relasi yang timpang antara perempuan dan laki-laki di dalam dan diluar keluarga perlu dirubah. Artinya, diperlukan serangkaian perubahan struktural yaitu perubahan relasi sosial dari yang timpang korelasi sosial yang setara dimana keduanya merupakan faktor penting dalam menentukan berbagai hal yang menyangkut kehidupan keluarga. Pada tahun 1980 diselenggarakan Konferensi Dunia tentang perempuan World Conference UN Mid-Decade of Women yang kedua di Kopenhagen, untuk melihat kemajuan dan evaluasi tentang upaya berbagai negara peserta, tentang keikutsertaan perempuan dalam pembangunan. Kemudian dalam konferensi tersebut disahkan UN Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW). Pada tahun 1985 diadakan Konferensi Perempuan ketiga di Nairobi, dengan nama World Conference On Result Of Ten Years Women Movement yang menjelaskan Nairobi Looking Forward Strategies for the Advancement of Women. Salah satu kesepakatan Nairobi adalah bahwa gender digunakan sebagai alat analisis untuk mengkaji mengapa terjadi berbagai ketimpangan antara perempuan dan laki-laki di berbagai bidang kehidupan. Selanjutnya PBB membentuk satu badan yang disebut The United Nations Fund for Women (UNIFEM), untuk melakukan studi, advokasi, kolaborasi dan mendanai kegiatan kesetaraan gender, namun hasilnya kurang memadai. Kemudian dari berbagai studi, tema WID (Women in Development) atau perempuan dalam pembangunan diubah menjadi WAD (Women and Development) atau perempuan dan pembangunan. Pada perkembangan selanjutnya studi Anderson dan Moser merekomendasikan bahwa tanpa keterlibatan laki-laki maka program pemberdayaan perempuan tidak akan berhasil dengan baik sehingga dipergunakan pendekatan gender yang dikenal dengan Gender And Development (GAD).
ICPD di Cairo tahun 1994, dan selanjutnya pada tahun 1995, konferensi dunia tentang perempuan yang keempat di Beijing telah menyepakati 12 isu kritis yang perlu mendapat perhatian dunia dan segera ditangani. World Conference on Women Beijing menyepakati berbagai komitmen operasional tentang perbaikan status dan peranan perempuan dalam pembangunan yang dimulai dari perumusan kebijakan, pelaksanaan, sampai dengan menikmati hasil-hasil pembangunan (Beijing Platform for Action).

C. Permasalahan Umum Perempuan di Indonesia dan di Tingkat Internasional
1. Permasalahan Umum Perempuan di Indonesia
Berikut ini diuraikan permasalahan gender yang didominasi oleh permasalahan di pihak kaum perempuan. Di Indonesia terdapat beberapa hal yang merendahkan harkat dan martabat perempuan sebagai keprihatinan bersama, antara lain seperti:
a.    Masih banyak peraturan perundang-undangan yang diskriminatif terhadap kaum perempuan terutama di tempat kerja dan tingkat upah/gaji.
Contoh: Undang-undang Ketenagakerjaan yang masih bias gender dengan penetapan upah yang tidak sama antara laki-laki dan perempuan.
b.    Banyak terjadi tindak kekerasan, perkosaan, dan penyiksaan fisik terhadap kaum perempuan tanpa mendapat perlindungan hukum yang memadai.
Contoh: Terjadinya kekerasan fisik istri oleh suami, perkosaan, dan penindasan terhadap pekerja perempuan.
c.    Pemahaman dan penafsiran ajaran agama yang salah atau bercampur-aduk dengan budaya yang tidak berpihak terhadap perbaikan status perempuan.
Contoh: Bapak adalah kepala rumah tangga, sehingga bapak berkewajiban memberi nafkah sebenarnya itu tidak berarti bahwa ibu tidak boleh bekerja mencari nafkah.
d.    Diskriminasi dalam kesempatan pendidikan, pelatihan dan kesempatan kerja bagi perempuan.
Contoh: Dalam keluarga yang tidak mampu/memiliki keterbatasan ekonomi, kesempatan lebih banyak diberikan kepada anak laki-laki untuk memperoleh pendidikan.
e.    Masih banyak anggapan yang merendahkan/meremehkan kaum perempuan.
Contoh: ”Ah kamu perempuan tahu apa”.
f.    Masih ada budaya adat istiadat yang bias gender.
Contoh: Laki-laki tidak boleh melakukan pekerjaan yang biasa dilakukan oleh perempuan atau sebaliknya seperti mengasuh anak untuk laki-laki dan memperbaiki atap untuk perempuan.
g.    Hak-hak reproduksi masih belum banyak dipahami oleh masyarakat misalnya, dalam menentukan jumlah anak, menentukan keikutsertaan dalam ber KB, masih di dominasi kaum laki-laki (suami).

2. Masalah yang Dihadapi Perempuan di Tingkat Internasional

Dari hasil konferensi di Beijing 1995 diidentifikasi sejumlah masalah yang banyak dihadapi oleh kaum perempuan di sebagian besar dunia. Kumpulan masalah tersebut dikenal dengan adanya 12 isu keprihatinan Beijing sebagai berikut:
a)    Masalah perempuan dan kemiskinan terutama karena kemiskinan structural akibat dari kebijaksanaan pembangunan dan sosial budaya yang berlaku.
b)    Keterbatasan kesempatan pendidikan dan pelatihan bagi kaum perempuan untuk meningkatkan posisi tawar menawar menuju kesetaraan gender.
c)    Masalah kesehatan dan hak reproduksi perempuan yang kurang mendapat perlindungan dan pelayanan yang memadai.
d)    Kekerasan fisik/non fisik terhadap perempuan baik dalam rumah tangga maupun ditempat kerja tanpa mendapat perlindungan secara hukum.
e)    Perempuan di tengah wilayah konflik militer dan kerusuhan, banyak yang menjadi korban kekejaman dan kekerasan pihak yang bertikai. Meskipun hal ini sudah dijamin oleh Konvensi Geneva, 1949.
f)    Terbatasnya akses kaum perempuan untuk berusaha dibidang ekonomi produktif, termasuk mendapatkan modal dan pelatihan usaha.
g)    Keikutsertaan perempuan dalam merumuskan dan mengambil keputusan dalam keluarga, masyarakat dan negara masih sangat terbatas.
h)    Terbatasnya lembaga-lembaga dan mekanisme yang dapat memperjuangkan kaum perempuan baik dalam sektor pemerintah maupun non-pemerintah (swasta).
i)    Perlindungan dan pengayoman terhadap hak-hak asasi perempuan secara sosial maupun hukum masih lemah.
j)    Keterbatasan akses kaum perempuan terhadap media massa, sehingga ada kecenderungan media informasi menggunakan tubuh wanita sebagai media promosi dan eksplotasi murahan.
k)    Kaum perempuan paling rentan terhadap pencemaran lingkungan seperti air bersih, sampah industri, dan lingkungan lain.
l)    Terbatasnya kesempatan dalam mengembangkan potensi dirinya dan tindak kekerasan terhadap anak perempuan.













Tidak ada komentar:

Posting Komentar