3. PANDANGAN BERBAGAI AGAMA TENTANG GENDER
3.1. Gender Menurut Agama Islam
Sejak 15 abad yang lalu Islam telah meghapuskan diskriminasi
berdasarkan jenis kelamin. Islam memberikan posisi yang tinggi kepada
perempuan. Prinsip kesetaraan dan keadilan gender dalam Islam tertuang
dalam kitab Suci Al-Quran. Dalam ajaran Islam tidak dikenal adanya isu
gender yang berdampak merugikan perempuan. Islam bahkan menempatkan
perempuan pada posisi yang terhormat, mempunyai derajat, harkat, dan
martabat yang sama dan setara dengan laki-laki.
Islam
memperkenalkan konsep relasi gender yan mengacu kepaa ayat-ayat Al-Quran
substantive yang sekaligus menjadi tujuan umum syariah. Adalah suatu
kenyataan, masih banyak masyarakat, tidak terkecuali beberapa guru agama
yang belum memahami makna qodrat, apabila berbicara soal jenis kelamin
perempuan, dikaitkan dengan upaya mewujudkan keadilan dan kesetaraan
gender. Salah satu akibat dari salah memahami makna qodrat yang
dikacaukan dengan peran gender adalah berbagai predikat yang bisa
gender. Banyak orang menduga bahwa fungsi reproduksi menjadi alasan
untuk mempertahankan domestikasi, sub ordinasi, marginalisasi, dan
diskriminasi terhadap perempuan.
Al-Quran sebagai “Hudan
linnasi”, petunjuk bagi umat manusia, dan kehadiran Nabi Muhammad
Rasulullah SAW dengan sunnahnya, sebagai “Rahmatan lil alamin”, tentu
saja menolak anggapan di atas. Islam datang untuk membebaskan manusia
dari berbagai bentuk ketidakadilan. Sejak awal dipromosikan, Islam
adalah agama pembebasan.
Islam adalah agama ketuhanan
sekaligus agama kemanusiaan dan kemasyarakatan. Dalam pandangan Islam,
manusia mempunyai dua kapasitas, yaitu sebagai hamba dan sebagai
representasi Tuhan (khalifah) tanpa membedakan jenis kelamin, etnik, dan
warna kulit. Islam mengamanatkan manusia untuk memperhatikan konsep
keseimbangan, keserasian, keselarasan, dan keutuhan, baik sesama manusia
maupun manusia dengan lingkungan alamnya.
3.2. Gender Menurut Agama Katholik
Ajaran resmi Agama Katholik yang khusus berbicara mengenai kesetaraan
dan keadilan gender belum ada, namun cukup banyak pernyataan resmi
gereja memperlihatkan bahwa laki-laki dan perempuan menempati kedudukan
yang setara. Hal ini dapat dijumpai pada kitab Sui (Biblis) maupun dalam
ajaran-ajaran gereja yang memuat mengenai kesamaan harkat dan martabat
laki-laki dan perempuan.
Ajaran gereja (magisterium) juga banyak
memuat mengenai bagaimana kesamaan martabat dan tanggung jawab antara
laki-laki dan perempuan dalam kehidupan berkeluarga, tentang hak-hak
serta peranan perempuan yang sama dengan laki-laki, juga mengenai
perempuan dan masyarakat.
Pandangan Agama Katholik tentang gender,
relasi antara perempuan dan laki-laki, dapat dilihat dalam kitab-kitab
Suci da tradisi, Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, sampai dalam
ajaran gereja Kausili yang memuat mengenai masalah kesamaan harkat dan
martabat laki-laki dan perempuan.
3.3. Gender Menurut Agama Kristen Protestan
Alkitab Agama Kristen Protestan memaparkan bagaimana Allah mewujudkan
kapi kasihNya terhadap manusia tanpa memandang jenis kelamin apa dia,
dari golongan mana, berapa usianya, terang kasih Allah yang digenapi
dalam pengorbanan Yesus Kristus adalah dunia yang dialami oleh manusia,
laki-laki dan perempuan, tua dan muda.
Dalam Agama Kristen
Protestan, Allah menciptakan manusia laki-laki dan perempuan dari debu
tanah sama dan dibentuk sedemikian rupa menurut rupa dan gambarnyadan
Allah melihat bahwa ciptaannya itu sungguh amat baik. Pada dasarnya
perbedaan kodrat laki-laki dan perempuan berkaitan dengan fungsi
biologis dan perbedaan itu adalah untuk saling melengkapi agar menjadi
utuh. Dalam injil-injil synopsis dikatakan bahwa Yesus hadir dengan
sikap yang baru terhadap perempuan, yaitu menghargai dn member kepada
perempuan yang ditemuinya kepercayaan yang besar. Sikap Yesus terhadap
perempuan juga ditunjukkan kepada perempuan yang baik-baik maupun
perempuan pendosa. Adanya contoh-contoh yang bisa gender yang terdapat
dalam Alkitab maupun dari tokoh-tokoh gereja adalah ketidakadilan gender
yang lahir karena alasanalasan non teologis. Kaum teolog feminis
Kristen Protestan berpendapat perlunya mendekonstruksikan dan
menginterpretasikan kembalinya Alkitab melalui pandangan yang responsive
gender, sehingga nilai-nilai yang luhur dan sesuai maksud penciptaan
Allah bagi manusia muncul dipermukaan.
3.4. Gender Menurut Agama Budha
Dalam kehidupan bermasyarakat, Sang Budha tidak membedakan peran serta
laki-laki dan perempuan. Mereka mempunyai peran yang setara dan adil.
Seperti juga laki-laki, seorang perempuan dapat menjadi majikan, atasan
atau guru (Bahramana) sesuai dengan khotbah Sang Budha. Mengacu pada
perkembangan Budha Dharma 2555 tahun yang lalu, pemberdayaan dan
kemitrasejajaran perempuan telah diperjuangkan dan ditumbuhkembangkan
oleh Sang Budha. Hal ini dapat dikaji dari kisah-kisah siswa Budha yang
sebagian adalah perempuan dan diterangkan pula bahwa perempuan membawa
peranan penting dala perkembangan agama Budha.
Kesetaraan
gender dalam Agama Budha didasari kewajiban dan tangungjawab bersama
dalam rumah tangga dan adanya kehendak bersama dalam menjalankan
kehidupan berumah tangga. Menurut Agama Budha, manusia terdiri dari
laki-laki dan perempuan yang muncul bersama di atas bumi ini, dan dia
dapat terlahir sesuai dengan karmanya masing-masing, sehingga kedudukan
laki-laki dan perempuan dalam Agama Budha tidak dibicarakan sebagai
sesuatu yang bermasala. Agama Budha membimbing umatnya kepada lebih
menghargai gender.
Pada Paninivana Sutta, Sang Budha
mengatakan, seluruh umat manusia tanpa tertinggal memiliki jiwa Budha.
Laki-laki dan perempuan mempunyai tugas hidup yang agung, karenanya agar
terjadi keseimbangan dalam menjalankan fungsi kehidupannya, maka
keduanya mempunyai karakter yang tampak berlawanan, padahal justru dari
hal inilah muncul keseimbangan.
3.5. Gender Menurut Agama Hindu
Tujuan hidup umat manusia menurut ajaran agama Hindu ada empat, yang
dalam bahasa Sansekerta disebut Catur Parusharta (empat tujuan utama),
yaitu Dharma, Arta, Karna, dan Moksa.
Pengertian gender dalam
Agama Hindu merupakan hubungan social yang membedakan perilaku antara
perempuan secara proporsional menyangkut moral, etika, dan budaya,
bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan diharapkan untuk berperan
dan bertindak sesuai dengan ketentuan social, moral, etika dan budaya
dimana mereka berada. Ada yang pantas dikerjakan oleh laki-laki ditinjau
dari sudut social, moral, dan budaya, tetapi tidak pantas dikerjakan
oleh perempuan, demikian pula sebaliknya.
Sesuai dengan ajaran
Agama Hindu, gender bukan merupakan perbedaan social antara laki-laki
dan perempuan. Agama Hindu mengajarkan bahwa seluruh umat manusia
diperlakukan sama di hadapan Tuhan sesuai dengan dharma baktinya.
Manusia yang lahir ke dunia merdeka dan mempunyai martabat serta hak
yang sama di hadapan Tuhan Yang Maha Esa, baik laki-laki maupun
perempuan. Istilah dewa-dewi, Lingga yoni dalam ajaran Hindu
menggambarkan bahwa dualism ini sesungguhnya ada dan saling membutuhkan
karena Tuhan Yag Maha Esa menciptakan semua makhluk hidup selalu
berpasanga. Di dalam kitab suci hubungan suami dan istri dalam ikatan
perkawinan disebut sebagai satu jiwa dari dua badan yang berbeda.
Lebih jauh di dalam Manapadharmasastra diuraikan bahwa Tuhan Yang Maha
Esa menciptakan alam semesta beserta segala isinya dalam wujud
“Ardha-nari-isvari”, sebagai sebagian laki-laki dan sebagian lagi
sebagai perempuan.
4. KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN
4.1. Latar Belakang
Data
statistic penduduk Indonesia menunjukkan bahwa jumlah kaum perempuan
Indonesia persentasenya lebih besar dari kam laki-laki, yaitu 50,3%.
Dengan jumlah tersebut, apabila didukung oleh kualitas yang tinggi, maka
perempuan Indonesia akan menjadi potensi produktif dan merupakan modal
bagi pembangunan.
Kenyataan yang ada sekarang ni adalah kedudukan
dan peran perempuan Indonesia walaupun telah diupayakan selama dua
dasawarsa, belum memadaidan menggembirakan. Ini disebabkan karena selama
ini pendekatan pembangunan belum secara merata mempertimbangkan manfaat
pembangunan secara adil bagi perempuan dan laki-laki sehingga hal
tersebut turut member kontribusi terhadap timbulnya ketimpangan dan
ketiakadilan gender.
Ketidaksetaraan dan ketidakadilan gende
dikenal dengan istilah kesenjangan gender (gender gap) yang pada
gilirannya menimbulkan permasalahan gender. Salah satu indicator yang
dapat digunakan untuk mengukur kesenjangan Gender Adalah Gender
Empowerment Measurement (GEM) dan Gender Related Development Index
(GRDI) yang merupakan bagian tak terpisahkan dari Human Development
Index (HDI).
Berdasarkan Human Development Report tahun 2002, GDI
Indonesia menempati peringkat 91 dari 173 negara. Sedangkan HDI berada
pada peringkat 110 dari 173 negara Ini masih tertinggal disbanding
Negara-negara di ASEAN, misalnya Malaysia, Thailand, dan Philipina yang
masing-masing berada pada peringkat 59, 70, dan 77 untuk HDI, dan pada
peringkat 54, 60, dan 63 untuk GDI.
Untuk memperkecil kesenjangan
tersebut, maka kebijakan dan program yang dikembangkan saat ini dan
mendatang harus mengintegrasikan pengalaman, aspirasi, kebutuhan, an
permasalahan perepuan dan laki-laki ke dalam perencanaan, pelaksanaan,
pemantauan, dan evaluasi pada seluruh kebijakan dan program pembangunan
nasional, di samping meningkatkan kualitas hidup perempuan itu sendiri.
4.2. Pengertian, Tujuan dan Indikator Pembangunan Pemberdayaan Perempuan
Pemberdayaan
perempuan diartikan sebagai serangkaian upaya pemampuan perempuan untuk
memperoleh akses kesejahteraan, kesempatan berpartisipasi sebagai
pelaku dalam pengelolaan pembangunan, memutuskan serta mengawasi
terhadap sumber daya ekonomi politik, social, dan budaya, agar perempuan
dapat mengatur dirinya sendiri dan meningkatkan rasa percaya diri untuk
mampu berperan dan berpartisipasi aktif dalam pembangunan.
Tujuan
pembangunan pemberdayaan perempuan adalah untuk meningkatkan status,
posisi, dan kondisi perempuan agar dapat mencapai kemajuan yang setara
dengan laki-laki.
Pencapaian tersebut ditandai dengan:
1. Terintegrasikannya kebijakan pemberdayaan perempuan pada semua kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan;
2. Terwujudnya 440 kabupaten/kota yang responsive gender;
3. Berperannya lembaga masyarakat dalam pemberdayaan perempuan.
Sasaran yang hendak dicapai oleh pembangunan pemberdayaan perempuan adalah
1. Terjaminnya keadilan gender dalam berbagai produk peraturan perundang-undangan, program, dan kegiatan pembangunan;
2. Membaiknya angka GDI (Gender-related Development Index) GEM (Gender Empowerment Measurement);
3. Menurunnya tindak kekerasan terhadap perempuan;
4.
Meningkatkan kemampuan kelembagaan dan jaringan pengarustamaan gender
dan anak termasuk ketersediaan data dan peningkatan partisipasi
masyarakat di tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota.
Sasaran
tersebut diuraikan ke dalam sasaran-sasaran operasional dalam
bidang-bidang pendidikan kesehatan, ekonomi, hokum, lingkungan social
dan budaya, perlindungan tenaga kerja, perlindungan perempuan usia
lanjut, perlindungan perempuan cacat, perlindungan perempuan di daerah
bencana dan konflik, perlindungan remaja putrid, politik dan pengambilan
keputusan, peningkatan peran dan posisi perempuan dalam jabatan
politik, perlindungan terhadap tindak kekerasan, pemberantasan tindak
pidana perdagangan perempuan dan anak, penghapusan pornografi dan
pornoaksi, tumbuh kembang anak, perlindungan anak, partisipasi anak, hak
sipil dan kebebasan, kelembagaan anak, penciptaan lingkungan yang ramah
anak, pelaksanaan pengarustamaan gender, dan pemberdayaan lembaga
masyarakat dan swasta.
D. PENGARUSTAMAAN GENDER (GENDER MAINSTREAMING)
1. Pengertian
Pengarustamaan
Gender (PUG) adalah strategi yang dilakukan secara rasional dan
sistematis untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender dalam sejumlah
aspek kehidupan manusia melalui kebijakan dan program yang memperhatikan
pengalaman, aspirasi, kebutuhan, dan permasalahan perempuan dan
laki-laki ke dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi
dari seluruh kbijakan dan program di berbagai bidang kehidupan dan
pembangunan.
Dalam lampiran Instruksi Presiden RI No. 9 Tahun 2000
tentang Pengarustamaan Gender dalam Pembangunan Nasional dapat disimak
beberapa pengertian tentang Pengarustamaan Gender tersebut. Laporan
Dewan Ekonomi PBB 1997, menyebutkan bahwa PUG adalah suatu proses
penilaian implikasi dari setiap rencana aksi bagi perempuan dan
laki-laki, mencakup peraturan, kebijakan-kebijakan, atau program-program
pada tiap-tiap bidang di semua tingkatan pembangunan.
PUG
sebagai suatu strategi untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender
harus bear-benar terbukti tercermin dan terpadu dalam empat fungsi utama
manajemen program setiap instansi, lembaga, maupun organisasi, yaitu
dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi.
2. Tujuan dan Sasaran Pengarustamaan Gender
Tujuan Pangarustamaan Gender adalah :
1) Membentuk mekanisme untuk formulasi kebijakan dn program yang responsive gender.
2) Memberikan perhatian khusus pada kelompok-kelompok yang mengalami marginalisasi sebagai dampak dari bias gender.
3)
Meningkatkan pemahamandan kesadaran semua pihak baik pemerintah maupun
non pemerintah sehingga mau melakukan tindakan yang sensitive gender di
bidang masing-masing.
Para pelaksana dari
lembaga-lembaga pemerintah merupakan sasaran utama dari Pangarustamaan
Gender (PUG). Demikian pula LSM/organisasi peremuan, organisasi swasta,
organisasi profesi, organisasi keagamaan, sampai pada unit masyarakat
yang paling kecil, yaitu keluarga, menjadi sasaran PUG.
3. Prinsip Penerapan dan Ruang Lingkup Pangarustamaan Gender
Penerapan
PUG di Indonesia didasarkan pada prinsip-prinsip menghargai keragaman
(Pluralistis), bukan pendekatan dikotomis, melalui proses pemampuan
sosialisasi da advokasi, dan menjunjung nilai HAM dan demokrasi. Ruang
lingkup PUG mencakup aspek-aspek perencanaan, pelaksanaan, pemantauan,
dan evaluasi.
Perencanaan yang responsive gender adalah
perencanaan yang dibuat oleh seluruh lembaga pemerintah, organisasi
profesi, organisasi swasta, masyarakat dan lainnya yang disusun dengan
mempertimbangkan empat aspek: peran, akses, manfaat, dan control yang
dilakukan secara setara antara perempuan dan laki-laki.
Pelaksanaan PUG perlu didukung dan diefektifkan dengan menyiapkan :
1) Pemampuan para pelaksana PUG.
2) Penyusunan perangkat analisis, pemantauan, dan penilaian.
3)
Pembentukan dan evaluasi PUG dilakukan dengan tepat waktu, dapat
dipertanggungjawabkan, sederhana, transparan, menggunakan data terpilah
menurut jenis kelamin, dan memakai indicator serta tolak ukur.
E. PENGERTIAN KESETARAAN DAN KEADILAN GENDER
Kesetaraan
dan keadilan gender adalah suatu kondisi dimana porsi dan siklus social
perempuan dan laki-laki setara, serasi, seimbang dan harmonis. Kondisi
ini dapat terwujud apabila terdapat perlakuan adil antara perempuan dan
laki-laki. Penerapan kesetaraan dan keadilan gender harus memperhatikan
masalah kontekstual dan situasional, bukan berdasarkan perhitungan
secara matematis dan tidak bersifat universal. Jadi konsep kesetaraan
adalah konsep filosofis yang bersifat kualitatif, tidak selalu bermakna
kuantitatif.
1. Pengertian
a. Kesetaraan
gender: kondisi dimana perempuan dan laki-laki menikmati status yang
setara dan memiliki kondisi yang sama untuk mewujudkan secara penuh
hak-hak asasi dan potensinya bagi pembangunan di segala bidang
kehidupan.
b. Keadilan gender: suatu kondisi adil untuk
perempuan dan laki-laki melalui proses budaya dan kebijakan yang
menghilangkan hambatan-hambatan berperan bagi perempuan dan laki-laki.
2. Wujud Kesetaraan dan Keadilan Gender
a.
Akses: Kesempatan yang sama bagi perempuan dan laki-laki pada sumber
daya pembangunan. Contoh: memberikan kesempatan yang sama memperoleh
informasi pendidikan dan kesempatan untuk meningkatkan karir bagi PNS
laki-laki dan perempuan.
b. Partisipasi: Perempuan dan
laki-laki berpartisipasi yang sama dalam proses pengambilan keputusan.
Contoh: memberikan peluang yang sama antara laki-laki dan perempuan
untuk ikut serta dalam menentukan pilihan pendidikan di dalam rumah
tangga; melibatkan calon pejabat structural baik dari pegawai laki-laki
maupun perempuan yang berkompetensi dan memenuhi syarat ”Fit an Proper
Test” secara obyektif dan transparan.
c. Kontrol: perempuan dan
laki-laki mempunyai kekuasaan yang sama pada sumber daya pembangunan.
Contoh: memberikan kesempatan yang sama bagi PNS laki-laki dan perempuan
dalam penguasaan terhadap sumber daya (misalnya: sumberdaya materi
maupun non materi daerah) dan mempunyai kontrol yang mandiri dalam
menentukan apakah PNS mau meningkatkan jabatan struktural menuju jenjang
yang lebih tinggi.
d. Manfaat: pembangunan harus mempunyai
manfaat yang sama bagi perempuan dan laki-laki. Contoh: Program
pendidikan dan latihan (Diklat) harus memberikan manfaat yang sama bagi
PNS laki-laki dan perempuan.
Berdasarkan uraian di
atas, maka Kantor Kementerian Pemberdayaan Perempuan, dalam
mensosialisasikan Pengarusutamaan Gender (PUG) dan penerapannya di
Indonesia mengenal prinsip-prinsip sebagai berikut:
1) Pluralistis
Yaitu
menerima keragaman budaya, agama dan adat istiadat (pluralistis),
karena bangsa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari yang terdiri dari
berbagai suku bangsa, agama dan adat istiadat tadi merupakan kekayaan
dan keragaman yang perlu dipertahankan di dalam Pengarusutamaan Gender
tanpa harus mempertentangkan keragaman tersebut.
2) Bukan pendekatan konflik
Yaitu
pendekatan dalam rangka PUG tidak melalui pendekatan dikotomis yang
selalu mempertimbangkan antara kepentingan laki-laki dan perempuan.
3) Melalui proses sosialisasi dan advokasi
Prinsip
yang penting dalam PUG di Indonesia adalah melalui perjuangan dan
penerapan secara bertahap melalui proses sosialisasi dan advokasi. Dalam
PUG tidak semudah membalikkan telapak tangan atau ibarat memakan ”cabe”
begitu digigit terasa pedas. Tetapi pelaksanaannya harus dengan penuh
pertimbangan melalui proses sosialisasi dan advokasi yang tidak
bertentangan dengan kepentingan masyarakat.
4) Menjunjung Nilai HAM dan Demokratisasi
Yaitu
pendekatan PUG di Indonesia tidak melalui pertentangan-pertentangan dan
penekanan-penekanan, sehingga ada kelompok-kelompok yang merasa
dirugikan. PUG di Indonesia penerapannya akan selalu menjunjung
nilai-nilai Hak Azazi Manusia dan demokratis, sehingga akan diterima
oleh lapisan masyarakat tanpa ada penekanan-penekanan.
F. MILLENIUM DEVELOPMENT GOALS (MDG)
Millennium
Development Goals (Tujuan Pembangunan Milenium = MDG) lahir dari
Deklarasi Milenium – suatu konsensus global yang belum pernah terjadi
sebelumnya, yang disepakati pada tahun 2000 oleh 189 Negara Anggota PBB.
Dalam Deklarasi ini negara-negara tersebut secara bersama-sama
mengedepankan visi global bagi perbaikan kondisi kemanusiaan di seluruh
dunia di bidang-bidang pembangunan dan pengurangan kemiskinan,
perdamaian dan keamanan, perlindungan lingkungan dan hak asasi manusia
dan demokrasi. Kebutuhan mutlak untuk memajukan hak asasi manusia dari
seluruh umat manusia agar mencapai visi ini ditegaskan dalam Deklarasi.
Secara khusus, pemajuan hak perempuan hingga kesetaraan gender diakui
sebagai sangat perlu bagi kemajuan. Deklarasi menyatakan secara tegas
‘untuk memerangi segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan untuk
mengimplementasikan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
terhadap Perempuan (CEDAW)’. Lebih lanjut diakui arti penting
mempromosikan kesetaraan dan keadilan gender dan pemberdayaan perempuan
sebagai jalan yang efektif untuk memerangi kemiskinan, kelaparan dan
penyakit dan untuk merangsang pembangunan yang benar-benar
berkelanjutan. Pada saat yang sama, Deklarasi Milenium menegaskan
kembali peran sentral kesetaraan gender dari perspektif Konferensi Dunia
Keempat tentang Perempuan di Beijing (1995) dan konferensi-konferensi
dunia lainnya seperti Konferensi Rio tentang Lingkungan dan Pembangunan
(1992), Konferensi Wina tentang Hak Asasi Manuasia (1993), Konferensi
Kairo tentang Kependudukan dan Pembangunan (1994), Pertemuan Puncak
Dunia tentang Pembangunan Sosial di Kopenhagen (1995) dan Konferensi
Istambul tentang Pemukiman Manusia (1996). Konferensi-konferensi dunia
yang diselenggarakan oleh PBB pada tahun 1990-an ini merupakan pemacu
bagi masyarakat internasional untuk bertemu di Pertemuan Puncak Milenium
tahun 2000, dan menyetujui langkah-langkah yang dibutuhkan untuk
mengurangi kemiskinan dan mencapai pembangunan yang berkelanjutan, dan
Deklarasi Milenium memperbarui komitmen yang telah dinyatakan oleh semua
Negara Anggota di konferensi-konferensi ini.
AGENDA MILENIUM KESETARAAN GENDER
Delapan komitmen kunci yang ditetapkan dalam Deklarasi Milenium menjadi Tujuan Pembangunan Milenium (MDG):
1. Menghapus kemiskinan ekstrim dan kelaparan
2. Mencapai pendidikan dasar universal
3. Mempromosikan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan
4. Penurunan angka kematian balita
5. Memperbaiki kesehatan ibu
6. Memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit-penyakit lain
7. Memastikan kelestarian lingkungan
8. Mengembangkan kemitraan global bagi pembangunan
MDG
diikuti dengan 16 target global dan 48 indikator global. Tujuan, target
dan indikator ini dimaksudkan agar bekerja bersama untuk mendorong
tindakan yang efektif untuk mencapai pembangunan dan menghapus
kemiskinan yang merupakan sasaran Deklarasi. Target-target dan
indikator-indikator ini diciptakan untuk menjadi ukuran konkret sejauh
mana negara-negara membuat kemajuan dalam mencapai Tujuan MDG, dan
kemajuan ini dinilai secara teratur pada tingkat negara lewat laporan
MDG nasional. Pencapaian MDG telah menjadi prioritas utama bagi semua
mitra pembangunan – pemerintah nasional, sistem PBB maupun
lembaga-lembaga keuangan internasional. Kenyataan bahwa kebutuhan untuk
mengatasi ketidak-setaraan gender telah ditekankan oleh Deklarasi
Milenium, dan bahwa MDG secara jelas menyebutkan Tujuan kesetaraan
gender dan pengakuan bahwa kesetaraan gender penting bagi pencapaian
semua tujuan, menunjukan bahwa MDG merupakan kesempatan yang berharga
untuk pemajuan agenda kesetaraan gender.
MENGARUSUTAMAKAN KESETARAAN GENDER
Upaya-upaya
untuk mencapai MDG meliputi cakupan yang luas dari sektor-sektor
pemerintah, mitra pembangunan dan organisasi-organisasi masyarakat
madani. Ini memberi kesempatan untuk memperbaiki koordinasi kepedulian
atas kesetaraan gender dan menaikkannya ke tingkat kebijakan baru yang
lebih tinggi. MDG akan membantu memperlancar dan memperkuat pemantauan
dan meningkatkan akuntabilitas lembaga-lembaga sektoral dan kementerian
dalam hubungannya dengan target-target dan indicator-indikator tertentu.
Apabila pertimbangan-pertimbangan kesetaraan gender berhasil dimasukkan
ke dalam upaya-upaya pencapaian Tujuan MDG, proses MDG akan membantu
mengarusutamakan gender dalam cakupan yang lebih luas dari program dan
kebijakan nasional daripada yang dimungkinkan sebelumnya. Penghapusan
Kemiskinan dan Kelaparan Ekstrim
G. KOMNAS PEREMPUAN
Gerakan
perempuan Indonesia pada Era Reformasi menemukan pelbagai kemajuan
sekaligus juga kemundurannya yang bersifat paradoks. Satu sisi, gerakan
perempuan memperoleh pencapaiannya dalam pelbagai bentuk pelembagaan dan
perangkat hukum yang melindungi hak-hak perempuan dan upaya membebaskan
perempuan dari tindak kekerasan. Seperti: 1) Berdirinya Komisi Nasional
Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) melalui
Keputusan Presiden No. 181/1998; 2) Pengakuan hak-hak asasi perempuan
sebagai hak-hak asasi manusia sebagaimana yang terdapat dalam
Undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.;1 3)
Instruksi Presiden (Inpres) No.9 tahun 2000 tentang pengarusutamaan
gender dalam berbagai sektor pembangunan; 4) disahkannya Undang-undang
No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
(PKDRT), sebuah aturan yang melindungi perempuan dalam pelbagai bentuk
kekerasan; 5) Berdirinya sejumlah lembaga yang dibentuk pemerintah agar
perempuan korban kekerasan dapat mengakses keadilan seperti Ruang
Pelayanan Khusus (RPK) dan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan
Perempuan dan Anak (P2TP2A) yang didirikan oleh Kementerian Pemberdayaan
Perempuan (KPP).
Selain itu, berdiri dan berkembangnya
pusat-pusat pengadaan layanan bagi perempuan korban yang didirikan oleh
lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan dan keagamaan. Meskipun sejumlah
kemajuan sudah dicapai gerakan perempuan di era reformasi ini, tetapi
juga terdapat fakta bahwa marjinalisasi dan kekerasan terhadap perempuan
pun terjadi pada masa-masa ini. Hal ini terdapat pada fakta kekerasan
dan marjinalisasi terhadap perempuan, terutama perempuan dari kelompok
kepercayaan minoritas.
1. Dalam Undang-undang
Republik Indonesia No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Bagian
Kesembilan disebutkan bahwa: 1) Pengakuan hak perempuan sebagai hak
asasi manusia. 2) Jaminan keterwakilan perempuan dalam sistem pemilihan
umum, kepartaian, pemerintahan, baik legislatif, eksekutif maupun
yudikatif. 3) Hak untuk memperoleh pendidikan 4) Hak untuk memilih,
dipilih dan diangkat serta perlindungan terhadap hak kesehatan
reproduksi.
2. Saat ini terdapat Ruang Pelayanan Khusus (RPK)
berjumlah 129 unit yang tersebar di RS Bhayangkara di seluruh Indonesia
dan terdapat 23 unit P2TP2A di 19 Propinsi di Indonesia.
3.
Tercatat 41 lembaga layanan terbentuk di seluruh Indonesia atas
inisiatif masyarakat, baik melalui organisasi perempuan, organisasi
kemasyarakatan dan keagamaan.
Wujud dari marjinalisasi
dan kekerasan tersebut diantaranya adalah: 1) pembatasan hak kemerdekaan
berekspresi dalam berbusana dengan mewajibkan perempuan menggunakan
pakaian dengan standar agama mayoritas, termasuk siswa-siswa perempuan
di sekolah-sekolah menengah negeri di beberapa wilayah di Indonesia,
sebuah peraturan yang tidak pernah terjadi sebelumnya di Indonesia.4
Kebijakan ini boleh jadi tidak dimaksudkan untuk melakukan tindakan
diskriminatif, tetapi implementasi kebijakan tersebut berdampak kepada
pembatasan, pembedaan, pengurangan atau pengucilan terhadap kelompok
masyarakat tertentu; 2) pembatasan akses pada pekerjaan dan ekonomi
dengan kebijakan pembatasan keluar malam bagi perempuan hingga pukul
10.00 sebagaimana yang terjadi di salah satu wilayah di Sumatera Barat.
Padahal, banyak perempuan yang bertumpu kehidupan ekonominya dengan
bekerja di malam hari seperti ibu-ibu tukang sayur di pasar, karyawati
rumah sakit dan di tempat-tempat lain yang harus beroperasi di malam
hari. Kasus Ny. Lilis, korban salah tangkap di kota Tangerang yang
diduga sebagai pekerja seks adalah dampak dari kebijakan pembatasan hak
perempuan untuk keluar malam; 3) pengesahan Undang-undang Pornografi
yang mengutamakan standar nilai moral agama mayoritas dan cenderung
mengabaikan pelbagai keragaman nilai yang menjadi karakter bangsa
Indonesia ke dalam hukum nasional sehingga daerah-daerah seperti Bali,
Nusa Tenggara Timur (NTT), Papua, dan Sulawesi Utara menolak pengesahan
UU tersebut. Bahkan setelah UU ini disahkan pada tahun 2008, Gubernur
Bali, Made Mangku Pastika, dan Ketua DPRD Bali, Ida Bagus Putu Wesnawa,
menandatangani kesepakatan bersama untuk tidak melaksanakan UU tersebut
dan memberikan perlindungan pada masyarakat Bali yang terkena
pasal-pasal dalam UU Pornografi. Selain itu, undang-undang ini pun
memiliki potensi mengkriminalkan perempuan, karena terdapat pasal yang
multi tafsir tentang batasan pornografi.5; 4) penyerangan terhadap
komunitas Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) di beberapa tempat yang
berdampak pada kekerasan terhadap perempuan kelompok minoritas ini.
H. REFORMASI PEREMPUAN
Bulan
Maret ini merupakan bulan yang penuh makna bagi perempuan dimuka bumi
ini, karena pada setiap tanggal 8 di bulan Maret ini seluruh dunia
merayakan hari yang dikenal dengan International Women Day atau hari
Perempuan sedunia. Beberapa Negara di belahan bumi ini bahkan menetapkan
tanggal tersebut sebagai hari libur nasional, yaitu China, Rusia,
Vietnam dan Bulgaria. Ratusan kegiatan dilaksanakan di berbagai belahan
dunia tidak hanya pada tanggal 8 Maret, tetapi selama bulan Maret ini
untuk memperingati perayaan hari Perempuan sedunia dan juga untuk
mengapresiasi prestasi-prestasi kaum perempuan. Beberapa Negara,
organisasi dan kelompok-kelompok perempuan memilih tema yang berbeda
setiap tahunnya yang mana tema tersebut mencerminkan isu-isu
keberhasilan perempuan di wilayah mereka masing-masing. United Nations
pada tahun 2011 ini menetapkan “Kesamaan Akses Pendidikan, Pelatihan,
Ilmu pengetahuan dan Teknologi: Jalan Menuju Pekerjaan yang Layak bagi
perempuan”. Canada juga mengambil tema khusus perayaan yaitu
“Kepemimpinan yang kuat; Kepemimpinan Perempuan, Kekuatan Dunia:
Kesetaraan”. Bagaimana dengan Indonesia? Tema apakah yang diambil
Indonesia untuk perayaan hari Perempuan sedunia ini? Walau pemerintah
Indonesia belum menetapkan tema khusus untuk memperingati perayaan hari
perempuan sedunia ini, namun bukan berarti negara ini tidak mempunyai
isu keberhasilan Perempuan yang bisa dirayakan. Perjuangan dan
pergerakan perempuan Indonesia tidak bisa diukur dengan sebatas tema.
Yakinlah dimanapun dan kapanpun kita tetap bisa memperingati perayaan
hari Perempuan ini, walau tidak melalui momentum khusus sekalipun.
Secara nyata manuver-manuver perempuan Indonesia untuk bisa diakui
sangat terlihat dan terekspose dalam beberapa aspek kehidupan dewasa
ini. Apakah perempuan Indonesia masih selalu mengalami penindasan dan
kekerasan ? Apakah Perempuan Indonesia masih dipandang sebelah mata ?
Apakah Perempuan Indonesia sudah mampu bersaing ? dan begitu banyak lagi
pertanyaan-pertanyaan yang bermunculan ketika posisi perempuan di
negara ini akan menjadi bahan diskusi banyak pihak.
Secara
kenyataan, perlahan dan pasti perempuan-perempuan Indonesia ini mulai
menunjukan bahwa mereka adalah asset sumber daya manusia yang sangat
berharga. Jika dipergunakan konsep reformasi sebagai sebuah gerakan
untuk pembaharuan dan perubahan terhadap suatu hal yang telah ada pada
suatu masa tertentu, maka bisa dikatakan bahwa perempuan Indonesia juga
sedang berjalan ke arah reformasi tersebut. Sudah sejauh mana reformasi
kaum perempuan negeri ini? Kalau dianalisa secara sekilas sebenarnya
gerakan reformasi perempuan Indonesia sudah bermunculan dalam berbagai
bidang yaitu di dalam bidang politik, pendidikan, teknologi, dan juga di
dalam bidang sosial budaya.
Perempuan dan Politik
Pada
saat ini sudahlah menjadi wacana umum ketika seorang perempuan
memutuskan untuk terjun ke dunia politik. Indonesia bahkan merupakan
salah satu negara yang mampu menunjukan kepada dunia bahwa pada suatu
masa Negara ini rela dipimpin oleh seorang presiden perempuan.
Setidaknya hal ini merupakan suatu gerakan yang luar biasa dan
penghormatan terhadap posisi perempuan Indonesia. Indonesia mampu
menunjukan sebagai sebuah Negara besar yang tidak membedakan pemimpinnya
dari segi gender.
Diperkuat dengan berlakunya Undang-Undang Nomor
10 Tahun 2008 tentang Pemilu semakin membuka peluang berperannya
perempuan Indonesia dalam berbagai panggung politik nasional dengan
jaminan yang sangat menjanjikan. Dalam kepengurusan partai politik,
misalnya, Pasal 8 UU Nomor 10/2008 mensyaratkan sekurang-kurangnya 30
persen keterwakilan perempuan di tingkat pusat. Kondisi ini memberi
kebebasan bergerak kepada perempuan melalui partai untuk menunjukkan
idealisme dan pengabdiannya kepada masyarakat. Disini secara jelas
Negara menunjukan sikapnya terhadap posisi Perempuan Indonesia. Dimana,
mereka jelas-jelas sudah diberi kesempatan untuk masuk dalam panggung
politik yang penuh dengan aktor laki-laki selama ini. Hampir di seluruh
daerah di Indonesia, begitu banyak politikus-politikus perempuan
bermunculan di panggung emas politik dan siap bersaing dengan kaum
laki-laki. Walau terkadang sering di dengar juga berita-berita miring
yang menghambat sepak terjang perempuan-perempuan ini, namun kenyataan
sudah menunjukan partisipasi politik yang dilakukan srikandi-srikandi
ini untuk maju satu langkah di dalam dunia keras politik tanah air ini.
Perempuan dan Pendidikan
Sampai
saat ini memang masih banyak pihak yang prihatin dengan keterlibatan
perempuan didalam sektor pendidikan terkait dengan kenyataan bahwa
banyak perempuan yang tidak melanjutkan ke pendidikan tinggi. Sebenarnya
banyak faktor yang mempengaruhi mengapa keterlibatan perempuan di dalam
pendidikan ini masih berada di bawah laki-laki. Jika kita melihat ke
dalam pandangan-pandangan tradisional sepertinya memang perempuan selalu
ditempatkan dalam posisi yang tidak menguntungkan, salah satunya sebut
saja pandangan terkait peran dan posisi perempuan yang hanya dan akan
ada di dalam rumah saja, sehingga banyak masyarakat berpandangan bahwa
pendidikan tinggi tidak diperlukan bagi perempuan. Padahal jika mau
disadari perempuan yang berada di dalam rumah sekalipun memerlukan ilmu
yang cukup untuk berada di dalam rumah khususnya untuk memberikan
ilmu-ilmu itu kepada anak-anaknya kelak sebagai generasi permata bangsa
ini. Namun hal ini bukan berarti Kartini-Kartini Indonesia tidak
berupaya untuk terlibat dan maju di dalam pendidikan. Tidak pernah ada
kata terlambat untuk memajukan perempuan Indonesia untuk terus
berpartisipasi dalam dunia pendidikan. Begitu banyak program Pemerintah
dan juga program-program yang dirancang pegiat-pegiat gender tanah air
ini untuk terus menerus mengadvokasi partisipasi perempuan-perempuan ini
dalam pendidikan.
Beberapa waktu belakangan ini, mulai bisa
dilihat bermunculannya perempuan-perempuan Indonesia yang sukses di
dalam pendidikan. Sebut saja nama Martha Tilaar dan Mooryati Soedibyo
keduanya merupakan pakar ahli dari kosmetika tradisional Indonesia yang
keahliannya dan produknya sudah mendapat pengakuan dari dunia
internasional, ada lagi seorang pejuang wanita di bidang pendidikan
bernama Butet Manurung. Wanita ini selama beberapa tahun belakangan ini
berusaha keras demi mendidik anak-anak suku rimba yang berada di daerah
hutan pedalaman di Jambi. Didalam dunia sastra, tentu saja ada Ayu
Utami. perempuan Bali ini sukses menghebohkan dunia kesastraan Indonesia
dengan mengeluarkan novel berjudul “Saman” yang otentik dengan bahasa
yang sangat berani dalam menceritakan ranah seksualitas perempuan di
Tanah Air. Dan masih begitu banyak lagi tokoh perempuan-perempuan emas
lainnya yang namanya semakin mengharum karena tingkat intelektualitas
mereka.
Keadaan perempuan masa kini, telah banyak mendorong
perempuan Indonesia untuk mencapai pendidikan tinggi. Perempuan telah
mendapatkan kesempatan yang seluas-luasnya untuk bersekolah. Sudah
menjadi fakta umum bahwa prestasi anak perempuan di semua tingkat
pendidikan (mulai SD sampai universitas) selalu menduduki peringkat yang
tertinggi. Meskipun penelitian mengenai hal ini belum dilakukan, akan
tetapi berdasarkan pengalaman, dari 10 peringkat tertinggi dari tiap
jenjang pendidikan, ternyata 60% diantaranya adalah murid atau mahasiswa
perempuan. Perempuan juga sudah mampu mencapai pendidikan tertinggi,
seperti S1, S2, S3. Tenaga pengajar perempuan bergelar guru besar juga
telah semakin meningkat. Juga perempuan masa kini sudah mampu
melaksanakan tugas-tugas yang sebelumnya dianggap sebagai tugas
laki-laki seperti pilot, sopir bus, satpam, insinyur perminyakan,
insinyur mesin, insinyur tambang, dan lain-lain.
Diluar semua
revolusi perempuan di bidang Pendidikan ini, penting sekali untuk
diingat dan menjadi catatan bahwa Isu tentang kesetaraan dan
pemberdayaan perempuan terutama dalam hal akses pendidikan masih menjadi
isu penting di Indonesia, sebagaimana tertuang dalam Millenium
Development Goals (MDG). Artinya, kesetaraan dan pemberdayaan perempuan
adalah prasyarat bagi tercapainya pembangunan yang berorientasi pada
manusia tanpa memandang jenis kelamin”.
Perempuan dan Teknologi
Perempuan
dan dunia teknologi ibarat dua sisi dunia yang berbeda, banyak
stereotype masyarakat yang berkembang bahwa teknologi identik dengan
dunia maskulinitas laki-laki. Banyak anggapan bahwa teknologi bukan
wilayah yang tepat untuk kaum perempuan. Pendapat umum bahwa perempuan
dengan segala feminitasnya dan penggunaan perasaan ketimbang rasio
menjadi satu alasan untuk mematahkan semangat perempuan dalam dunia ilmu
pengetahuan teknologi. Ilmu eksakta yang mementingkan rasionalitas
sepertinya tidak cocok untuk perempuan. Salah satu dari 12 isu kritis
gerakan perempuan tahun 2006-2011 yang merupakan hasil Temu Nasional
Aktifis Perempuan Indonesia (2006) adalah perempuan dan teknologi.
Agenda
isu kritis ini berbunyi meningkatkan kapasitas perempuan dalam
pemanfaatan berbagai teknologi; menggunakan teknologi untuk membangun
simpul informasi dan komunikasi; memperkuat akses perempuan terhadap
teknologi; dan kampanye teknologi yang ramah perempuan. Saat teknologi
begitu pesat berkembang, tak bisa dielakkan oleh siapapun, sungguh
sangat penting memang kita mulai mengorientasikan gerakan kita pada
upaya mengadvokasi perkembangan teknologi agar lebih mendukung agenda
pemberdayaan perempuan. Apakah memang perempuan Indonesia selalu
tertinggal untuk dunia teknologi ini ? sepertinya tidak juga, saat ini
para srikandi Indonesia ini juga mulai menggeliat di ranah teknologi
ini. Daridata yang tersedia di www.checkfacebook.com juga menunjukan
bahwa 40,5 % pengguna social media facebook di Indonesia adalah
perempuan. Ini menunjukan bahwa kaum perempuan Indonesia juga sudah
mulai merambah dunia teknologi berwawasan internet. Belum lagi lahirnya
beberapa tokoh perempuan di bidang teknologi, seperi Betti Setiastuti
Alisjahbana, ia merupakan sosok perempuan berwawasan luas tentang
teknologi. Dia adalah perempuan pertama yang menduduki jabatan Presiden
Direktur IBM di kawasan Asia Pasifik (1999 – 2008). Ada juga nama
Megawati Khie, tokoh perempuan Indonesia yang berkiprah di dunia
teknologi yang mendapat kepercayaan dari perusahaan komputer kelas dunia
yaitu HP dan Dell untuk menduduki posisi strategisnya di Indonesia.
Pada
akhir tahun 2007 lalu, juga lahir sebuah Kelompok Linux Cewek
Indonesia, disingkat Kluwek, Lahirnya kelompok ini setidaknya mampu
memberikan perspektif yang lebih kuat dalam berbagi pengetahuan mengenai
teknologi informasi di kalangan perempuan khususnya dan bagi pencinta
teknologi linux umumnya. Mungkin masih ada lagi beberapa nama Perempuan
dan gerakan-gerakan perempuan Indonesia di luar sana yang bergeliat di
bidang teknologi, setidaknya mereka semua mampu membuktikan dan
menunjukan kepada khalayak bahwa teknologi bukanlah wilayah yang tabu
dimasuki oleh kaum hawa.
Perempuan dan Kehidupan Sosial Budaya
Perempuan
dalam tataran kehidupan sosial budaya timur memiliki peran dan status
yang disimbolkan pada kelemahlembutan, posisi nomor dua dibanding kaum
adam dan terkadang menjadi sosok yang tidak dimerdekatan dalam konteks
sosial budaya masyarakat. Misalnya saja keterlibatan perempuan Indonesia
dalam pemilihan Miss Universe yang pada awalnya menuai pro kontra bagi
sebagian masyarakat Indonesia. Salah satu alasannya cukup sederhana
dimana pemakaian baju berenang dianggap sebagai penilaian yang lebih
menjual kepada eksploitasi tubuh perempuan dan dianggap terlalu vulgar
untuk dipertontonkan untuk masyarakat luas. Padahal jika ditengok di
dalam negeri sendiri baju minim sudah menjadi hal yang bisa dengan mudah
ditemui, kenapa ajang yang salah satu bagiannya menampilkan pakaian
renang bisa ditentang sedemikian keras, serta memicu terjadinya aksi
protes? Dalam perkembangannya selama tiga tahun terakhir ini, Indonesia
terus menerus mengirimkan wakilnya untuk mengikuti pemilihan Miss
Universe tersebut, dan hal tersebut menunjukan persegeran paradigm
masyarakat Indonesia untuk bisa menerima dan bahkan mendukung
keterlibatan Perempuan Indonesia dalam ajang internasional tersebut.
Contoh
lain terkait keberhasilan perempuan untuk mempengaruhi kehidupan sosial
budaya terjadi di Bali. Dimana sistem patrilineal yang begitu kuat pada
akhirnya mampu memberikan pengakuan para perempuan Bali untuk
mendapatkan hak waris. Majelis Desa Pakraman adat Bali telah memberikan
pengakuan terhadap adanya hak waris terhadap anak perempuan. Perubahan
besar lainnya, adalah dalam masalah perceraian dan hak asuh anak. Selama
ini, bila perceraian terjadi, seluruh harta bersama selama masa
perkawinan sepenuhnya dikuasai pihak laki-laki. Tetapi saat ini Majelis
Desa Pakraman Adat Bali menyebutkan bahwa harta tersebut harus dibagi
secara adil. Pengasuhan anak pun dimungkinkan dapat diberikan kepada
pihak perempuan sampai usia tertentu meskipun si anak berstatus sebagai
penerus keturunan keluarga besar pihak laki-laki. Keputusan-keputusan
tersebut merupakan dinamika perkembangan baru dan menjadi tonggak
revolusi sosial bagi para perempuan Bali untuk lebih dipandang statusnya
di dalam kehidupan patrilinealisme yang begitu kuat di wilayah ini.
Kalau
selama ini Undang-undang Perkawinan Indonesia Nomor 1 tahun 1974,
tentang kehidupan sosial politik dan masyarakat, kepala rumah tangga
adalah suami atau seorang pria. Lebih dari itu, masyarakat dan
nilai-nilai sosial Indonesia selama ini juga hampir tidak pernah
mempertimbangkan perempuan sebagai kepala rumah tangga, sepertinya
paradigma tersebut sudah mulai mengalami pergeseran. Dalam kenyataannya
di kehidupan sosial dewasa ini, semakin banyak perempuan yang mengambil
alih peran sebagai kepala rumah tangga. Dari data Sensus Ekonomi
Nasional Indonesia (SUSENAS) 2007 menunjukkan bahwa jumlah rumah tangga
yang dikepalai perempuan telah mencapai 13,60% atau sekitar 6 juta rumah
tangga yang mencakup lebih dari 30 juta warga. Jika dibandingkan dengan
data pada tahun 2001, tren ini meningkat rata-rata 0,1% setiap tahun.
PENUTUP
A. KESIMPULAN
secara
umum gerakan-gerakan reformasi perempuan Indonesia dalam beberapa
bidang di atas menunjukan bahwa apabila diberi kesempatan yang
seluas-luasnya kaum perempuan Indonesia ini akan mampu meningkatkan
kualitasnya. Mereka adalah aset dan potensi pembangunan, sehingga
strategi kesetaraan dan keadilan gender dalam pembangunan nasional juga
harus terus diupayakan, apabila kaum perempuan ini dihambat untuk
diberdayakan, maka dengan sendirinya juga akan menghambat upaya optimal
untuk memajukan Pembangunan Nasional kita. Di manapun berada, di manapun
lingkungannya, perempuan harus berani bergerak walau sekecil apapun.
Menggali potensi diri dan berani bermimpi. Kualitas perempuan Indonesia
ini merupakan sebuah kekayaan sumber daya manusia yang dimiliki bangsa
ini.
B. SARAN
Dengan banyaknya
reformasi perempuan yang bermunculan, tetap yang perlu diingat adalah
semua gerakan tersebut harus diiringi dengan nilai dan prinsip dasar
sebagai pegangan agar gerakan tersebut berguna bagi dirinya dan
masyarakatnya. Maka sudah selayaknya seluruh perempuan Indonesia
bersemangat dan bersama-sama bangkit untuk merayakan reformasi perempuan
di tanah air ini. Selamat untuk seluruh perjuangan perempuan di tanah
air ini.
DAFTAR PUSTAKA
A. Daftar Buku
BKKBN.
2000. Kumpulan bahan pembelajaran pelatihan Pengarusutamaan Gender
(PUG) Bidang Kesehatan Reproduksi dan Kependudukan 2000. Jakarta: Pusat
Pelatihan Gender dan Pemberdayaan Perempuan BKKBN.
BKKBN. 2000.
Kumpulan bahan pembelajaran pelatihan Pengarusutamaan Gender (PUG)
Bidang Kesehatan Reproduksi dan Kependudukan. Jakarta: Pusat Pelatihan
Gender dan Pemberdayaan Perempuan BKKBN.
Darahim, A. 2000. Kesetaraan gender dalam Kehidupan Keluarga dan Masyarakat: Tinjauan Sosial Budaya dan Agama. Jakarta: BKKBN.
Kementerian
Pemberdayaan Perempuan (KPP). 2001. Pemantapan Kesepakatan Mekanisme
Operasional Pengarusutamaan Gender Kesejahteraan dan Perlindungan Anak
dalam Pembangunan Nasional dan Daerah: Bagian I dan II. Rakernas
Pemberdayaan PP & KPA.
Kementerian Pemberdayaan
Perempuan(KPP). 2004. Bunga Rampai: Panduan dan Bahan Pembelajaran
Pelatihan Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional. Kerjasama
Kementerian Pemberdayaan Perempuan RI, BKKBN, dan UNFPA.
Kementerian
Pemberdayaan Perempuan. 2005. Bahan Pembelajaran Pengarusutamaan
Gender. Kerjasama Kementerian Pemberdayaan Perempuan RI, BKKBN, dan
UNFPA.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan. 2000. Materi Pokok Bagi
Penyusunan Pedoman Umum Penyadaran Gender Draf 3: Tim Pokja Peranserta
Masyarakat, Jakarta.
Megawangi, R. 1999. Membiarkan Berbeda: Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender. Jakarta: Mizan.
Puspitawati,
H. 2006. Pengaruh Faktor keluarga, Lingkungan Teman dan Sekolah
Terhadap kenakalan Pelajar di Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) di
Kota Bogor. Disertasi S3. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian
Bogor.
B. Internet
http://www.averroes.or.id/thought/sejarah-gerakan-perempuan.html (diakes pada tanggal 2 Juni 2011).
http://www.ti.or.id/index.php/news/2011/04/21/resensi-buku-politik-harapan-perjalanan
politik-perempuan-indonesia-pasca-reformasi (diakses pada tanggal 5
Juni 2011).
http://nursugiyanto.blogspot.com/2011/03/gerakan-perempuan-di-indonesia.html (diakses pada tanggal 5 Juni 2011)
https://initialdastroboy.wordpress.com/2011/03/27/sejarah-lahir-dan-berkembangnya-gerakan-perempuan-di-dunia/
(diakses pada tanggal 6 Juni 2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar