Selamat Datang di Blog Ninosnina ^_^

Bintang-ku

Sabtu, 23 Maret 2013

BABAD BANYUMAS DAN VERSI-VERSINYA 4

  • Versi Danuredjan (Gancaran)
Versi ini merupakan hasil transformasi teks dari versi Danuredjan
(tembang). Versi ini meliputi Tedhakan Serat Soedjarah Joedanagaran
(koleksi Museum Sana Budaya, SB 69), Sadjarah Padjadjaran Baboning
Tjarios saking Adipati Wiradhentaha Boepati Priangan Djilid I (koleksi
Soedarmadji), Sadjarah Padjadjaran Baboning Tjarios saking Adipati
Wiradhentaha Boepati Priangan Manondjaja Djilid II (koleksi Soedarmadji),
Naskah Krandji-Kedhoengwoeloeh (karya Wirjasendjaja, koleksi
Soedarmadji), Inti Silsilah dan Sedjarah Banjumas (karya R.M. S.
Priyadi, Babad Banyumas dan Versi-versinya 91
Brotodiredjo dan R. Ngatidjo Darmosuwondo), dan Babadipun Dusun
Perdikan Gumelem (karya P. Sastromihardjo, koleksi Soedarmadji).

Ada empat naskah baru, yakni (1) Serat Babad utawi Sejarah ing
Wirasaba Banyumas mendhet waton saking Serat Babad Karaton Jawi ing
Mataram, (2) Punika Sarasilah Toyamas, (3) Silsilah Banyumas, dan (4)
Soedjarah ing Banjoemas. Keempat naskah tersebut berisi kumpulan teks
silsilah yang mengacu kepada Tedhakan Serat Soedjarah Joedanagaran
(TSSJ). Secara umum, naskah-naskah tersebut menambah silsilah yang
terkait dengan Banyumas, tetapi teks tambahan itu tidak termuat dalam
Tedhakan Serat Soedjarah Joedanagaran. Naskah pertama yang memiliki
judul yang cukup panjang itu ditulis pada kertas yang dikeluarkan oleh
Cooperati Bondo Sepolo, Pendrikan Lor Semarang, 30-10-1930. Naskah
setebal 86 halaman (ukuran 21,5 X 16,5 cm) berisi teks silsilah Bani Asin
(Tjarijos trah Baniasin dhateng Toja-djene, Toemenggoeng Joedhanagara
kaping 3), Tjarijos Bagoes Koenting ingkang pinoendhoet poetra Soenan
Praboe ing Kartasoera, dan Tjarijos Raden Toemenggoeng Joedhanagara
kaping 3 Boepati Toja-djene, serta Persapa Adipati Warga hoetama I. Pada
halaman 85 terdapat keterangan bahwa yang menyalin naskah adalah Raden
Mas Mangkusubrata, asisten wedana Gandamanan, Yogyakarta. Selanjutnya,
naskah disalin kembali di Semarang yang diselesaikan oleh penyalinnya
(anonim) pada tanggal 20 Mei 1932.

Naskah kedua seluruhnya ada 31 halaman (ukuran 21,5 X 17 cm). Teks
tersebut berisi silsilah dari Brawijaya (Hayam Wuruk sampai Mas Ngabehi
Kertadiredja), Pengenget-enget, silsilah Mas Sudaryat, situs keramat
Ciroyom Ajibarang, Adam Tengen (sejarah panengen), sejarah pangiwa
sampai Mataram, silsilah Pajajaran, Galuh Pasirluhur, silsilah Pasirbatang,
Negeri Purwacarita, keraton Pengging, dan keraton Pajang.
Naskah ketiga tebalnya 92 halaman dan ditambah 14 halaman lampiran
yang berisi ringkasan teks Babad Pekalongan. Naskah yang disusun oleh
Raden Soekrisno di Semarang, 29 Desember 1985 itu berisi teks yang
beraneka ragam, bahkan ada kesan seperti sejarah nasional. Sejarah
Indonesia dari Kutei sampai Demak dipakai sebagai pengantar teks (hlm. 1-
28), yaitu bab I-XVII. Fenomena seperti ini juga tampak jelas pada karya
Sejarah Cakrawedanan. Teks-teks lain yang tidak terkait dengan Banyumas
tampak pada bab XXII, XXIV, XXV, XXVI, XXVIII, XXX, XXXI, dan
XXXII. Teks-teks yang relevan dengan versi Danuredjan gancaran terlihat
jelas pada bab XVII (Raden Aria Baribin), XVIII (Kadipaten Wirasaba),
92 BAHASA DAN SENI, Tahun 34, Nomor 1, Februari 2006
XIX (Para bupati tlatah Banyumas), XX (silsilah Kadipaten Pasirluhur lan
Wirasaba), XXI (Adipati Danurejo I dumugi Danurejo VII), XXIII (Raden
Tumenggung Secodiningrat), XXVII (silsilah Galuh/Pakuan, Pajajaran, lan
Pasirluhur), dan XXIX (tedhak turun saking Kadipaten Wirasaba,
kawiwitan saking putra wayah Raden Tumenggung Mertayuda I ing
Banyumas). Bagian XXIII berisi kisah Raden Tumenggung Secodiningrat
sebagai salah seorang cucu Kangjeng Raden Adipati Danuredja I (lihat
Werdoyo, 1990).

Naskah keempat merupakan naskah cetakan De Boer, Purwokerto yang
berjudul Serat Soedjarah deel I. Naskah tersebut disusun oleh Soerjo
Winarso di Purwokerto. Naskah berisi sembilan teks, yaitu Soedjarah ing
Banjoemas, Soedjarah ing Karanglo, Soedjarah ing Medijoen, Soedjarah
ing Djoeroe Mertanen, Soedjarah ing Pati, Soedjarah ing Soemenep,
Soedjarah ing Praboe Estri ing Padjang, Soedjarah ing Madoera, dan
Soedjarah ing Lemboe Peteng ing Taroeb doemoegi Ingkang Sinoewoen
Praboe Mangkoerat ing Kartasoera. Teks pertama memuat kisah Raden
Baribin sampai silsilah dinasti Banyumas (Kyai Mertanegara) (hlm. 1-22).
Pada halaman 3, ada keterangan agar pembaca mengecek kembali teks
Babad Banyumas karya Patih Wirjaatmadja. Agaknya teks BWK dan SSB
juga menjadi acuan. Hal itu tampak dalam sisipan teks Babad Pasir. Di situ,
Banyak Catra nikah dengan Dewi Raras (BWK dan SSB:Ardiraras) dan
Raden Tambangan kawin dengan Dewi Lungge. Keterangan semacam itu
disebut oleh teks BWK dan SSB (termasuk hasil transformasinya),
sedangkan silsilahnya mengacu kepada teks TSSJ.
  • Versi Keluarga Baru
Ada fenomena yang menarik dalam perkembangan penulisan babad di
Banyumas, yaitu teks-teks Babad Banyumas ditransformasikan, disalin, dan
ditambahkan silsilah dari keluarga tertentu sehingga mencirikan keluarga
tersebut. Di sini, ada enam naskah yang memuat teks keluarga, yakni (1)
Serat Sarasilah, (2) Silsilah lan Sedjarah Banjumas, (3) Sadjarah
Banjoemas Tedhak Wirasaba, (4) Sejarah dan Silsilah Bupati Banyumas dan
Keturunannya, (5) Sarasilah Turun Banjar Gripit Badakarya (naskah
Penatus Bawang), serta (6) Sujarah saking Dhusun Makam.
Serat Sarasilah seluruhnnya ada 36 halaman (ukuran 21 X 11,5 cm).
Naskah tersebut merupakan salinan yang ketiga yang dilakukan oleh
Priyadi, Babad Banyumas dan Versi-versinya 93
Atmodihardjo di desa Wero, distrik Gombong, tanggal 10 April 1935.
Naskah induk merupakan milik Raden Prawiradiwirya di Banjarnegara. Pada
tanggal 6 Agustus 1916, naskah disalin dengan penambahan silsilah
keturunan Raden Adipati Dipayuda (bupati Banjarnegara pertama) dan Patih
Raden Dipadiwirya. Selanjutnya, pada tahun 1925 naskah disalin kembali
dan teksnya berkembang. Sebelumnya, hanya penambahan anak-anak dari
kedua tokoh sentral di Banjarnegara, maka pada penyalinan yang kedua
ditambah silsilah keturunan Patih Raden Dipadiwirya sampai generasi
keempat (buyut). Penambahan tersebut disesuaikan dengan kondisi
zamannya. Penyalinan ketiga juga ada penambahan berupa kisah-kisah
leluhur, seperti Raden Baribin, Raden Tumenggung Yudanegara I, dan
Raden Tumenggung Dipayuda Banjarnegara. Perlu diketahui bahwa Serat
Sarasilah ini mendapat tambahan teks dari Babad Banyumas Wirjaatmadjan,
khususnya kisah-kisah leluhur tadi yang berbentuk tradisi lisan. Serat Sarasilah
milik Raden Mas Prawironoto adalah teks keluarga Dipadiwiryan.
Silsilah lan Sedjarah Banjumas merupakan karya Raden Adiman Wirjokoesoemo
(kepala inspeksi Sekolah Rakyat di Purwokerto). Naskah ditulis
pada bulan April 1957 di Purwokerto. Silsilah dimulai dari Brawijaya Majapahit
yang diteruskan silsilah Wirasaba dan Banyumas. Silsilah yang terakhir
ini menjadi padanan menuju keluarga-keluarga bupati di Cilacap,
Banyumas (Kanoman), Kenduruan Roma, Dipayudan Banjarnegara, keluarga
Dipadiwiryan Banjarnegara (hlm. 1-22). Mulai halaman 22 disajikan
silsilah tambahan yang terkait dengan Banyumas, yaitu (1) Silsilah Pekalongan,
(2) Silsilah Danuredja I-VII, (3) Silsilah Raden Baribin sampai Warga
Utama II, (4) petikan Babad Pasir, (5) Perang Jenar, (6) Sedjarah Ambal
dan Kolopaking, (7) keris Jaka Kaiman, dan (8) Kyai Arsantaka (hlm. 22-
52).
Sedjarah Banjoemas Tedhak Wirasaba merupakan naskah koleksi
Kasman Soerawidjaja di Purwokerto. Naskah tersebut tebalnya 22 halaman
kuarto. Naskah ini berisi teks silsilah dari Raden Baribin sampai keturunan
Yudanegara II. Silsilah tersebut berkembang menjadi silsilah keluarga Dipayudan
Banjarnegara dan Cakrawedanan (Kasepuhan Banyumas), serta Mertadiredjan
di Purwokerto.
Sejarah dan Silsilah Bupati Banyumas dan Keturunannya adalah
naskah yang berisi teks keluarga besar Gandasubratan. Yang menyusun
naskah tersebut adalah Raden Soedana Tjakra Gandasoebrata. Naskah setebal
50 halaman kuarto itu memakai padanan silsilah dari Pajajaran (Prabu
94 BAHASA DAN SENI, Tahun 34, Nomor 1, Februari 2006
Silihwangi) dan Prabu Brawijaya III. Lalu, silsilah dikembangkan sampai
Yudanegara V. Pemecatan Yudanegara V sebagai bupati Banyumas memunculkan
trah Bratadiningratan. Di sini, ada tiga tokoh yang memakai nama
Mertadiredja sebagai bupati Banyumas Kanoman, bupati Purwokerto, dan
bupati Purwokerto (lalu pindah Banyumas). Sesudah Mertadiredja III, bupati
Banyumas memakai gelar Pangeran Aria Gandasoebrata. Nama bupati yang
terakhir ini dipakai sebagai nama keluarga yang baru oleh keturunannya. Keluarga
Gandasubratan merupakan bagian dari keluarga Bratadiningratan
(Mertadiredjan). Silsilah keluarga Gandasubratan berisi silsilah lima generasi
dari Pangeran Aria Gandasoebrata sampai canggahnya.
Sarasilah Turun Banjar Gripit Badakarya adalah naskah Penatus
Bawang (Banjarnegara). Naskah tebalnya 56 halaman (ukuran 25 X 16 cm).
Selain itu, agaknya ada naskah yang berisi teks yang dekat dengan naskah
Penatus Bawang, yakni Sujarah saking Dhusun Makam. Naskah desa
Makam ini merupakan karya salinan Ngisroen Mangoenwidjaja di Gunung
Batu, Bogor, 2-8 Pebruari 1972. Salinan Ngisroen menjadi koleksi Soepirman
Martadiwirja (mantan Patih Banjarnegara di Purwokerto). Naskah Ngisroen
diketik pada kertas berukuran folio (40 halaman). Penelitian Soedarmadji
(1996:3) mengenai kedua naskah tersebut menyatakan bahwa naskah
pertama hanya separo naskah kedua. Sujarah saking Dhusun Makam memuat
23 teks, tetapi yang terkait dengan teks Babad Banyumas adalah Sudjarah
tijang Wirasaba asal saking Negari Madjapait dhumugi Ki Nurngali
di Kedung Uter. Dua teks di atas mencerminkan adanya kecenderungan untuk
mengangkat kekerabatan Banjar-Gripit-Badakarya, sedangkan teks lainnya
hanya sebagai pelengkap. Teks Babad Banyumas yang dibicarakan di
atas berfungsi untuk melegitimasikan pendiri Banyumas beserta seluruh
keturunannya (Priyadi 1999a: 30-39).
  • Versi Sejarah Wirasaba
Sejarah Wirasaba diduga memiliki mata rantai dengan tradisi teks yang
lebih muda, yakni Babat Banyumas BR. 58 dan Tedhakan Serat Babad
Banyumas (koleksi Perpustakaan Nasional) (Behrend, 1998:60 & 223). Teks
yang terkandung dalam kedua naskah koleksi Perpustakaan Nasional itu merupakan
naskah yang pantas dicermati karena ia diduga sebagai naskah yang
dihasilkan dari tradisi Sejarah Wirasaba. Tradisi teks Sejarah Wirasaba selama
ini dikenal sebagai tradisi yang melahirkan teks-teks babad versi BanPriyadi,
Babad Banyumas dan Versi-versinya 95
jarnegara dan Wirjaatmadjan, sedangkan teks Tedhakan Serat Babad
Banyumas yang disebut sebagai teks Mertadiredjan (koleksi Perpustakaan
Nasional Hds.B.G. 526 dan Kangjeng Pangeran Aria Mertadiredja III) merupakan
teks yang menonjol karena memuat tradisi silsilah kiri atau sejarah
pangiwa (bdk. Ekadjati dan Darsa, 1999:211-212). Sekilas bahwa teks Babat
Banyumas BR. 58 menampakkan diri sebagai tradisi babad yang terbuka
karena terkontaminasi dari tradisi Sejarah Wirasaba dan versi Banjarnegara.
Selanjutnya, teks Sejarah Wirasaba mendapat tanggapan pembaca dalam
bentuk transformasi oleh penulis Babat Banyumas dan Tedhakan Serat Babad
Banyumas.

Naskah Babat Banyumas BR. 58 adalah naskah koleksi Brandes yang
tersimpan pada Perpustakaan Nasional RI dengan kode BR. 58. Naskah ini
berada pada satu bundel dengan naskah Babad Bandawasa (KBG. 333), Babad
Mataram (KBG. 598), dan Babad Surapati (BR. 585). Pada tahun 1996,
Perpustakaan Nasional mentransliterasikan dan menerjemahkan keempat
naskah tersebut. BtB ini ditulis pada kertas berukuran 21 X 16,5 cm. Tebal
naskah meliputi 84 halaman dan setiap halaman terdiri dari 16 baris. Naskah
berhuruf dan berbahasa Jawa ini berisi teks yang berbentuk tembang
macapat yang seluruhnya ada 15 pupuh. Naskah kertas BtB sudah lapuk,
tetapi tulisannya masih terbaca. Hasil transliterasi Perpustakaan Nasional
menunjukkan bahwa banyak sekali salah baca terhadap teksnya. Hal itu
menyebabkan hasil terjemahannya juga banyak penyimpangan yang tidak
sesuai dengan teks aslinya. Kemungkinan di samping banyak tulisannya
yang rusak, juga orang yang mengerjakannya tidak mengenal tradisi teks
Babad Banyumas pada umumnya.

Naskah Sejarah Wirasaba merupakan koleksi pribadi atau perorangan
yang tersimpan di desa Wirasaba, Kecamatan Bukateja, Kabupaten
Purbalingga. Jadi, naskah tersebut berasal dari situs sejarah pra-Banyumas
sebagai cikal-bakal. Sejarah Wirasaba adalah naskah yang selalu disalinsalin
sehingga eksistensinya tampak sampai sekarang. SW juga merupakan
naskah berhuruf dan berbahasa Jawa. Naskah ini berisi teks 14 pupuh
tembang macapat. Pada bagian belakang ditemukan silsilah Banyumas dari
Adipati Wira Utama (Raden Katuhu) hingga Raden Tumenggung
Yudanegara (Raden Gandakusuma). Naskah koleksi Mad Marta ini ditulis
pada kertas yang berukuran 16,5 X 21 cm. Tebal naskah 90 halaman dengan
perincian halaman 1-85 berisi tembang macapat, sedangkan halaman 86-90
berisi silsilah yang disebut di atas. Pada pupuh I, bait 2 terdapat keterangan
96 BAHASA DAN SENI, Tahun 34, Nomor 1, Februari 2006
waktu penulisan, yaitu sengkalan yang berbunyi swara naga giri sangi.
Agaknya kata sangi merupakan kesalahan baca dan salin, seharusnya nabi.
Sengkalan tersebut berarti angka tahun Jawa 1787 atau 1858 masehi.
Kiranya naskah yang sampai pada masa kini adalah naskah salinan ketiga
dari naskah tahun 1787 (1858). Penyalinnya ternyata bukan penduduk
Wirasaba yang bernama Mulyareja. Salinan diselesaikan pada tanggal 24
Agustus 1956. Pada halaman 90 terdapat keterangan yang menyatakan
bahwa Mulyareja lahir pada hari Senin Kliwon 27 Desember 1894. Di
samping itu, pada halaman 72 terdapat catatan tentang hilangnya beberapa
halaman. Pada halaman 10-11 ada keterangan hilangnya satu bait.
Naskah Tedhakan Serat Babad Banyumas (selanjutnya disingkat
TSBB) merupakan naskah koleksi Museum Nasional Jakarta dengan kode
Jav. Hds. B. G. No. 526 (sekarang koleksi Perpustakaan Nasional RI).
Naskah ini memakai judul yang cukup panjang, yaitu Punika Tedhakan
Serat Babad Banyumas sambutan saking Raden Adipati Mertadiredja ing
Banyumas. Judul itu diberikan oleh penyalinnya yang bernama Raden
Natahamijaya, seorang pejabat carik jaksa dari Magetan. Penyalinan
naskah tersebut atas permintaan J. Knebel yang menjabat asisten residen di
Magetan. Oleh Knebel, naskah salinan itu diserahkan kepada Lembaga
Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen pada bulan April
1904 dan tercatat pada bulan Juli 1928. Naskah ditulis pada kertas berukuran
33 X 21,5 cm. Naskah setebal 83 halaman itu berisi 23 pupuh tembang
macapat (halaman 1-78) dan tambahan atau sambetan (halaman 79-81) yang
berbentuk prosa. Dua halaman depan berisi judul dan nama penyalinnya.
Naskah TSBB merupakan naskah salinan dari naskah koleksi Kangjeng
Pangeran Aria Mertadiredja III, yang menjabat bupati Purwokerto (1860-
1879) dan bupati Banyumas (1879-1913).

Jika mencermati ketiga teks, maka Babat Banyumas tampaknya
merupakan teks yang menjembatani antara tradisi lama (Wirasaba) dengan
tradisi baru (teks Mertadiredjan Banyumas). Hal itu dapat dilihat pada
perbandingan teks antara naskah Babat Banyumas dengan Sejarah Wirasaba.
Kedua teks perbedaannya tidak begitu mencolok, bahkan naskah Babat
Banyumas itu merupakan salinan dari naskah Sejarah Wirasaba. Sejarah
Wirasaba yang ditemukan sekarang memang banyak bagian yang hilang dan
tidak lengkap sehingga ada perbedaan jumlah bait pada pupuh tertentu,
bahkan pupuh XV pada Babat Banyumas tidak ditemukan. Kemungkinan
naskah pada bagian belakang Sejarah Wirasaba hilang beberapa halaman
Priyadi, Babad Banyumas dan Versi-versinya 97
sebelum disalin oleh Mulyareja. Dengan demikian, Babat Banyumas adalah
penerus tradisi naskah Wirasaba.

Perbandingan teks Babat Banyumas (Btb) dengan Tedhakan Serat
Babad Banyumas (TSBB) menunjukkan bahwa keduanya menampakkan
kesamaan atau kedekatan teksnya pada pupuh VIII-XV (BtB) dan pupuh
XVI-XXIII (TSBB). Jadi, ada 8 pupuh. Pupuh I-VIII (TSBB) berisi teks
yang berbeda dengan teks-teks lain Babad Banyumas, termasuk BtB. Mulai
pupuh IX hingga XV (TSBB) merupakan transformasi teks dari tembang
yang satu ke tembang yang lain, yaitu pupuh I Asmarandana menjadi pupuh
IX Pangkur, II Durma menjadi X Pucung, III Sinom menjadi XI Mijil, IV
Kinanthi menjadi XII Sinom, V Dhandhanggula menjadi XIII Kinanthi, VI
Sinom (34 bait) menjadi XIV Sinom (40 bait), dan VII Mijil menjadi XV
Gambuh. Selanjutnya, untuk memahami perbandingan teks antara ketiga
naskah tersebut dibuat tabel 4 di bawah ini.
(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar