Selamat Datang di Blog Ninosnina ^_^

Bintang-ku

Sabtu, 23 Maret 2013

BABAD BANYUMAS DAN VERSI-VERSINYA 5

Tabel 4. Perbandingan Tiga Teks Versi Sejarah Wirasaba dengan TSBB
Sejarah Wirasaba Babat Banyumas
(BR.58)
SJ. 17 FS UI Tedhakan Serat Babad
Banyumas
I Dha 18
II Sin 18
III Asm 38
IV Mas 47
V Kin 42
VI Dur 12
VII Asm 34
VIII Dur 20
I Asm 12 I Asm 12 I Asm 12 IX Pan 20
II Dur 31 II Dur 31 II Dur 31 X Puc 47
III Sin 26 III Sin 26 III Sin 26 XI Mij 26
IV Kin 32 IV Kin 33 IV Kin 33 XII Sin 18
V Dha 68 V Dha 68 V Dha 68 XIII Kin 18
VI Sin 34 VI Sin 34 VI Sin 34 XIV Sin 40
VII Mij 22 VII Mij 22 VII Mij 22 XV Gam 17
VIII Pan 30 VIII Pan 30 VIII Pan 30 XVI Pan 30
IX Meg 35 IX Meg 35 IX Meg 35 XVII Meg 35
X Asm 35 X Asm 35 X Asm 35 XVIII Asm 36
XI Dha 8 XI Dha 13 XI Dha 13 XIX Dha 13
XII Asm 35 XII Asm 39 XII Asm 39 XX Asm 39
XIII Sin 19 XIII Sin 19 XIII Sin 19 XXI Sin 19
XIV Mas 9 XIV Mas 15 XIV Mas 15 XXII Mas 15
-- XV Dha 15 XV Dha 15 XXIII Dha 15
Keterangan: Angka Romawi menunjukkan nomor pupuh. Singkatan Asm,
Gam, dll., adalah nama pupuh Asmarandana, Gambuh, sedangkan
angka Arab menunjukkan jumlah bait.
98 BAHASA DAN SENI, Tahun 34, Nomor 1, Februari 2006
Meskipun Babat Banyumas (BtB) disalin berdasarkan Sejarah Wirasaba
(SW), tetapi ternyata terdapat perbedaan dalam jumlah bait pada empat pupuh,
yakni pupuh IV Kinanthi 33 (BtB), sedangkan 32 (SW); XI Dhandhanggula
13 (BtB) sedangkan 8 (SW); X Asmarandana 39 (BtB), sedangkan
35 (SW); XIV Maskumambang 15 (BtB), sedangkan 9 (SW); dan XV
Dhandhanggula 15 (BtB), sedangkan tidak ada satu bait pun (SW). Perbedaan
jumlah bait itu terjadi karena naskah yang disalin oleh Mulyareja terdapat
bagian naskah yang hilang atau rusak dan tidak terbaca. Namun, Mulyareja
masih melampirkan silsilah Wirasaba yang dimulai dari Raden
Katuhu (Adipati Wira Utama) sampai dengan Tumenggung Yudanagara
(Raden Gandakusuma).
Tampaknya bahwa penulis teks TSBB menunjukkan kreativitasnya. Hal
itu diperlihatkan dengan menggubah teks dalam bentuk tembang yang lain
daripada teks aslinya. Sesungguhnya kreativitas penulis sudah tampak pada
bagaimana ia mencoba menyusun sejarah pangiwa, memanjangkan kisah
hidup Raden Putra dan proses tampilnya Raden Kaduhu menjadi adipati
Wirasaba, menampilkan riwayat masa muda Mranggi Kejawar dan pendiri
Banyumas (Bagus Mangun). Agaknya sang penulis belum puas seandainya
ia hanya menyalin saja dari teks aslinya setelah disusunnya bagian teks yang
baru. Pupuh I Asmarandana, 12 bait berisi kisah singkat hubungan Majapahit
dengan Pajajaran yang diselingi beberapa orang adipati Wirasaba, termasuk
Katuhu, menjadi pupuh IX Pangkur (20 bait). Selebihnya, mulai pupuh II
hingga pupuh VII merupakan teks yang ditransformasikan dalam bentuk
tembang lain. Pupuh II Durma (31 bait) menjadi X Pucung (47), III Sin (26)
menjadi XI Mijil (26), IV Kinanthi (33) menjadi XII Sinom (18), V
Dhandhanggula (68) menjadi XIII Kinanthi (18), VI Sinom (34) menjadi
XIV Sinom (40), dan VII Mijil (22) menjadi XV Gambuh (17).
Mulai pupuh XVI hingga XXIII berisi teks yang sama dengan teks BtB,
kecuali pupuh XVIII. Pada teks BtB, pupuh X Asmarandana hanya berisi 35
bait, sedangkan pupuh XVIII ada 36 bait. Perbedaan satu bait tersebut
disebabkan oleh pengembangan bait 9 pupuh X menjadi bait 9-10 pupuh
XVIII. Dengan demikian, teks TSBB ikut melestarikan separo lebih teks SW
(Priyadi 2004).
Priyadi, Babad Banyumas dan Versi-versinya 99

KESIMPULAN
Ada tujuh versi baru Babad Banyumas, yakni (1) Jayawinata, (2)
Adimulya, (3) Panenggak Widodo-Nakim, (4) Oemarmadi dan Koesnadi, (5)
Kasman Soerawidjaja, (6) Keluarga Baru (Dipadiwiryan, Dipayudan
Banjarnegara, Cakrawedanan, Mertadiredjan, Gandasubratan, dan keluarga
Banjar-Gripit-Badakarya), dan (7) Sejarah Wirasaba. Selain itu, ada dua
versi lain, yaitu (1) Babad Banyumas Kalibening (berbahasa Jawa
Tengahan) dan (2) versi PRBN (berbahasa Jawa Kuna). Kedua versi terakhir
ini sangat penting untuk mengetahui jalur-jalur penulisan Babad Banyumas
karena keduanya merupakan teks yang tertua.
DAFTAR PUSTAKA
Atja & Danasasmita, S. 1981. Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian (Naskah
Sunda Kuno Tahun 1518 Masehi). Bandung: Proyek Pengembangan
Permuseuman Jawa Barat.
Ayatrohaedi & Atja. 1991. Pustaka Rajya-rajya I Bhumi Nusantara Parwa 2
Sargah 4. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Behrend, T.E. 1990. Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara, Jilid 1.
Museum Sono Budoyo Yogyakarta. Jakarta: Djambatan.
Behrend, T.E. & Pudjiastuti, T. 1997. Katalog Induk Naskah-naskah
Nusantara, Jilid 3B. Fakultas Sastra, Universitas Indonesia. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia-EFEO.
Behrend, T.E. 1998. Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara, Jilid 4. Perpustakaan
Nasional Republik Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia-
EFEO.
Djamaris, E. 1977. Filologi dan Cara Kerja Penelitian Filologi . Bahasa
dan Sastra. Tahun III. No.1.
Ekadjati, E.S. 1999. Direktori Edisi Naskah Nusantara. Jakarta: Masyarakat
Pernaskahan Nusantara-Yayasan Obor Indonesia.
Ekadjati, E.S. & Darsa, U.A. 1999. Katalog Induk Naskah-naskah
Nusantara, Jilid 5A. Jawa Barat, Koleksi Lima Lembaga. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia-EFEO.
Holle, K.F. 1877. Tabel van Oud en Nieuw Indische Alphabetten.
Buitenzorg: Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen.
100 BAHASA DAN SENI, Tahun 34, Nomor 1, Februari 2006
Kartosoedirdjo, A.M. 1941. Panembahan Lawet. Yogyakarta: Museum Sana
Budaya.
Kartosoedirdjo, A.M. 1967. Diktat Riwajat Purbalingga. Purbalingga: tanpa
penerbit.
Knebel, J. 1900. Babad Pasir, Volgens een Banjoemaasch Handschrift, met
vertaling VBG, deel LI: 1-155.
Knebel, J. 1901. Babad Banyumas, Volgens een Banjoemaasch Handschrift
beschreven TBG, deel XLIII: 397-443.
Padmapuspita, J. 1966. Pararaton, Teks Bahasa Kawi Terdjemahan Bahasa
Indonesia. Jogjakarta: Taman Siswa.
Pigeaud, Th. G. Th. 1932. Kangdjeng Pangeran Arja Adipati Danoeredja
VII Djawa, XXI: 34-40.
Pigeaud, Th. G. Th. 1967. Literature of Java. Volume I. The Hague: Martinus
Nijhoff.
Pigeaud, Th. G. Th. 1968. Literature of Java. Volume II. The Hague: Martinus
Nijhoff.
Priyadi, S. 1990. Tinjauan Awal tentang Serat Babad Banyumas sebagai
Sumber Sejarah Makalah disampaikan pada Seminar Sejarah Nasional
V. Semarang: Jarahnitra, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen
Pendidikan & Kebudayaan.
Priyadi, S. 1991. Babad Banyumas Kalibening Laporan Penelitian. Purwokerto:
IKIP Muhammadiyah Purwokerto.
Priyadi, S. 1992. Prabu Siliwangi dalam Historiografi Babad Laporan
Penelitian. Purwokerto: IKIP Muhammadiyah Purwowkerto.
Priyadi, S. 1993. Hubungan Sunda dengan Tradisi Penulisan Babad di
Daerah Banyumas Makalah Simposium Internasional Ilmu-ilmu Humaniora
II dalam rangka Purnabakti Prof. Dr. Darsiti Soeratman dan
Prof. Drs. M. Ramlan. Yogyakarta: Fakultas Sastra, Universitas Gadjah
Mada.
Priyadi, S. 1995a. Tedhakan Serat Babad Banyumas: Suntingan Teks, Terjemahan,
dan Fungsi Genealogi dalam Kerangka Struktur Naratif Tesis
S-2 pada program Pascasarjana, Yogyakarta: Universitas Gadjah
Mada.
Priyadi, S. 1995b. Sejarah Pangiwa dalam Tedhakan Serat Babad Banyumas
, Kebudayaan. No. 10. Th. V: 63-67. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Priyadi, Babad Banyumas dan Versi-versinya 101
Priyadi, S. 1995c. Tedhakan Serat Babad Banyumas: Suntingan Teks,
Terjemahan, dan Fungsi Genealogi dalam Kerangka Struktur Naratif
Berkala Penelitian Pasca Sarjana. Jilid 8, No.4A, November. Yogyakarta:
Universitas Gadjah Mada.
Priyadi, S. 1996. Teks Babad Pasir dalam Babad Banyumas Tradisi Naskah
Dipayudan. Makalah dipresentasikan dalam Simposium Internasional
Ilmu-ilmu Humaniora IV. Yogyakarta: Fakultas Sastra, Universitas
Gadjah Mada.
Priyadi, S. 1997a. Sejarah Penulisan Babad Banyumas dalam Lembaran
Sastra, edisi khusus No. 23. Semarang: Fakultas Sastra, Universitas
Diponegoro.
Priyadi, S. 1997b. Babad Banyumas Versi Wirjaatmadjan: Fungsi dan
Intertekstual . Laporan Penelitian, Purwokerto: Universitas Muhammadiyah
Purwokerto.
Priyadi, S. 1998. Penelitian Terakhir Babad Banyumas . Makalah Simposium
Internasional Ilmu-ilmu Humaniora IV dalam rangka Purnabakti
Prof. Dr. Umar Kayam dan Prof. Dr. Djoko Soekiman. Yogyakarta: Fakultas
Sastra, Universitas Gadjah Mada.
Priyadi, S. 1999a. Aspek-aspek Budaya Banyumasan . Laporan Penelitian.
Purwokerto: Universitas Muhammadiyah Purwokerto.
Priyadi, S. 1999b. Banyumas: antara Legenda dan Sejarah . Kajian Sastra.
No. 26/XXIII. Semarang: Fakultas Sastra, Universitas Diponegoro.
Priyadi, S. 1999c. Babad Banyumas dalam Teks Pustaka Rajya-rajya i
Bhumi Nusantara . Kajian Sastra. No. 27+28/XXIII. Semarang:
Fakultas Sastra, Universitas Diponegoro.
Priyadi, S. 2003. Babad Banyumas: Hubungan Banyumas dengan Majapahit
, Prasasti, Volume 51, Th. XIII, November. Surabaya: Fakultas Bahasa
dan Seni, Universitas Negeri Surabaya.
Priyadi, S. 2004. Transformasi Teks Babat Banyumas (BR. 58) . Diksi,
Vol. 11, No.1, Januari. Yogyakarta: Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas
Negeri Yogyakarta.
Soedarmadji, 1996. Sarasilah Turun Banjar Gripit Badakarya, Wilayah
Pembantu Bupati Wanadadi Kabupaten Banjarnegara. Purwokerto:
Lembaga Studi Banyumas.
Sutaarga, M.A. 1984. Prabu Siliwangi. Jakarta: Pustaka Jaya.
Uhlenbeck, E.M. 1964. A Critical Survey of Studies on Languages of Java
and Madura. s-Gravenhage: Martinus Nijhiff.
102 BAHASA DAN SENI, Tahun 34, Nomor 1, Februari 2006
Werdoyo, T. 1990. Tan Jing Sing dari Kapiten Cina sampai Bupati Yogyakarta.
Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.




_The End_

BABAD BANYUMAS DAN VERSI-VERSINYA 4

  • Versi Danuredjan (Gancaran)
Versi ini merupakan hasil transformasi teks dari versi Danuredjan
(tembang). Versi ini meliputi Tedhakan Serat Soedjarah Joedanagaran
(koleksi Museum Sana Budaya, SB 69), Sadjarah Padjadjaran Baboning
Tjarios saking Adipati Wiradhentaha Boepati Priangan Djilid I (koleksi
Soedarmadji), Sadjarah Padjadjaran Baboning Tjarios saking Adipati
Wiradhentaha Boepati Priangan Manondjaja Djilid II (koleksi Soedarmadji),
Naskah Krandji-Kedhoengwoeloeh (karya Wirjasendjaja, koleksi
Soedarmadji), Inti Silsilah dan Sedjarah Banjumas (karya R.M. S.
Priyadi, Babad Banyumas dan Versi-versinya 91
Brotodiredjo dan R. Ngatidjo Darmosuwondo), dan Babadipun Dusun
Perdikan Gumelem (karya P. Sastromihardjo, koleksi Soedarmadji).

Ada empat naskah baru, yakni (1) Serat Babad utawi Sejarah ing
Wirasaba Banyumas mendhet waton saking Serat Babad Karaton Jawi ing
Mataram, (2) Punika Sarasilah Toyamas, (3) Silsilah Banyumas, dan (4)
Soedjarah ing Banjoemas. Keempat naskah tersebut berisi kumpulan teks
silsilah yang mengacu kepada Tedhakan Serat Soedjarah Joedanagaran
(TSSJ). Secara umum, naskah-naskah tersebut menambah silsilah yang
terkait dengan Banyumas, tetapi teks tambahan itu tidak termuat dalam
Tedhakan Serat Soedjarah Joedanagaran. Naskah pertama yang memiliki
judul yang cukup panjang itu ditulis pada kertas yang dikeluarkan oleh
Cooperati Bondo Sepolo, Pendrikan Lor Semarang, 30-10-1930. Naskah
setebal 86 halaman (ukuran 21,5 X 16,5 cm) berisi teks silsilah Bani Asin
(Tjarijos trah Baniasin dhateng Toja-djene, Toemenggoeng Joedhanagara
kaping 3), Tjarijos Bagoes Koenting ingkang pinoendhoet poetra Soenan
Praboe ing Kartasoera, dan Tjarijos Raden Toemenggoeng Joedhanagara
kaping 3 Boepati Toja-djene, serta Persapa Adipati Warga hoetama I. Pada
halaman 85 terdapat keterangan bahwa yang menyalin naskah adalah Raden
Mas Mangkusubrata, asisten wedana Gandamanan, Yogyakarta. Selanjutnya,
naskah disalin kembali di Semarang yang diselesaikan oleh penyalinnya
(anonim) pada tanggal 20 Mei 1932.

Naskah kedua seluruhnya ada 31 halaman (ukuran 21,5 X 17 cm). Teks
tersebut berisi silsilah dari Brawijaya (Hayam Wuruk sampai Mas Ngabehi
Kertadiredja), Pengenget-enget, silsilah Mas Sudaryat, situs keramat
Ciroyom Ajibarang, Adam Tengen (sejarah panengen), sejarah pangiwa
sampai Mataram, silsilah Pajajaran, Galuh Pasirluhur, silsilah Pasirbatang,
Negeri Purwacarita, keraton Pengging, dan keraton Pajang.
Naskah ketiga tebalnya 92 halaman dan ditambah 14 halaman lampiran
yang berisi ringkasan teks Babad Pekalongan. Naskah yang disusun oleh
Raden Soekrisno di Semarang, 29 Desember 1985 itu berisi teks yang
beraneka ragam, bahkan ada kesan seperti sejarah nasional. Sejarah
Indonesia dari Kutei sampai Demak dipakai sebagai pengantar teks (hlm. 1-
28), yaitu bab I-XVII. Fenomena seperti ini juga tampak jelas pada karya
Sejarah Cakrawedanan. Teks-teks lain yang tidak terkait dengan Banyumas
tampak pada bab XXII, XXIV, XXV, XXVI, XXVIII, XXX, XXXI, dan
XXXII. Teks-teks yang relevan dengan versi Danuredjan gancaran terlihat
jelas pada bab XVII (Raden Aria Baribin), XVIII (Kadipaten Wirasaba),
92 BAHASA DAN SENI, Tahun 34, Nomor 1, Februari 2006
XIX (Para bupati tlatah Banyumas), XX (silsilah Kadipaten Pasirluhur lan
Wirasaba), XXI (Adipati Danurejo I dumugi Danurejo VII), XXIII (Raden
Tumenggung Secodiningrat), XXVII (silsilah Galuh/Pakuan, Pajajaran, lan
Pasirluhur), dan XXIX (tedhak turun saking Kadipaten Wirasaba,
kawiwitan saking putra wayah Raden Tumenggung Mertayuda I ing
Banyumas). Bagian XXIII berisi kisah Raden Tumenggung Secodiningrat
sebagai salah seorang cucu Kangjeng Raden Adipati Danuredja I (lihat
Werdoyo, 1990).

Naskah keempat merupakan naskah cetakan De Boer, Purwokerto yang
berjudul Serat Soedjarah deel I. Naskah tersebut disusun oleh Soerjo
Winarso di Purwokerto. Naskah berisi sembilan teks, yaitu Soedjarah ing
Banjoemas, Soedjarah ing Karanglo, Soedjarah ing Medijoen, Soedjarah
ing Djoeroe Mertanen, Soedjarah ing Pati, Soedjarah ing Soemenep,
Soedjarah ing Praboe Estri ing Padjang, Soedjarah ing Madoera, dan
Soedjarah ing Lemboe Peteng ing Taroeb doemoegi Ingkang Sinoewoen
Praboe Mangkoerat ing Kartasoera. Teks pertama memuat kisah Raden
Baribin sampai silsilah dinasti Banyumas (Kyai Mertanegara) (hlm. 1-22).
Pada halaman 3, ada keterangan agar pembaca mengecek kembali teks
Babad Banyumas karya Patih Wirjaatmadja. Agaknya teks BWK dan SSB
juga menjadi acuan. Hal itu tampak dalam sisipan teks Babad Pasir. Di situ,
Banyak Catra nikah dengan Dewi Raras (BWK dan SSB:Ardiraras) dan
Raden Tambangan kawin dengan Dewi Lungge. Keterangan semacam itu
disebut oleh teks BWK dan SSB (termasuk hasil transformasinya),
sedangkan silsilahnya mengacu kepada teks TSSJ.
  • Versi Keluarga Baru
Ada fenomena yang menarik dalam perkembangan penulisan babad di
Banyumas, yaitu teks-teks Babad Banyumas ditransformasikan, disalin, dan
ditambahkan silsilah dari keluarga tertentu sehingga mencirikan keluarga
tersebut. Di sini, ada enam naskah yang memuat teks keluarga, yakni (1)
Serat Sarasilah, (2) Silsilah lan Sedjarah Banjumas, (3) Sadjarah
Banjoemas Tedhak Wirasaba, (4) Sejarah dan Silsilah Bupati Banyumas dan
Keturunannya, (5) Sarasilah Turun Banjar Gripit Badakarya (naskah
Penatus Bawang), serta (6) Sujarah saking Dhusun Makam.
Serat Sarasilah seluruhnnya ada 36 halaman (ukuran 21 X 11,5 cm).
Naskah tersebut merupakan salinan yang ketiga yang dilakukan oleh
Priyadi, Babad Banyumas dan Versi-versinya 93
Atmodihardjo di desa Wero, distrik Gombong, tanggal 10 April 1935.
Naskah induk merupakan milik Raden Prawiradiwirya di Banjarnegara. Pada
tanggal 6 Agustus 1916, naskah disalin dengan penambahan silsilah
keturunan Raden Adipati Dipayuda (bupati Banjarnegara pertama) dan Patih
Raden Dipadiwirya. Selanjutnya, pada tahun 1925 naskah disalin kembali
dan teksnya berkembang. Sebelumnya, hanya penambahan anak-anak dari
kedua tokoh sentral di Banjarnegara, maka pada penyalinan yang kedua
ditambah silsilah keturunan Patih Raden Dipadiwirya sampai generasi
keempat (buyut). Penambahan tersebut disesuaikan dengan kondisi
zamannya. Penyalinan ketiga juga ada penambahan berupa kisah-kisah
leluhur, seperti Raden Baribin, Raden Tumenggung Yudanegara I, dan
Raden Tumenggung Dipayuda Banjarnegara. Perlu diketahui bahwa Serat
Sarasilah ini mendapat tambahan teks dari Babad Banyumas Wirjaatmadjan,
khususnya kisah-kisah leluhur tadi yang berbentuk tradisi lisan. Serat Sarasilah
milik Raden Mas Prawironoto adalah teks keluarga Dipadiwiryan.
Silsilah lan Sedjarah Banjumas merupakan karya Raden Adiman Wirjokoesoemo
(kepala inspeksi Sekolah Rakyat di Purwokerto). Naskah ditulis
pada bulan April 1957 di Purwokerto. Silsilah dimulai dari Brawijaya Majapahit
yang diteruskan silsilah Wirasaba dan Banyumas. Silsilah yang terakhir
ini menjadi padanan menuju keluarga-keluarga bupati di Cilacap,
Banyumas (Kanoman), Kenduruan Roma, Dipayudan Banjarnegara, keluarga
Dipadiwiryan Banjarnegara (hlm. 1-22). Mulai halaman 22 disajikan
silsilah tambahan yang terkait dengan Banyumas, yaitu (1) Silsilah Pekalongan,
(2) Silsilah Danuredja I-VII, (3) Silsilah Raden Baribin sampai Warga
Utama II, (4) petikan Babad Pasir, (5) Perang Jenar, (6) Sedjarah Ambal
dan Kolopaking, (7) keris Jaka Kaiman, dan (8) Kyai Arsantaka (hlm. 22-
52).
Sedjarah Banjoemas Tedhak Wirasaba merupakan naskah koleksi
Kasman Soerawidjaja di Purwokerto. Naskah tersebut tebalnya 22 halaman
kuarto. Naskah ini berisi teks silsilah dari Raden Baribin sampai keturunan
Yudanegara II. Silsilah tersebut berkembang menjadi silsilah keluarga Dipayudan
Banjarnegara dan Cakrawedanan (Kasepuhan Banyumas), serta Mertadiredjan
di Purwokerto.
Sejarah dan Silsilah Bupati Banyumas dan Keturunannya adalah
naskah yang berisi teks keluarga besar Gandasubratan. Yang menyusun
naskah tersebut adalah Raden Soedana Tjakra Gandasoebrata. Naskah setebal
50 halaman kuarto itu memakai padanan silsilah dari Pajajaran (Prabu
94 BAHASA DAN SENI, Tahun 34, Nomor 1, Februari 2006
Silihwangi) dan Prabu Brawijaya III. Lalu, silsilah dikembangkan sampai
Yudanegara V. Pemecatan Yudanegara V sebagai bupati Banyumas memunculkan
trah Bratadiningratan. Di sini, ada tiga tokoh yang memakai nama
Mertadiredja sebagai bupati Banyumas Kanoman, bupati Purwokerto, dan
bupati Purwokerto (lalu pindah Banyumas). Sesudah Mertadiredja III, bupati
Banyumas memakai gelar Pangeran Aria Gandasoebrata. Nama bupati yang
terakhir ini dipakai sebagai nama keluarga yang baru oleh keturunannya. Keluarga
Gandasubratan merupakan bagian dari keluarga Bratadiningratan
(Mertadiredjan). Silsilah keluarga Gandasubratan berisi silsilah lima generasi
dari Pangeran Aria Gandasoebrata sampai canggahnya.
Sarasilah Turun Banjar Gripit Badakarya adalah naskah Penatus
Bawang (Banjarnegara). Naskah tebalnya 56 halaman (ukuran 25 X 16 cm).
Selain itu, agaknya ada naskah yang berisi teks yang dekat dengan naskah
Penatus Bawang, yakni Sujarah saking Dhusun Makam. Naskah desa
Makam ini merupakan karya salinan Ngisroen Mangoenwidjaja di Gunung
Batu, Bogor, 2-8 Pebruari 1972. Salinan Ngisroen menjadi koleksi Soepirman
Martadiwirja (mantan Patih Banjarnegara di Purwokerto). Naskah Ngisroen
diketik pada kertas berukuran folio (40 halaman). Penelitian Soedarmadji
(1996:3) mengenai kedua naskah tersebut menyatakan bahwa naskah
pertama hanya separo naskah kedua. Sujarah saking Dhusun Makam memuat
23 teks, tetapi yang terkait dengan teks Babad Banyumas adalah Sudjarah
tijang Wirasaba asal saking Negari Madjapait dhumugi Ki Nurngali
di Kedung Uter. Dua teks di atas mencerminkan adanya kecenderungan untuk
mengangkat kekerabatan Banjar-Gripit-Badakarya, sedangkan teks lainnya
hanya sebagai pelengkap. Teks Babad Banyumas yang dibicarakan di
atas berfungsi untuk melegitimasikan pendiri Banyumas beserta seluruh
keturunannya (Priyadi 1999a: 30-39).
  • Versi Sejarah Wirasaba
Sejarah Wirasaba diduga memiliki mata rantai dengan tradisi teks yang
lebih muda, yakni Babat Banyumas BR. 58 dan Tedhakan Serat Babad
Banyumas (koleksi Perpustakaan Nasional) (Behrend, 1998:60 & 223). Teks
yang terkandung dalam kedua naskah koleksi Perpustakaan Nasional itu merupakan
naskah yang pantas dicermati karena ia diduga sebagai naskah yang
dihasilkan dari tradisi Sejarah Wirasaba. Tradisi teks Sejarah Wirasaba selama
ini dikenal sebagai tradisi yang melahirkan teks-teks babad versi BanPriyadi,
Babad Banyumas dan Versi-versinya 95
jarnegara dan Wirjaatmadjan, sedangkan teks Tedhakan Serat Babad
Banyumas yang disebut sebagai teks Mertadiredjan (koleksi Perpustakaan
Nasional Hds.B.G. 526 dan Kangjeng Pangeran Aria Mertadiredja III) merupakan
teks yang menonjol karena memuat tradisi silsilah kiri atau sejarah
pangiwa (bdk. Ekadjati dan Darsa, 1999:211-212). Sekilas bahwa teks Babat
Banyumas BR. 58 menampakkan diri sebagai tradisi babad yang terbuka
karena terkontaminasi dari tradisi Sejarah Wirasaba dan versi Banjarnegara.
Selanjutnya, teks Sejarah Wirasaba mendapat tanggapan pembaca dalam
bentuk transformasi oleh penulis Babat Banyumas dan Tedhakan Serat Babad
Banyumas.

Naskah Babat Banyumas BR. 58 adalah naskah koleksi Brandes yang
tersimpan pada Perpustakaan Nasional RI dengan kode BR. 58. Naskah ini
berada pada satu bundel dengan naskah Babad Bandawasa (KBG. 333), Babad
Mataram (KBG. 598), dan Babad Surapati (BR. 585). Pada tahun 1996,
Perpustakaan Nasional mentransliterasikan dan menerjemahkan keempat
naskah tersebut. BtB ini ditulis pada kertas berukuran 21 X 16,5 cm. Tebal
naskah meliputi 84 halaman dan setiap halaman terdiri dari 16 baris. Naskah
berhuruf dan berbahasa Jawa ini berisi teks yang berbentuk tembang
macapat yang seluruhnya ada 15 pupuh. Naskah kertas BtB sudah lapuk,
tetapi tulisannya masih terbaca. Hasil transliterasi Perpustakaan Nasional
menunjukkan bahwa banyak sekali salah baca terhadap teksnya. Hal itu
menyebabkan hasil terjemahannya juga banyak penyimpangan yang tidak
sesuai dengan teks aslinya. Kemungkinan di samping banyak tulisannya
yang rusak, juga orang yang mengerjakannya tidak mengenal tradisi teks
Babad Banyumas pada umumnya.

Naskah Sejarah Wirasaba merupakan koleksi pribadi atau perorangan
yang tersimpan di desa Wirasaba, Kecamatan Bukateja, Kabupaten
Purbalingga. Jadi, naskah tersebut berasal dari situs sejarah pra-Banyumas
sebagai cikal-bakal. Sejarah Wirasaba adalah naskah yang selalu disalinsalin
sehingga eksistensinya tampak sampai sekarang. SW juga merupakan
naskah berhuruf dan berbahasa Jawa. Naskah ini berisi teks 14 pupuh
tembang macapat. Pada bagian belakang ditemukan silsilah Banyumas dari
Adipati Wira Utama (Raden Katuhu) hingga Raden Tumenggung
Yudanegara (Raden Gandakusuma). Naskah koleksi Mad Marta ini ditulis
pada kertas yang berukuran 16,5 X 21 cm. Tebal naskah 90 halaman dengan
perincian halaman 1-85 berisi tembang macapat, sedangkan halaman 86-90
berisi silsilah yang disebut di atas. Pada pupuh I, bait 2 terdapat keterangan
96 BAHASA DAN SENI, Tahun 34, Nomor 1, Februari 2006
waktu penulisan, yaitu sengkalan yang berbunyi swara naga giri sangi.
Agaknya kata sangi merupakan kesalahan baca dan salin, seharusnya nabi.
Sengkalan tersebut berarti angka tahun Jawa 1787 atau 1858 masehi.
Kiranya naskah yang sampai pada masa kini adalah naskah salinan ketiga
dari naskah tahun 1787 (1858). Penyalinnya ternyata bukan penduduk
Wirasaba yang bernama Mulyareja. Salinan diselesaikan pada tanggal 24
Agustus 1956. Pada halaman 90 terdapat keterangan yang menyatakan
bahwa Mulyareja lahir pada hari Senin Kliwon 27 Desember 1894. Di
samping itu, pada halaman 72 terdapat catatan tentang hilangnya beberapa
halaman. Pada halaman 10-11 ada keterangan hilangnya satu bait.
Naskah Tedhakan Serat Babad Banyumas (selanjutnya disingkat
TSBB) merupakan naskah koleksi Museum Nasional Jakarta dengan kode
Jav. Hds. B. G. No. 526 (sekarang koleksi Perpustakaan Nasional RI).
Naskah ini memakai judul yang cukup panjang, yaitu Punika Tedhakan
Serat Babad Banyumas sambutan saking Raden Adipati Mertadiredja ing
Banyumas. Judul itu diberikan oleh penyalinnya yang bernama Raden
Natahamijaya, seorang pejabat carik jaksa dari Magetan. Penyalinan
naskah tersebut atas permintaan J. Knebel yang menjabat asisten residen di
Magetan. Oleh Knebel, naskah salinan itu diserahkan kepada Lembaga
Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen pada bulan April
1904 dan tercatat pada bulan Juli 1928. Naskah ditulis pada kertas berukuran
33 X 21,5 cm. Naskah setebal 83 halaman itu berisi 23 pupuh tembang
macapat (halaman 1-78) dan tambahan atau sambetan (halaman 79-81) yang
berbentuk prosa. Dua halaman depan berisi judul dan nama penyalinnya.
Naskah TSBB merupakan naskah salinan dari naskah koleksi Kangjeng
Pangeran Aria Mertadiredja III, yang menjabat bupati Purwokerto (1860-
1879) dan bupati Banyumas (1879-1913).

Jika mencermati ketiga teks, maka Babat Banyumas tampaknya
merupakan teks yang menjembatani antara tradisi lama (Wirasaba) dengan
tradisi baru (teks Mertadiredjan Banyumas). Hal itu dapat dilihat pada
perbandingan teks antara naskah Babat Banyumas dengan Sejarah Wirasaba.
Kedua teks perbedaannya tidak begitu mencolok, bahkan naskah Babat
Banyumas itu merupakan salinan dari naskah Sejarah Wirasaba. Sejarah
Wirasaba yang ditemukan sekarang memang banyak bagian yang hilang dan
tidak lengkap sehingga ada perbedaan jumlah bait pada pupuh tertentu,
bahkan pupuh XV pada Babat Banyumas tidak ditemukan. Kemungkinan
naskah pada bagian belakang Sejarah Wirasaba hilang beberapa halaman
Priyadi, Babad Banyumas dan Versi-versinya 97
sebelum disalin oleh Mulyareja. Dengan demikian, Babat Banyumas adalah
penerus tradisi naskah Wirasaba.

Perbandingan teks Babat Banyumas (Btb) dengan Tedhakan Serat
Babad Banyumas (TSBB) menunjukkan bahwa keduanya menampakkan
kesamaan atau kedekatan teksnya pada pupuh VIII-XV (BtB) dan pupuh
XVI-XXIII (TSBB). Jadi, ada 8 pupuh. Pupuh I-VIII (TSBB) berisi teks
yang berbeda dengan teks-teks lain Babad Banyumas, termasuk BtB. Mulai
pupuh IX hingga XV (TSBB) merupakan transformasi teks dari tembang
yang satu ke tembang yang lain, yaitu pupuh I Asmarandana menjadi pupuh
IX Pangkur, II Durma menjadi X Pucung, III Sinom menjadi XI Mijil, IV
Kinanthi menjadi XII Sinom, V Dhandhanggula menjadi XIII Kinanthi, VI
Sinom (34 bait) menjadi XIV Sinom (40 bait), dan VII Mijil menjadi XV
Gambuh. Selanjutnya, untuk memahami perbandingan teks antara ketiga
naskah tersebut dibuat tabel 4 di bawah ini.
(bersambung)

BABAD BANYUMAS DAN VERSI-VERSINYA 3

  • Versi Kasman Soerawidjaja
Ada satu naskah, yaitu Babad Wirasaba lan Sedjarah Banjumas
(BWSB) yang tidak termasuk versi Wirjaatmadjan, tetapi tergolong teks
transformasi dari versi Dipayudan. BWSB adalah karya transformasi Kasman
Soerawidjaja. Naskah tersebut ditulis di Purwokerto, 25 April 1959.
Kasman Soerawidjaja menyebut beberapa naskah yang dipakai sebagai bahan
penyusunan BWSB: (1) Buku Babad Banjumas mawi sekar (puisi),
kaserat ing Banjumas tg. 27 Djumadilawal, Be 1808 utawi tg. 9 Mei 1879,
(2) Buku Babad Banjumas gantjaran (prosa), kaserat ing Bandjarnegara,
Agustus 1845, (3) Babad Tanah Djawi, djilid I, (4) Nitik babad saha tjengkorongan
Sedjarah Tanah Djawi, (5) Sedjarah Indonesia. Naskah pertama
dapat diidentifikasikan sebagai Babad Wirasaba Kejawar (BWK). Hal itu
dapat dilihat dari tanggal 9 Mei 1879. Namun, Kasman membuat kesalahan
dengan menulis tanggal 27 Jumadilawal Be 1808, seharusnya tanggal 17
Jumadilawal. Maka dari itu, teks BWSB dapat dikatakan sebagai hasil transformasi
dari BWK, yaitu dari tembang ke gancaran. Halaman 1-158 berisi
teks BWK, sedangkan 159-200 berisi teks kontaminasi Babad Banjumas
(prosa), Babad Tanah Djawi, karya-karya babad dan sejarah Jawa, serta Sejarah
Indonesia.
Sayang sekali, naskah kedua, yakni Babad Banjumas (prosa) belum dapat
diidentifikasikan. Menilik tempat dan waktu penulisan agaknya naskah
tersebut termasuk versi transformasi dari versi Dipayudan, atau dengan kata
lain babad damelan Banjar. Tahun 1845 adalah tahun penulisan Sujarah
Banyumas Danukrama (SBD). Namun, SBD adalah teks tembang, bukan
gancaran. Teks yang terdapat pada halaman 158-200 sangat dekat dengan
teks Babad Banjoemas karya Wirjaatmadja yang diterbitkan oleh Electrische
Drukkerij TAN Poerbolinggo pada halaman 19-38. Namun, tahun 1845 Patih
Wirjaatmadja belum menulis naskahnya karena pada tanggal 25 Oktober
1898, beliau baru mendapat perintah dari Asisten Residen Purwokerto
W.P.D. de Wolff van Westerrode. Jadi, bisa diduga bahwa naskah yang ditulis
tahun 1845 dijadikan bahan acuan oleh Wirjaatmadja, tetapi naskah itu tidak
sampai kepada kita sehingga naskah itu tergolong missing-link. Naskah
yang ditulis Wirjaatmadja memuat peristiwa sampai tahun 1845. Pada tahun
1845, ada peristiwa pembuatan jalan raya dari Buntu sampai Gombong,
tetapi Kasman tidak menuturkannya. Karya Kasman tidak mencantumkan
peristiwa-peristiwa periode 1830-1845. Pada tahun 1845, Wirjaatmadja baru
Priyadi, Babad Banyumas dan Versi-versinya 87
berumur 14 tahun karena ia lahir pada tahun 1831. Wirjaatmadja menulis
naskah pada usia 67 tahun, tetapi ia tidak menceritakan peristiwa sezaman,
yaitu periode 1845-1898. Barangkali Kasman belum selesai menyalin
naskah berangka tahun 1845 itu, sebaliknya Wirjaatmadja bekerja berdasarkan
naskah tahun 1845 dan Serat Sujarah Banyumas (ditulis periode 1879-
1898). Kedua teks acuan Wirjaatmadja belum ditemukan naskahnya (Priyadi,
1997b:24).
Wirjaatmadja sendiri mengakui bahwa peristiwa-peristiwa pada periode
kolonial merupakan tradisi lisan, yaitu kisah-kisah yang berasal dari orangorang
tua. Jika pengakuan Wirjaatmadja ini benar, maka naskah 1845 memang
tidak memuat peristiwa periode 1830-1845. Oleh karena itu, sudah
sewajarnya Kasman tidak mencantumkan dalam karyanya (BWSB).
Karya Kasman merupakan versi baru, yaitu versi transformasi dari versi
Dipayudan, tetapi tidak masuk versi Wirjaatmadjan. Dengan demikian, versi
Dipayudan telah melahirkan empat versi, yakni versi Wirjaatmadjan, versi
Kasman Soerawidjaja, versi Panenggak Widodo-Nakim, serta versi
Oemarmadi-Koesnadi. Kelima versi tersebut di atas merupakan babad
damelan Banjar yang masuk ke Banyumas. Kiranya kelima versi tadi sangat
populer dan dikenal secara luas di Banyumas karena jumlah naskahnya
secara keseluruhan ada 24 buah.
  • Versi Wirjaatmadjan
Versi Dipayudan melahirkan versi Wirjaatmadjan. Versi yang
berbentuk gancaran ini terdiri dari Babad Banyumas wiwit Kraton Majapahit
(koleksi Soedarmadji), Babad Banjumas wiwit Djaman Kraton Madjapahit
(koleksi Soedarmadji), Babad Banjoemas (terbitan Electrische Drukkerij
TAN Poerbolinggo), dan Babad Banyumas wiwit Majapahit (koleksi
Museum Sana Budaya Yogyakarta, PB.C. 112), Uittreksel uit de Babad
Banjumas (karya Patih Banyumas Poerwasoepradja, cetakan Drukkerij
Providence Poerwokerto), Babad Banyumas (salinan Raden Soemitro), dan
Riwayat Banyumas (terjemahan Adisarwono dari terbitan Poerbolinggo). Di
Perpustakaan Fakultas Sastra (kini Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya)
Universitas Indonesia tersimpan dua naskah, yaitu Babad Banyumas (SJ. 15)
dan Babad Banyumas (SJ. 16) (Behrend & Titik Pudjiastuti, 1997:796-797).
Naskah pertama terdapat identitas penyalinnya, Siswasarjana, sedangkan
naskah kedua menyebut Salsaman sebagai penyuntingnya. Naskah kedua
88 BAHASA DAN SENI, Tahun 34, Nomor 1, Februari 2006
agaknya sama dengan naskah koleksi Sono Budoyo (PB.C. 112) (bdk.
Ekadjati, 1999:172). Di sini, ada dua naskah yang baru ditemukan, yaitu
Babad Banjumas (salinan Adimulya) dan Babad Banjumas (salinan Mustafa
Gandasubrata). Kedua naskah disalin berdasarkan Babad Banjoemas
Wirjaatmadjan yang diterbitkan oleh Electrische Drukkerij TAN
Poerbolinggo (lihat Uhlenbeck, 1964: 130). Namun, kedua salinan tersebut
belum selesai. Yang pertama sampai pada halaman 65, sedangkan yang
kedua sampai halaman 39. Halaman 39 tersebut merupakan batas antara
karya Patih Purwokerto, Wirjaatmadja dengan karya Patih Banyumas,
Poerwasoepradja (Priyadi, 1997b). Di situ, Patih Poerwasoepradja melanjutkan
karya Wirjaatmadja.
  • Versi Oemarmadi dan Koesnadi
Babad Banyumas Wirjaatmadjan sebagai karya babad baku juga
melahirkan karya transformasi yang lain, yaitu karya Oemarmadi dan M.
Koesnadi Poerbosewojo. Babad Banjumas karya kedua penulis tersebut
menyatakan pada kata pengantarnya bahwa karya itu ditulis berdasarkan
catatan-catatan leluhur tertanggal 25 Oktober 1898. Tanggal tersebut merupakan
tanggal perintah Asisten Residen Purwokerto, W.P.D. de Wolff van
Westerrode kepada Patih Aria Wirjaatmadja. Ada dugaan bahwa catatan leluhur
itu adalah karya Patih Purwokerto. Di situ, Oemarmadi dan Koesnadi
Poerbosewojo memberi tambahan cerita-cerita dongeng atau legenda yang
terkait dengan sejarah Banyumas. Pada penelitian terdahulu, karya Oemarmadi
dan Koesnadi adalah cabang dari versi Wirjaatmadjan. Kiranya, karya
tersebut adalah versi yang cukup populer di kalangan masyarakat Banyumas
dan disebarluaskan dengan stencil sheet. Agaknya, naskah yang dicetak pada
tahun 1964 tidak terjangkau oleh segala lapisan masyarakat yang membutuhkannya.
Hal itupun masih dianggap kurang sehingga Babad Banjumas Oemarmadi
dan Koesnadi diciptakan kembali oleh Resi Satwa dan disebarluaskan
melalui majalah bulanan Rahayu yang diterbitkan oleh Humas Puspenmas
Kabupaten Dati II Banyumas pada tahun 1976. Resi Satwa menyajikan
teksnya dalam bahasa Jawa, sedangkan Oemarmadi dan Koesnadi menggunakan
bahasa Indonesia. Pada tahun 1980, karya Oemarmadi dan
Koesnadi kembali dipublikasikan melalui Parikesit yang ditulis atau disalin
oleh Ki Tirtakencana. Seperti halnya Resi Satwa, Ki Tirtakencana juga mePriyadi,
Babad Banyumas dan Versi-versinya 89
makai bahasa Jawa. Dongeng dan legenda Banyumasan oleh Ki
Tirtakencana ditempatkan pada bagian belakang. Periode 1984-1985,
suratkabar mingguan Parikesit memuat Babad Banyumas karya Ki Any
Asmara secara bersambung seperti karya Resi Satwa dan Ki Tirtakencana.
Any Asmara mengakui bahwa bahan untuk menulis Babad Banyumas adalah
karya Tirtakencana. Oleh karena itu, karya Any Asmara mirip dengan karya
Tirtakencana.
Resi Satwa, Ki Tirtakencana, dan Ki Any Asmara pada hakikatnya
menyalin dari karya Oemarmadi dan Koesnadi. Ketiganya mengalihbahasakan
dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Jawa. Ki Tirtakencana dan Ki
Any Asmara menambahkan legenda-legenda yang ditemukan di daerah Purbalingga,
yakni Adipati Onje, Embah Narasoma, makam Bantenan, makam
Kyai Wilah, Ardi Lawet, dan makam Girilangen (Susukan, Banjarnegara).
Legenda-legenda dari Purbalingga agaknya memakai karya A.M. Kartosoedirdjo
(1967) yang berjudul Diktat Riwajat Purbalingga yang disebarkan
dengan stencil sheet. A.M. Kartosoedirdjo (1941) juga menulis Babad Purbalingga
yang menjadi koleksi Museum Sana Budaya, Yogyakarta (PB.A.
271).
Di samping itu, di Banyumas juga ditemukan naskah Sejarah Kabupaten
Banyumas karya Sanmardja (Tukang Uang desa Kalisube, Banyumas).
Teks ini adalah terjemahan dari bahasa Indonesia (karya Oemarmadi &
Koesnadi) ke dalam bahasa Jawa, bahkan ditulis dalam huruf Jawa. Teks
hanya berisi kisah dibukanya kota Banyumas hingga Yudanegara IV,
Banyumas dibagi dua, Perang Dipanegara, dan tradisi lisan Kejawar. Di sini,
tidak ada dongeng-dongeng lokal seperti yang terdapat pada teks induk.
  • Versi Panenggak Widodo-Nakim
Versi ini terdiri dari Babad Banyumas dan Sorosilah Keluarga
Tinggarjaya Banyumas (karya Ki Panenggak Widodo) dan Babad Banyumas
(karya Nakim). Karya Ki Panenggak Widodo dan Nakim merupakan cabang
dari versi Wirjaatmadjan. Kedua karya tersebut telah berkembang menjadi
versi transformasi versi Wirjaatmadjan.
Suatu gejala teks yang sangat menarik. Teks versi Wirjaatmadjan selalu
mendapat sambutan pembaca secara terus-menerus. Hal itu terjadi karena
teks-teks Wirjaatmadjan dianggap sebagai buku sejarah Banyumas oleh
masyarakat umum, atau babad baku oleh Patih Poerwasoepradja. Karya
90 BAHASA DAN SENI, Tahun 34, Nomor 1, Februari 2006
Wirjaatmadja merupakan karya yang berfungsi sebagai panduan bagi
pembaca awal untuk memasuki teks Babad Banyumas, khususnya babad
damelan Banjar (teks-teks tembang) yang masuk ke Banyumas melalui
kepatihan Banyumas.
  • Versi Danuredjan (Tembang)
Babat ing Banyumas adalah koleksi Museum Sana Budaya, PB.A. 251
yang disusun oleh Raden Adipati Danuredja V, R.O.N.L. pada hari Senin
Legi, 25 Rabingulakhir Ehe 1812 atau 5 Maret 1883. Kangjeng Raden
Adipati Danuredja V adalah Pepatih Dalem Kasultanan Yogyakarta ke-V
(13 Pebruari 1847-17 Nopember 1879) dan setelah pensiun bergelar
Kangjeng Pangeran Harya Juru (Pigeaud, 1932:34).
Teks Babat ing Banyumas dibagi menjadi dua, yakni 405 halaman
bagian pertama berisi 59 pupuh tembang macapat dan 154 halaman bagian
kedua berisi 13 silsilah dalam bentuk prosa. Pupuh I-XVII berisi keterangan
hubungan antara sejarah Sri Harjakusuma dengan Majapahit, Babad
Wirasaba, Babad Banyumas, dan keluarga Kadanuredjan. Pupuh XVIIIXXVI
(bait 1-26) berisi Babad Wirasaba dan Babad Banyumas. Pupuh
XXVI (bait 27-56)-XXXVII berisi hubungan teks Babad Banyumas dengan
Sujarah Kadanuredjan Ngayogyakarta Hadiningrat, sedangkan pupuh
XXXVIII-LIX berisi Babad Banyumas yang dilanjutkan Babad Kadanuredjan
dan dihubungkan dengan keturunan yang ada di Banyumas, Yogyakarta,
dan Surakarta. Selanjutnya, bagian kedua yang berisi 13 silsilah dapat dibandingkan
dengan teks-teks dari versi Danuredjan (gancaran).

BABAD BANYUMAS DAN VERSI-VERSINYA 2

  • Versi Transformasi Teks Mertadiredjan
Versi ini meliputi Babad Nagari Banyumas wiwit saking Pandita Putra
ing Pajajaran (karya Rejosudiro, koleksi Soedarmadji), Babad Banyumasan
(karya Ki S. Wigno, koleksi Sugeng Priyadi), Terjadinya Daerah Banyumas
82 BAHASA DAN SENI, Tahun 34, Nomor 1, Februari 2006
(karya terjemahan Roeslan Doyowarsito dari karya Ki S. Wigno), Babad
Nagari Banjumas wiwit saking Pandito Putro hing Pedjadjaran (stensil
Budi, koleksi Soedarmadji), Babad Nagari Banyumas wiwit saking Pandhita
Putra ing Pajajaran (salinan Sugeng Priyadi), Babad Banyumas (karya
Amen Budiman di Harian Suara Merdeka), dan Babad Banyumas (karya
Soemarno, Whd., di Mingguan Jayabaya).
  • Versi PRBN
Teks Babad Banyumas juga terkandung dalam naskah Pustaka Rajyarajya
I Bhumi Nusantara Parwa 2 Sargah 4. Pada halaman 173-176 berisi
ringkasan teks Babad Banyumas (Ayatrohaedi & Atja, 1991:109-110). Teks
tadi menjelaskan bahwa Raden Baribin adalah adik Prabu Brawijaya
Kretabhumi. Baribin pergi dari ibu kota Majapahit karena serbuan Raden
Patah. Raden Baribin menempuh perjalanannya dari ibu kota ke Pajajaran
melalui Kaleng dan Ngayah. Dikisahkan raja Pajajaran mempunyai empat
orang anak, yaitu Banyak Catra (Raden Kamandaka) yang menjadi bupati
Pasirluhur, Raden Banyak Ngampar menjadi bupati di Dayeuhluhur, putra
mahkota, dan Nay Retna Ayu Kirana. Raden Baribin dikawinkan dengan
Nay Retna Ayu Kirana. Raden Baribin disebut juga Pandita Putra. Ibu Raden
Baribin disebut sebagai cucu bupati Wirasaba yang kawin dengan raja
Majapahit. Raden Baribin mempunyai anak lelaki, yakni Katuhu yang lahir
pada tahun Saka 1403 (1481 Masehi). Raden Katuhu menjadi bupati
Wirasaba kedua dengan gelar Raden Adipati Wirontomo II. Ada tiga bupati
Wirasaba yang memerintah secara berurutan, yaitu Wirontomo I, Katuhu
(Wirontomo II), dan Adipati Urang (Wirontomo III).
Teks tersebut lebih dekat dengan versi Dipayudan atau versi
Banjarnegara, baik yang berasal dari Wirasaba maupun Banjarnegara.
Pustaka Rajya-rajya I Bhumi Nusantara Parwa 2 Sargah 4 ini memakai
bahasa Jawa Kuna yang ditulis pada tahun Saka 1602, atau 1680 Masehi.
Keberadaan teks Babad Banyumas tersebut menunjukkan bahwa Babad
Banyumas telah dikenal pada perempat terakhir abad ke-17 Masehi.
Penanggalan itu tidak bertentangan dengan tipe huruf Babad Banyumas
Kalibening yang juga berasal dari abad ke-17 Masehi. Ada kemungkinan
bahwa teks tersebut menjadi cikal-bakal teks Babad Banyumas versi
Banjarnegara (Priyadi, 1999b:63 & 1999c:229).
Priyadi, Babad Banyumas dan Versi-versinya 83
  • Versi Dipayudan atau Versi Banjarnegara
Versi yang berbentuk tembang ini meliputi teks Babad Wirasaba
Kejawar (koleksi Soedarmadji), Serat Sedjarah Banjoemas (salinan Sariban,
koleksi Sugeng Priyadi), Serat Sujarah Banyumas (salinan Raden Gatot,
Pensiunan Patih Demak, koleksi Soedarmadji), Punika Surat Sujarah
ingkang Nuruna ing Toyamas (naskah kepatihan Banyumas, koleksi
Soedarmadji), dan Surat Sujarah Banyumas (salinan Sugeng Priyadi dari
karya salinan Raden Gatot).
Teks Babad Wirasaba Kejawar (9 Mei 1879), Punika Surat Sujarah
ingkang Nuruna ing Toyamas (9 Oktober 1891), Serat Sujarah Banyumas
(15 Januari 1921), dan Serat Sedjarah Banjoemas (23 Nopember 1946)
ditulis berdasarkan Sejarah Wirasaba di Banyumas oleh keturunan bupati
Banjarnegara Dipayuda IV. Sejarah Wirasaba adalah naskah koleksi Mad
Marta, penduduk desa Wirasaba, Kecamatan Bukateja, Purbalingga. Tebal
naskah 90 halaman. Halaman 1-85 berisi 14 pupuh tembang macapat dan
halaman 86-90 berisi silsilah Adipati Wira Utama (Katuhu) sampai
Tumenggung Yudanegara (Gandakusuma). Pada pupuh I terdapat sengkalan
yang menunjukkan tahun Jawa 1787 atau 1858 Masehi. Naskah yang sampai
kepada kita adalah salinan Mulyareja yang diselesaikan pada tanggal 24
Agustus 1956. Meskipun naskahnya muda, tetapi kandungan teksnya lebih
tua bila dibandingkan dengan keempat teks tersebut.
Proses penyalinan dari Wirasaba ke Banjarnegara, dan masuk ke
Banyumas dengan judul yang berbeda dengan teks aslinya. Dalam teks
Babad Wirasaba Kejawar dan Serat Sedjarah Banjoemas ditemukan adanya
sisipan teks Babad Pasir. Penelitian Priyadi (1996) memperlihatkan bahwa
teks Babad Pasir tersebut bukan berasal dari teks yang telah dipublikasikan
oleh Knebel (1900: 1-155), tetapi berasal dari tradisi lisan. Teks lisan yang
berbentuk prosa digubah dalam empat pupuh tembang macapat, yaitu XIX
Asmarandana (31 bait), XX Sinom (12 bait), XXI Dandanggula (23 bait),
dan XXII Asmarandana (9 bait). Teks lisan tersebut mungkin berasal dari
pengaruh penulisan babad di Jawa Barat (Priyadi, 1993; lihat Sutaarga,
1984). Pengaruh Sunda agaknya sangat kuat. Hal itu terbukti dengan adanya
tiga orang tokoh Siliwangi dalam teks-teks Banyumas (Priyadi, 1992:115).
Banyak Catra di dalam masyarakat Sunda Kuna dikenal sebagai salah satu
naskah pantun, selain Langgalarang, Siliwangi, dan Haturwangi (Atja &
Saleh Danasasmita, 1981: 14). Namun, tradisi Babad Pasir yang hidup di
84 BAHASA DAN SENI, Tahun 34, Nomor 1, Februari 2006
Taman Sari, Pasir Kidul, Pasir Kulon, Pasir Lor, dan Pasir Wetan yang
mendapat pengaruh Sunda itu tidak tersentuh oleh penggubah Babad
Wirasaba Kejawar dan Serat Sedjarah Banjoemas.
Ada dua naskah versi Dipayudan yang baru ditemukan, yaitu Sujarah
Banyumas (milik Danukrama) dan Serat Sujarah Banyumas (salinan Raden
Ngabehi Rangga Bratadimedja Pensiunan Patih Purbalingga, milik Raden
Ayu Sudirman Gandasubrata). Sujarah Banyumas seluruhnya berisi 120
halaman (33 X 21,5 cm). Danukrama adalah pensiunan Mantri Polisi di
Banyumas tahun 1845. Ada dugaan naskah ini lebih tua dibandingkan Babad
Wirasaba Kejawar (BWK) dan Serat Sedjarah Banjoemas (SSB). Kedua
naskah memuat teks yang sama (30 pupuh), sedangkan Sujarah Banyumas
Danukrama (SBD) berisi 25 pupuh. Serat Sujarah Banyumas milik Raden
Ayu Sudirman Gandasubrata (selanjutnya disingkat SSBS) seluruhnya ada
131 halaman (21,5 X 15,5 cm). Naskah tersebut merupakan salinan yang
dilakukan oleh pensiunan Patih Purbalingga, Ngabehi Rangga Bratadimedja
(ayah Raden Ayu Sudirman) di kampung Pasanggrahan, Januari 1921.
Sepeninggal Raden Ayu Sudirman, naskah disimpan oleh Brigjen Polisi
Purnawirawan Raden Mustafa Gandasubrata.
Naskah SSBS berisi teks yang sama dengan Serat Sujarah Banyumas
(SSBa). SSBa merupakan karya salinan Raden Gatot (Pensiunan Patih
Demak di Purwokerto) tanggal 22 Juni 1970. Raden Gatot menyatakan
bahwa ia menyalin langsung dari SSBS. Selama ini SSBS belum ditemukan
sehingga kandungan teks SSBa tidak dapat diketahui tradisinya. SSBS dan
SSBa memiliki jumlah pupuh, nama pupuh, dan jumlah bait yang sama,
bahkan silsilah keluarga Kolopaking juga termuat. Namun, SSBS
menampilkan silsilah Brawijaya sampai Mertadiredja II. Silsilah tersebut
tidak dijumpai dalam SSBa. Penemuan SSBS merupakan sumbangan yang
penting bagi sejarah teks, khususnya versi Dipayudan. SSBS termasuk salah
satu naskah missing-link (bdk. Priyadi, 1997a). Hal serupa juga terjadi pada
kasus SBD. SBD berasal dari tahun 1845 ditemukan pada koleksi naskah
Pangeran Aria Mertadiredja III dan Pangeran Aria Gandasoebrata sehingga
mengurangi daftar naskah missing-link. Naskah yang menjembatani antara
BWK, SSB, dan SBD dengan SSBS dan SSBa masih perlu dilacak.
Perbandingan teks-teks versi Dipayudan atau versi Banjarnegara dengan SW
pada tabel 3 sebagai berikut:
Priyadi, Babad Banyumas dan Versi-versinya 85
Tabel 3. Perbandingan teks-teks versi Banjarnegara dengan SW
Pupuh BWK SSB SBD SSBa SSBS SW PSSNT
I Asm 17 Asm 17 Asm 26 Asm 17 Asm 17 Asm 12 Asm 20
II Meg 11 Meg 11 -- Meg 11 Meg 11 -- Meg 16
III Dha 24 Dha 24 Dha 25 Dha 24 Dha 24 -- Dha 29
IV Dur 31 Dur 31 Dur 31 Dur 31 Dur 31 Dur 31 --
V Sin 25 Sin 25 Sin 24 Sin 25 Sin 25 Sin 26 --
VI Kin 37 Kin 37 Kin 38 Kin 37 Kin 37 Kin 32 --
VII Dha 58 Dha 58 Dha 57 Dha 57 Dha 57 Dha 68 --
VIII Sin 13 Sin 13 Sin 37 Sin 13 Sin 13 Sin 34 --
IX Gam 30 Gam 30 -- Gam 30 Gam 30 -- --
X Mij 22 Mij 22 Mij 23 Mij 20 Mij 20 Mij 22 --
XI Pan 30 Pan 30 Pan 30 Pan 30 Pan 30 Pan 30 --
XII Meg 26 Meg 33 Meg 37 Meg 34 Meg 34 Meg 35 --
XIII Asm 38 Asm 29 Asm 38 Asm 38 Asm 39 Asm 35 --
XIV Dha 16 Dha 16 Dha 13 Dha 16 Dha 16 Dha 8 --
XV Asm 39 Asm 39 Asm 38 Asm 24 Asm 24 Asm 35 --
XVI Sin 20 Sin 21 Sin 21 -- -- Sin 19 --
XVII Mas 29 Mas 29 Mas 34 -- -- Mas 9 --
XVIII Dha 28 Dha 28 Dha 28 -- -- -- --
XIX Asm 31 Asm 31 Asm 15 -- -- -- --
XX Sin 12 Sin 12 -- -- -- -- --
XXI Dha 23 Dha 23 -- -- -- -- --
XXII Asm 9 Asm 9 -- -- -- -- --
XXIII Dha 24 Dha 25 Dha 24 -- -- -- --
XXIV Dur 29 Dur 29 Dur 28 -- -- -- --
XXV Asm 32 Asm 32 Asm 32 -- -- -- --
XXVI Sin 20 Sin 20 Sin 20 -- -- -- --
XXVII Mij 37 Mij 37 Mij 37 -- -- -- --
XXVIII Puc 25 Puc 25 Puc 25 -- -- -- --
XXIX Kin 21 Kin 21 Kin 20 -- -- -- --
XXX Pan 18 Pan 17 Pan 18 -- -- -- --
Keterangan: Angka Romawi menunjukkan nomor pupuh. Singkatan Asm,
Gam, dll., adalah nama pupuh Asmarandana, Gambuh, sedangkan
angka Arab menunjukkan jumlah bait.
Di Universitas Leiden, ada beberapa naskah yang diduga termasuk versi
Banjarnegara, yang berjudul Wirasaba History dengan kode Lor. 6427,
7718, dan 7469 (Pigeaud, 1967:147; lihat 1968:374, 462, dan 439).
86 BAHASA DAN SENI, Tahun 34, Nomor 1, Februari 2006

BABAD BANYUMAS DAN VERSI-VERSINYA

by
Sugeng Priyadi

Abstract: This article discuses 62 Babad Banyumas manuscripts which
categorized into 15 versions. Babad Banyumas Kalibening is the oldest
version. Pustaka Rajya-rajya I Bhumi Nusantara and Sejarah Wirasaba
version have been the archetype of Banjarnegara version which later developed
into the Wirjaatmadjan version, Kasman Soerawidjaja version,
Panenggak Widodo-Nakim version, and Oemarmadi-Koesnadi version.
The Mertadiredjan version has been the archetype of transformed texts of
the Mertadiredjan version, the Jayawinata version, and the Adimulya version.
The Danuredjan verse version transforms into the Danuredjan prose
version. All the above versions relate closely with the Keluarga Baru version.
Key words: archetype, version, verse, prose, transformed text.
Penelitian awal terhadap 32 naskah Babad Banyumas menunjukkan adanya
enam versi, yaitu: (1) versi Mertadiredjan, (2) versi transformasi teks Mertadiredjan,
(3) versi Dipayudan, (4) versi Wirjaatmadjan, (5) versi Danuredjan
(tembang), dan (6) versi Danuredjan (gancaran) (Priyadi, 1995a: 347).
Penelitian lanjutan yang dilakukan terhadap 23 naskah yang baru ditemukan
pada periode 1995-1998 membuktikan adanya gejala yang menarik. Pelacakan
terhadap versi Babad Banyumas yang berisi legitimasi bagi keluargakeluarga
baru dilakukan karena adanya gejala kenaikan status, pendirian
berbagai paguyuban, tradisi silahturahim, dll. Oleh karena itu, gejala tersebut
harus senantiasa dicermati agar tradisinya dapat diketahui sedini mungkin.
Hal itu juga didukung oleh tingkat mobilitas penyalinan teks Babad Banyumas
yang tergolong tinggi sehingga penelitian lanjutan senantiasa diperlukan.
Sugeng Priyadi adalah dosen Universitas Muhammadiyah Purwokerto
76 BAHASA DAN SENI, Tahun 34, Nomor 1, Februari 2006
METODE PENELITIAN
Penelitian ini ditempuh dengan metode filologi dengan melakukan: (1)
inventarisasi naskah, (2) deskripsi naskah, dan (3) perbandingan teks
(Djamaris, 1977:23-24). Langkah pertama mengumpulkan naskah-naskah
Babad Banyumas, baik yang tersimpan pada koleksi-koleksi pribadi di
Banyumas maupun koleksi-koleksi perpustakaan atau museum. Untuk
koleksi perpustakaan atau museum ditempuh dengan cara menelusuri
katalog-katalog yang sudah diterbitkan mengenai naskah Jawa (lihat
Behrend, 1990; Behrend & Pudjiastuti, 1997; Ekadjati & Darsa, 1999).
Naskah yang termuat dalam katalog semuanya dapat ditemukan di
Banyumas sehingga secara keseluruhan dapat dikumpulkan sebanyak 62
naskah Babad Banyumas. Selanjutnya, 62 naskah tersebut dideskripsikan
agar dapat dibandingkan teksnya. Perbandingan teks dilakukan terhadap 62
naskah dan dikategorikan menjadi 15 versi.

HASIL
Penelitian lanjutan Babad Banyumas telah menemukan gejala yang
terabaikan pada penelitian sebelumnya. Ada enam versi baru Babad
Banyumas, yakni versi Jayawinata, versi Adimulya, versi Panenggak
Widodo-Nakim, versi Oemarmadi dan Koesnadi, versi Kasman Soerawidjaja,
dan versi Keluarga Baru (Dipadiwiryan, Dipayudan Banjarnegara,
Cakrawedanan, Mertadiredjan, Gandasubratan, dan keluarga Banjar-Gripit-
Badakarya) (Priyadi, 1998:1-15). Dengan demikian, secara keseluruhan ada
62 naskah Babad Banyumas atau 12 versi. Perkembangan penelitian
menunjukkan bahwa naskah Babad Banyumas Kalibening yang tadinya
dimasukkan ke dalam versi transformasi teks Mertadiredjan dapat
ditampilkan sebagai versi tersendiri karena teksnya merupakan teks tertua
dalam naskah yang tertua (Priyadi, 1991). Di samping itu, naskah Pustaka
Rajya-rajya I Bhumi Nusantara Parwa 2 Sargah 4 (PRBN), juga memuat
teks Babad Banyumas. Teks ini jelas berbeda dengan versi-versi yang lain.
Ada kemungkinan teks ini menjadi teks yang melahirkan Babad Banyumas
versi Banjarnegara. Selain itu, teks Sejarah Wirasaba yang menjadi tradisi di
Purbalingga yang ditransformasikan menjadi Babad Banyumas versi
Banjarnegara, maka teks Sejarah Wirasaba menjadi versi tersendiri. Secara
keseluruhan sampai penelitian terakhir ini, ada 15 versi Babad Banyumas.
Priyadi, Babad Banyumas dan Versi-versinya 77
Versi-versi tersebut sebagai berikut: (1) Babad Banyumas Kalibening, (2)
versi Mertadiredjan, (3) versi Jayawinata, (4) versi Adimulya, (5) versi
transformasi teks Mertadiredjan, (6) versi PRBN, (7) versi Dipayudan atau
versi Banjarnegara, (8) versi Kasman Soerawidjaja, (9) versi Wirjaatmadjan,
(10) versi Oemarmadi dan Koesnadi, (11) versi Panenggak Widodo-Nakim,
(12) versi Danuredjan (tembang), (13) versi Danuredjan (gancaran), (14)
versi Keluarga Baru (semua gancaran: Dipadiwiryan, Dipayudan Banjarnegara,
Cakrawedanan, Mertadiredjan, Gandasubratan, dan keluarga Banjar-
Gripit-Badakarya), dan (15) versi Sejarah Wirasaba.

PEMBAHASAN
  • Versi Babad Banyumas Kalibening
Babad Banyumas Kalibening merupakan naskah dan teks tertua. Babad
Banyumas Kalibening memakai huruf Jawa yang berasal dari abad ke-17
Masehi dan kertas dluwang (bdk. Holle, 1877:6). Kertas yang dipakai
berukuran 11 X 16 cm. Tebal naskah 60 halaman. Halaman-halaman pada
bagian depan dan belakang hilang. Naskah tersebut adalah koleksi juru kunci
makam Kalibening, Sanmuhadi. Kalibening ini berada tidak jauh dari
makam pendiri Banyumas Adipati Warga Utama II di desa Dawuhan.
Selain usianya yang tertua, Babad Banyumas Kalibening memiliki
keistimewaan, yaitu menyebut nama Adipati Wirasaba dengan gelar Ki
Kepaguhan. Nama ini amat dekat dengan nama Bhre Paguhan, raja daerah
bawahan Majapahit seperti yang disebut dalam teks Pararaton
(Padmapuspita, 1966). Nama-nama binatang dipakai untuk nama orang,
misalnya Patih Banteng, Gagak Minangsi, Kuntul Winatenan, Kebo Singat,
dan Ra Kungkung. Adanya nama-nama di atas menunjukkan bahwa teks
tersebut lebih tua daripada teks-teks lainnya. Kejawar, tempat tinggal Kiai
Mranggi disebut dengan nama kunanya, yaitu Ajahawar. Nama Kepaguhan
di Banyumas secara berangsur-angsur telah berubah menjadi Paguwan atau
Paguwon.
  • Versi Mertadiredjan
Tanpa diduga, naskah Babad Banyumas koleksi Kangjeng Pangeran
Aria Mertadiredja III (selanjutnya disingkat BBM) ditemukan sehingga teks
Tedhakan Serat Babad Banyumas dapat dibandingkan dengan teks induk.
78 BAHASA DAN SENI, Tahun 34, Nomor 1, Februari 2006
Perbandingan kedua teks tersebut menjelaskan bahwa jumlah pupuh, nama
pupuh, dan jumlah bait tidak ada perbedaan yang hakiki, termasuk bagian
sambetan. Namun, bahasa yang dipakai dalam Tedhakan Serat Babad
Banyumas (TSBB) lebih halus daripada teks induk. Hal itu terjadi karena
Raden Natahamijaya adalah seorang carik jaksa yang berasal dari Magetan
sehingga teks induk diubah redaksinya. Sebelum naskah induk ditemukan,
TSBB merupakan naskah tunggal. Dengan demikian, TSBB dapat diketahui
tradisi teksnya.
Versi Mertadiredjan merupakan satu-satunya versi tembang yang
memuat tradisi silsilah kiri atau sejarah pangiwa, yaitu silsilah dari Nabi
Adam sampai raja-raja Majapahit (Priyadi, 1995b:63-67 & 1995c:489).
Selanjutnya, raja-raja Majapahit dipakai sebagai cikal-bakal yang
menurunkan tokoh-tokoh lokal, seperti Kaduhu, Banyak Sasra, Banyak
Kumara, dan Rara Ngaisah (Priyadi, 2003). Tokoh-tokoh tersebut adalah
hasil perkawinan campuran Majapahit (Raden Putra) dengan Pajajaran
(Dewi Pamekas). Perkawinan campuran itu menjadi alat legitimasi bagi
pendiri Banyumas (Bagus Mangun atau Jaka Kaiman). Bagus Mangun
adalah putra Banyak Sasra yang kawin dengan putri Pasirluhur. Dengan
demikian, Bagus Mangun masih keturunan Majapahit, Pajajaran, dan
Pasirluhur, juga Nabi Adam (Priyadi, 1990; bdk. Knebel, 1901). Teks
sejarah pangiwa tidak ditemukan pada naskah-naskah Babad Banyumas
yang lain, kecuali versi Adimulya. Sebagian besar naskah-naskah Babad
Banyumas memuat teks silsilah dari raja-raja Majapahit yang dihubungkan
secara langsung dengan pendiri Banyumas (Behrend, 1998:223).
Babad Banyumas koleksi Pangeran Aria Mertadiredja III di atas
ditemukan berkat bantuan Brigjen Polisi Purnawirawan Mustafa Gandasubrata
(kakak Ratmini Soedjatmoko). Naskah tersebut tersimpan dengan sejumlah
naskah milik Pangeran Aria Mertadiredja III (kakek buyut Mustafa)
dan Pangeran Aria Gandasoebrata (kakek Mustafa). Di situ, ada sejumlah
naskah tulisan tangan yang bersampul kulit kambing, yaitu (1) Serat Putri
Jelalek, (2) Kitab Ilham I-II, (3) Babad Giyanti I-III, (4) Serat Menak I-III,
(5) Centhini I-VII, (6) Pranata Lenggah, (7) Cariyos Nagari (1. Jakarta, 2.
Majapahit, 3. Demak, 4. Pajang, 5. Mataram), (8) Kartasura bibar Geger
Pacina, (9) Serat Rama, (10) Bahusastra Jawa, (11) Babad Surakarta Jaman
Sinuhun Suwarga, (12) Babad Mangkubumi, (13) Serat Bustan, (14)
Serat Tajusalatin, (15) Serat Lokapala, (16) Babad Pecina, (17) Serat
Pepali, (18) Prajangjian lan Inggris, (19) Serat Baratayuda, (20) Sujarah
Priyadi, Babad Banyumas dan Versi-versinya 79
Banyumas (versi Dipayudan), dan (21) Wulang Rupi-rupi. Di samping itu,
juga ditemukan buku harian Pangeran Aria Gandasoebrata yang ditulis lebih
dari 30 tahun secara kontinu dalam bahasa Belanda dan puluhan naskah
cetakan Jawa.
Selain naskah lokal, naskah Mertadiredjan juga ditemukan pada koleksi
EFEO Bandung dengan judul Babad Banyumas (Ekadjati & Darsa,
1999:211-212) dan dua naskah koleksi Perpustakaan Fakultas Sastra, Universitas
Indonesia, yaitu Babad Banyumas (SJ. 14) dan Babad Wirasaba (SJ.
176) (Behrend & Pudjiastuti, 1997:796 & 874-875). Pada dasarnya, kelima
naskah Mertadiredjan berisi 23 pupuh dengan jumlah bait yang sama. Hanya
variasi penggunaan kata yang berbeda. Perbandingan teks Mertadiredjan
selanjutnya disajikan pada tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1. Perbandingan Teks Mertadiredjan
NO TSBB BBM EFEO/KBN 84 SJ.14 FS UI
BABAD
WIRASABA
1. I Dha 18 I Dha 18 I Dha 18 I Dha 18 I Dha 18
2. II Sin 18 II Sin 18 II Sin 18 II Sin 18 II Sin 18
3. III Asm 38 III Asm 38 III Asm 38 III Asm 38 III Asm 38
4 IV Mas 47 IV Mas 47 IV Mas 47 IV Mas 47 IV Mas 47
5. V Kin 42 V Kin 42 V Kin 42 V Kin 42 V Kin 42
6. VI Dur 12 VI Dur 12 VI Dur 12 VI Dur 12 VI Dur 12
7. VII Asm 34 VII Asm 34 VII Asm 34 VII Asm 34 VII Asm 34
8. VIII Dur 20 VIII Dur 20 VIII Dur 20 VIII Dur 20 VIII Dur 20
9. IX Pan 20 IX Pan 20 IX Pan 20 IX Pan 20 IX Pan 20
10. X Puc 47 X Puc 47 X Puc 47 X Puc 47 X Puc 47
11. XI Mij 26 XI Mij 26 XI Mij 26 XI Mij 26 XI Mij 26
12. XII Sin 18 XII Sin 18 XII Sin 18 XII Sin 18 XII Sin 18
13. XIII Kin 18 XIII Kin 18 XIII Kin 18 XIII Kin 18 XIII Kin 18
14. XIV Sin 40 XIV Sin 40 XIV Sin 40 XIV Sin 40 XIV Sin 40
15. XV Gam 17 XV Gam 17 XV Gam 17 XV Gam 17 XV Gam 17
16. XVI Pan 30 XVI Pan 30 XVI Pan 30 XVI Pan 30 XVI Pan 30
17. XVII Meg 35 XVII Meg 35 XVII Meg 35 XVII Meg 35 XVII Meg 35
18. XVIII Asm 36 XVIII Asm 36 XVIII Asm 36 XVIII Asm 36 XVIII Asm 36
19. XIX Dha 13 XIX Dha 13 XIX Dha 13 XIX Dha 13 XIX Dha 13
20. XX Asm 39 XX Asm 39 XX Asm 39 XX Asm 39 XX Asm 39
21. XXI Sin 19 XXI Sin 19 XXI Sin 19 XXI Sin 19 XXI Sin 19
22. XXII Mas 15 XXII Mas 15 XXII Mas 15 XXII Mas 15 XXII Mas 15
23. XXIII Dha 15 XXIII Dha 15 XXIII Dha 15 XXIII Dha 15 XXIII Dha 15
Keterangan: Angka Romawi menunjukkan nomor pupuh. Singkatan Asm,
Gam, dll., adalah nama pupuh Asmarandana, Gambuh, sedangkan
angka Arab menunjukkan jumlah bait.
80 BAHASA DAN SENI, Tahun 34, Nomor 1, Februari 2006
  • Versi Jayawinata
Kiranya, teks versi Mertadiredjan mendapat tanggapan berupa
transformasi. Hal itu tampak pada teks Sejarah Para Ratu Jawi wiwit Panji
Laleyan (SPRJ). SPRJ seluruhnya memuat 20 pupuh. Naskah koleksi
Perpustakaan Proyek Javanologi Yogyakarta ini ditulis oleh KRT
Jayawinata. SPRJ merupakan ringkasan teks Babad Banyumas Mertadiredja
(BBM) dan Tedhakan Serat Babad Banyumas yang diciptakan kembali
dalam bentuk tembang yang lain. Perbandingan ketiga teks tampak pada
tabel 2 di bawah ini.
Tabel 2. Perbandingan SPRJ dengan TSBB dan BBM
TSBB dan BBM SPRJ
I Dha 18 --
II Sin 18 I Dha 6
III Asm 38 II Asm 11
IV Mas 47 III Puc 38
V Kin 42 IV Kin 35
VI Dur 12 V Dur 12
VII Asm 34 VI Asm18, VII Dur 2
VIII Dur 20 VII Dur 10, VIII Asm 8
IX Pan 20 IX Puc 3
X Puc 47 IX Puc 19
XI Mij 26 IX Puc 6
XII Sin 18 X Asm 13
XIII Kin 18 XI Kin 18
XIV Sin 40 XII Sin 12
XV Gam 17 XII Sin 2
XVI Pan 30 XIII Dha 9, XIV Dur 1
XVII Meg 35 XIV Dur 2
XVIII Asm 36 XIV Dur 8, XV Dha 3, XVI Mas 6
XIX Dha 13 XVI Mas 2, XVII Puc 5
XX Asm 39 --
XXI Sin 19 --
XXII Mas 15 --
XXIII Dha 15 --
-- XVII Puc 48
-- XVIII Dha 25
-- XIX Sin 6
-- XX Dha 11
Keterangan: Angka Romawi menunjukkan nomor pupuh. Singkatan Asm,
Gam, dll., adalah nama pupuh Asmarandana, Gambuh, sedangkan
angka Arab menunjukkan jumlah bait.
Priyadi, Babad Banyumas dan Versi-versinya 81
Teks SPRJ banyak mengalami perubahan bentuk tembang pada pupuhpupuhnya,
bahkan satu pupuh TSBB dan BBM ditulis kembali menjadi dua
atau tiga pupuh SPRJ. Fenomena ini juga terjadi pada teks Babad Pasir
dalam versi Dipayudan, teks BWK, SSB, dan SBD (Priyadi, 1996:257-267).
  • Versi Adimulya
TSBB dan BBM juga ditransformasikan dari teks tembang menjadi teks
gancaran. Naskah Adimulya yang ditemukan di Banjarnegara (133 halaman)
berisi silsilah yang sama dengan TSBB dan BBM. Silsilah tersebut dikenal
sebagai sejarah pangiwa yang diteruskan dengan silsilah dinasti Banyumas
(hlm.7-25). Agaknya, Naskah Adimulya juga memuat teks lain, yaitu pepali
para sepuh ing zaman kina (hlm. 1-2), silsilah Prabu Banjaransari sampai
Prabu Jaka Sesuruh (3-6), Sedjarah Banjoemas wiwit saking Madjapahit
(Praboe Brawidjaja II) asaling serat saking Mas Soemaredja ing Banjoemas
(27-37), silsilah keluarga Bratadiningrat (37-43), wijosanipun Kangdjeng
Nabi (43), Djaka Sangkrib (43-45), bab Sekaten (45-47), Poetra Kangdjeng
Pangeran Mertadiredja (49-51), Soedjarah Pasir Batang (52-57), Silsilah
Banyak Wide Banjarnegara (58-60), keturunan Dipayuda Seda Jenar (60-
66), Bupati Gedong Tengen Surakarta (66-67), Soedjarah Banjoemas
Tjakranagaran (69-86), Soedjarah ing Poerbolinggo (87-95), Sarasilah
Keboemen (96-100), Soedjarah saking Keboemen (101-105), Ingkang
Sinoewoen Kangdjeng Soenan ing Soerakarta (106-107), Babading Tanah
Djawi (108-122), Riwayat Pekerjaan Pangeran Mertadiredja (122-123),
Silsilah Banyumas Kebumen Banjarnegara (124-127), raja-raja Majapahit
(128-129), Pengetan saking temboeng Walandi (130-131), dan toeroen
Mertananggan (132-133). Dengan demikian, naskah Adimulya selain
mengandung teks transformasi dari TSBB dan BBM, juga teks-teks lain
yang terkait. Jadi, ada dua versi transformasi teks TSBB dan BBM, yakni
versi tembang dan gancaran (versi Adimulya). Versi ini berbeda dengan
versi transformasi teks Mertadiredjan, meskipun memakai teks induk yang
sama.

LIBERALISME

Liberalisme atau Liberal adalah sebuah ideologi, pandangan filsafat, dan tradisi politik yang didasarkan pada pemahaman bahwa kebebasan adalah nilai politik yang utama. Secara umum, liberalisme mencita-citakan suatu masyarakat yang bebas, dicirikan oleh kebebasan berpikir bagi para individu.  Paham liberalisme menolak adanya pembatasan, khususnya dari pemerintah dan agama. Dalam masyarakat modern, liberalisme akan dapat tumbuh dalam sistem demokrasi, hal ini dikarenakan keduanya sama-sama mendasarkan kebebasan mayoritas.
Liberalisme dapat diartikan sebagai paham kebebasan, yaitu paham yang menghendaki adanya kebebasan individu, sebagai titik tolak dan sekaligus tolok ukur dalam interaksi sosial. Pengertian tersebut dapat dipahami dari konteks kelahirannya di Eropa. Menurut paham liberal, individu mempunyai kedudukan sangat fundamental, maka kebebasan individu harus dijamin. Sebagai reaksi terhadap kondisi zamannya, liberalisme mulanya berorientasi pada kebebasan politik, kemerdekaan agama dan ekonomi. Libelarisme muncul di Eropa abad ke 17, memuncak pada abad ke 19 dan tenggalam pada abad ke 20. Istilah liberalisme ini berasal dari kata liberales (bahasa Spanyol), yaitu nama partai pada abad ke-19 yang memperjuangkan pemerintahan konstitusional untuk Spanyol. Waktu itu masyarakat Eropa ingin berontak terhadap kehidupan politik, budaya serta agama yang cenderung bersifat absolut. Masyarakat ingin membebaskan diri dari belenggu absolutisme yang diciptakan golongan bangsawan dan agamawan.
Liberalisme merupakan antitesis dari sistem perdagangan yang menggunakan system merkhantilisme. Pedagang besar sering disebut borjuis, mereka ingin memperoleh kebebasan dalam melakukan usaha. Pertumbuhan ekonomi akan ditentukan oleh hukum permintaan dan penawaran. Mereka menyatakan bahwa pemerintahan yang paling baik seharusnya paling sedikit ikut campur dalam bidang ekonomi. Pandangan ini dikemukakan oleh Adam Smith (Bapak Ekonomi liberal kapitalis) yang menyatakan bahwa hukum pasar akan diatur oleh “invisible hands”. Negara menurut paham liberalisme tradisional fungsinya sebagai penjaga malam. Dalam sistem liberalisme peluang tumbuhnya sistem kapitalisme sangat besar.Pada kehidupan politik melahirkan pengertian tentang negara yang demokrasi. Pada bidang politik penganut ajaran liberalisme menginginkan adanya pembatasan kekuasaan negara. Monarki absolut dianggap tidak relevan. Dalam bidang ini liberalisme berkaitan dengan demokrasi. Dalam hubungannya dengan perkembangan nasionalisme di negara Asia–Afrika, liberalisme memberikan gambaran kontradiktif dari bangsa penjajah (Eropa pada waktu itu). Hal ini berarti di satu sisi mendengungkan kebebasan, namun di daerah jajahan sama sekali tidak memberi kebebasan pada bangsa yang dijajah.
Pokok-pokok Liberalisme
Ada tiga hal yang mendasar dari Ideologi Liberalisme yakni Kehidupan, Kebebasan dan Hak Milik (Life, Liberty and Property). Dibawah ini, adalah nilai-nilai pokok yang bersumber dari tiga nilai dasar Liberalisme tadi:






   Kesempatan yang sama. (Hold the Basic Equality of All Human Being). Bahwa manusia mempunyai kesempatan yang sama, di dalam segala bidang kehidupan baik politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan. Namun karena kualitas manusia yang berbeda-beda, sehingga dalam menggunakan persamaan kesempatan itu akan berlainan tergantung kepada kemampuannya masing-masing. Terlepas dari itu semua, hal ini (persamaan kesempatan) adalah suatu nilai yang mutlak dari demokrasi.
    Dengan adanya pengakuan terhadap persamaan manusia, dimana setiap orang mempunyai hak yang sama untuk mengemukakan pendapatnya, maka dalam setiap penyelesaian masalah-masalah yang dihadapi baik dalam kehidupan politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan dan kenegaraan dilakukan secara diskusi dan dilaksanakan dengan persetujuan – dimana hal ini sangat penting untuk menghilangkan egoisme individu.( Treat the Others Reason Equally.)[2]
    Pemerintah harus mendapat persetujuan dari yang diperintah. Pemerintah tidak boleh bertindak menurut kehendaknya sendiri, tetapi harus bertindak menurut kehendak rakyat.(Government by the Consent of The People or The Governed)
    Berjalannya hukum (The Rule of Law). Fungsi Negara adalah untuk membela dan mengabdi pada rakyat. Terhadap hal asasi manusia yang merupakan hukum abadi dimana seluruh peraturan atau hukum dibuat oleh pemerintah adalah untuk melindungi dan mempertahankannya. Maka untuk menciptakan rule of law, harus ada patokan terhadap hukum tertinggi (Undang-undang), persamaan dimuka umum, dan persamaan sosial.
    Yang menjadi pemusatan kepentingan adalah individu.(The Emphasis of Individual)
    Negara hanyalah alat (The State is Instrument).  Negara itu sebagai suatu mekanisme yang digunakan untuk tujuan-tujuan yang lebih besar dibandingkan negara itu sendiri.  Di dalam ajaran Liberal Klasik, ditekankan bahwa masyarakat pada dasarnya dianggap, dapat memenuhi dirinya sendiri, dan negara hanyalah merupakan suatu langkah saja ketika usaha yang secara sukarela masyarakat telah mengalami kegagalan.
    Dalam liberalisme tidak dapat menerima ajaran dogmatisme (Refuse Dogatism). Hal ini disebabkan karena pandangan filsafat dari John Locke (1632 – 1704) yang menyatakan bahwa semua pengetahuan itu didasarkan pada pengalaman. Dalam pandangan ini, kebenaran itu adalah berubah.
Dua Masa Liberalisme
Liberalisme adalah sebuah ideologi yang mengagungkan kebebasan.  Ada dua macam Liberalisme, yakni Liberalisme Klasik danLiberallisme Modern.  Liberalisme Klasik timbul pada awal abad ke 16.  Sedangkan Liberalisme Modern mulai muncul sejak abad ke-20. Namun, bukan berarti setelah ada Liberalisme Modern, Liberalisme Klasik akan hilang begitu saja atau tergantikan oleh Liberalisme Modern, karena hingga kini, nilai-nilai dari Liberalisme Klasik itu masih ada.  Liberalisme Modern tidak mengubah hal-hal yang mendasar ; hanya mengubah hal-hal lainnya atau dengan kata lain, nilai intinya (core values) tidak berubah hanya ada tambahan-tanbahan saja dalamversi yang baru.  Jadi sesungguhnya, masa Liberalisme Klasik itu tidak pernah berakhir.
Dalam Liberalisme Klasik, keberadaan individu dan kebebasannya sangatlah diagungkan.  Setiap individu memiliki kebebasan berpikir masing-masing – yang akan menghasilkan paham baru. Ada dua paham:
yakni demokrasi (politik) dan kapitalisme (ekonomi).  Meskipun begitu, bukan berarti kebebasan yang dimiliki individu itu adalah kebebasan yang mutlak, karena kebebasan itu adalah kebebasan yang harus dipertanggungjawabkan.  Jadi, tetap ada keteraturan di dalam ideologi ini, atau dengan kata lain, bukan bebas yang sebebas-bebasnya.
Praktik Liberalisme
1)    Bidang Politik
    Terbentuknya suatu negara merupakan kehendak dari individu-individu. Oleh karena itu, yang berhak mengatur dan menentukan segala-galanya adalah individu-individu tersebut. Dengan kata lain, kekuasaan tertinggi (kedaulatan) dalam suatu negara berada di tangan rakyat (demokrasi). Agar supaya kebebasan, kemerdekaan individu tetap dijamin dan dihormati sehingga harus dibentuk undang-undang, hukum, parlemen, dan sebagainya. Dengan demikian, yang dikehendaki oleh golongan liberal adalah demokrasi liberal. Hal ini seperti yang berlaku di negara-negara Eropa Barat dan Amerika Serikat. Bagi Indonesia, demokrasi liberal tidak cocok dan tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Ketika paham ini diterapkan di Indonesia ( 1950–1959) yakni masa berlakunya UUD Sementara 1950, negara kita selalu diliputi kekalutan karena menimbulkan instabilitas di segala bidang, baik politik, sosial, ekonomi, maupun keamanan.

2) Bidang Ekonomi
    Dalam bidang ekonomi, golongan liberal menghendaki adanya sistem ekonomi bebas. Tiap-tiap individu harus memiliki kebebasan berusaha, memilih mata pencaharian yang disukai, mengumpulkan harta benda , dan lain-lain. Pemerintah tidak boleh ikut campur tangan
karena masalah itu masalah individu. Semboyan kaum liberal ialah laisser faire, laisser passer, le monde va de luimeme, artinya produksi bebas, perdagangan bebas, dunia akan berjalan sendiri.

3) Bidang Agama
    Liberalisme menganggap masalah agama merupakan masalah pribadi, masalah individu. Tiap tiap individu harus memiliki kebebasankemerdekaan beragama dan menolak campur tangan negara/pemerintah. Dengan demikian, dalam bidang agama, golongan liberal menghendaki kebebasan memilih agama yang disukainya dan bebas menjalankan ibadah menurut agama yang dianutnya.

PENGARUH POLITIK LIBERAL EROPA TERHADAP PERPOLITIKAN INDONESIA PADA MASA DAENDLES
Pengaruh Paham-paham baru munculnya paham baru di Eropa, Asia, dan Amerika seperti Liberalisme, Nasionalisme, Sosialisme, dan Demokrasi sejak awal abad 19 telah mempengaruhi perubahan politik kolonial Belanda, yang lebih condong menguntungkan pihak Belanda sendiri, sedangkan bagi bangsa Indonesia tetap saja menjadi beban yg memberatkan. Pelaksanaan sistem tanam paksa , sistem tanam bebas, politik pintu terbuka, dan politik etis dalam prakteknya sangat menyengsarakan bangsa Indonesia. Sistem tanam paksa hanyalah merupakan alat politik liberal kolonial Belanda sebagai pengganti praktek-praktek monopoli yang ekstrim, Politik Pintu terbuka memberi kesempatan kepada pengusaha swasta asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia dalam perkembangannya bersifat internasionalisme, yang melahirkan imprialisme baru di bidang ekonomi. Demikian juga pelaksanaan politik asosiasi yang diharapkan kaum etis ternyata memperkuat kolonialisme di Indonesia.
LATAR BELAKANG MUNCULNYA LIBERALISME KE INDONESIA
SELAYANG PANDANG SEJARAH LIBERALISME
Menurut satu pendapat bahwa pemikiran atau ideologi Liberalisme selalunya dirujuk kepada Adam Smith, pemikir dan ekonom Scotland, yang begitu dikenali melalui karyanya The Wealth of Nations. Liberalisme dikenali sebagai satu ideologi politik dan konsep pemikiran yang menekankan kepada kebebasan individu, pembatasan kekuasaan kerajaan dan dari segi ekonomi pula menyokong pasaran bebas dan persaingan bebas golongan pemodal (capitalist). Oleh sebab itu, Liberalisme dan Kapitalisme kadang-kadang dilihat sebagai ideologi yang sinonim disebabkan adanya perkaitan yang kuat dan saling sokong-menyokong antara satu sama lain. Dari sudut sejarah, kemunculan Liberalisme ini ada hubungannya dengan keruntuhan Feudalisme di Eropa bermula semasa zaman Renaissance (The Age of Enlightenment) diikuti dengan gerakan politik semasa era Revolusi Perancis.
Liberalisme yang dikaitkan dengan Adam Smith ini selalunya dikenali sebagai Liberalisme Klasik. Dalam konteks peranan kerajaan Liberalisme Klasik ini menekankan konsep Laissez-Faire yang bermaksud kerajaan (pemerintah) yang bersifat lepas tangan. Konsep ini menekankan bahwa kerajaan harus memberi kebebasan berpikir kepada rakyat, tidak menghalangi pemilikan harta individu atau kumpulan, kuasa kerajaan yang terbatas dan kebebasan rakyat.
Faktor-faktor Kemunculan Liberalisme
Hume berkata bahwa Liberalisme muncul untuk menjawab tantangan zaman. Kemunculan Liberalisme merupakan keniscayaan sejarah.(Garandeu, Le Liberalisme). Sebagian orang berkata bahwa terdapat dua faktor utama dalam kemunculan Liberalisme dan faktor-faktor lain merupakan ikutan dari dua faktor utama ini.

Diantara faktor munculnya Liberalisme yaitu:
Pemerintah Tiran
Adalah merupakan pemerintahan yang terlalu fokus pada dirinya sendiri di Eropa yang memandang dirinya sebagai pemilik jiwa, harta dan kehormatan masyarakat dan seenaknya mengambil keputusan tentang nasib dan masa depan mereka. Sebagai contoh jenis pemerintahan Prancis pada masa Louis 15 dan 16 (abad 18) yang merupakan seorang raja dan aristokrat yang berdasarkan pada tradisi keningratan, raja merupakan wakil Tuhan di muka bumi. Dan tidak seorang pun dibolehkan berkata apa pun tentang sang raja. Louis 16 pada Oktober 1887 di parlemen Paris berkata: “Raja tidak memiliki tanggung jawab apa pun kepada seseorang kecuali kepada Tuhan.” (Jack Isaac, Inqilab Buzurgh Faranse: 342).
Akar pemikiran Louis ini dapat dilacak hingga pada tiga abad pertama Masehi, agama Kristen kala itu mengalami penindasan di bawah Imperium Romawi sejak berkuasanya Kaisar Nero (tahun 65).
Perilaku Aparat Gereja
Gereja, alih-alih menjelaskan hakikat agama dan motivator masyarakat untuk melawan tirani dan kezaliman, malah terjerembab dalam kesalahan pahaman dan kekeliruan menjelaskan agama. Atas nama agama para pembesar gereja menerapkan metode kekerasan terhadap agama masyarakat. Berdasarkan keyakinan gereja abad pertengahan, sistem yang berlaku di muka bumi merupakan sistem yang berlaku di langit. Sistem ini merupakan sistem yang dikehendaki oleh Tuhan dan tidak dapat dirubah. Setiap orang, semenjak raja hingga jelata dan pengemis, harus menjalankan peran yang telah ditetapkan oleh Tuhan. Sejatinya para pembesar gereja senantiasa menjadi penyokong sistem sosial dan politik dan sekali-kali tidak dapat menerima adanya penyimpangan. Berkebalikan dari masyarakat baru, tipologi asli abad pertengahan adalah tiadanya kebebasan pribadi. Pada masa ini, setiap orang terpenjara dengan perannya masing-masing dalam mekanisme sosial.” (Erich Fromm, Escape from Freedom:60)
Tujuan utama pandangan dunia Liberalisme semenjak kemunculannya, berperang melawan kekuasaan mutlak. Liberalisme pada awalnya bangkit melawan pemerintahan absolute gereja di belahan dunia Barat dan kemudian melawan pemerintahan absolut para raja.
DAMPAK LAHIRNYA POLITIK LIBERALISME DI INDONESIA
Liberalisme merupakan salah satu school of thought yang paling berpengaruh dalam filsafat Barat. Dalam tiga domain, filsafat, ekonomi dan politik kaum liberal menyodorkan pandangan-pandangannya. Dalam ranah politik, Liberalisme menghembuskan nafas kebebasan pribadi dan sosial. Demikian juga pada wilayah ekonomi, pengurangan peran dan kekuasaan pemerintah. Dari sudut pandang pemikiran meyakini bahwa apabila urusan dunia diserahkan kepada proses naturalnya maka seluruh persoalan manusia akan terselesaikan. Pesan utama yang diusung para proponen Liberalisme adalah kebebasan dan pembebasan. Bebas dari segala yang mengikat sehingga segala keinginannya terpenuhi. Membebaskan manusia dari segala tekanan, ancaman dan hambatan yang menghalanginya memenuhi segala keinginannya.
Dengan demikian, alih-alih melakukan koordinasi, tercipta sebuah jenis kontradiksi natural dalam kemaslahatan pribadi dan apabila diinginkan masyarakat manusia terjaga dari pertentangan natural ini maka mau-tak-mau harus ada intervensi luar. Kalau tidak demikian, tidak akan tercipta sebuah masyarakat yang tetap dan kokoh yang dengan keberadaannya kesenangan dan kemaslahatan pribadi dapat tersedia. Intervensi dari luar ini adalah pranata pemerintah – yang disebutkan sebelumnnya – tidak ideal dan merupakan keburukan dan tidak bisa menghindar darinya. Untuk mencegah pemerintah tidak diktator dan penghalan tersedianya lahan untuk memenuhi angan-angan dan kesenangan pribadi pemikiran Liberalisme menurut pandangan politik bersandar pada keragaman ideologi dan partai. Keragaman ideologi melalui parlemen inilah demokrasi. Sebuah sistem yang memisahkan tiga lembaga eksekutif, yudikatif dan legislative yang menjaga kebebasan pribadi dan umum serta kebebasan ideologi.
 Belanda pertama datang ke Indonesia pada tahun 1596, yang diawali dengan ekspedisi, yang dilakukan oleh Cornelis de Hotman dengan tujuan mencari rempah-rempah dan melakukan penjelajahan. Kolonisasi yang dilakukan bangsa Belanda di Indonesia dimulai sejak VOC dibubarkan pada tanggal 31 Desember 1799, wilayah jajahan VOC diambil oleh pemerintah kolonial Belanda.Sehingga untuk menjalankan roda pemerintahan di Indonesia, pemerintah Perancis (yang waktu itu menguasai Belanda) mengirimkan Deandles di Indonesia dengan tugas:
1.    Mempertahankan pulau Jawa dari serangan Inggris.
2.    Memperbaiki pemerintahan di Indonesia.
Untuk merealisasi tugas tersebut Deandeles melakukan langkah sebagai berikut:
Dalam bidang politik
1.    Bersikap antipati dan menunjukkan sikap tidak senang atau simpatik kepada raja-raja di Indonesia.
2.    Perbaikan didalam system pengadilan (jaksa dan kehakiman).
3.    Diterbitkanya surat kabar Gazette
Dalam bidang militer
1.    Untuk pertahanan pulau Jawa dibuat jalan Anyer-Panarukan dengan menggerakkan kerja paksa.
2.    Dibangun pabrik persenjataan di Gresik (Surabaya) dan Semarang.
3.    Dibangun pankalan angkatan laut di Ujungkulon.
Dalam bidang ekonomi
1.    Melanjutkan pelaksanaan contingenten (pajak in natural) dan sistem penyerahan wajib tanah wajib kopi di Periangan.
2.    Penjualan tanah yang luas kepada partikuler
3.    Dikeluarkanya uang kertas
Daendles pada masa pemerintahannya dikenal sebagai penguasa pemerintahan yang sangat disiplin, keras dan kejam. Oleh karena itu, Ia disebut sebagai gubernur jendral bertangan besi.Akan tetapi dalam tugas permerintahannya Daendles melakukan kesalahan, menjual tanah milik negara kepada pengusaha asing dimana dia tanpa sengaja telah melanggar undang-undang negara. Oleh karena itu, pemerintah Belanda memanggil kembali Daendles ke negeri Belanda. Daendles berkuasa di Indonesia pada tahun 1808-1811 (Suwanto, dkk, 1997: 25).
Dalam penerapan politik liberal di Indonesia oleh Daendles mengalami dampak-dampak yang menyebabkan perubahan-perubahan. Diantara dampak-dampak selain ekonomi, sosial, dan budaya, sesuai dengan permasalahan yang saya ambil. Maka diantara dampak atau pengaruh politik liberal Eropa terhadap perpolitikan di Indonesia pada abad 19 yaitu sebagai berikut:
1.    Adanya merkantilisme dari negara-negara Eropa
        Merkantilisme ialah suatu kebijaksanaan politik ekonomi dari negara imperialis dengan tujuan menumpuk kekayaan berupa uang mulia sebanyak-banyaknya, sebagai ukuran kekayaan, kesejahteraan dan kekuasaan negara tersebut.
2.    Perekonomian yang dikuasai oleh sektor swasta
        Pengusaan pada sektor perekonomian ini, para pengusaha telah melakukan monopoli pada sektor perdagangan khususnya rempah-rempah. Selian itu para penguasa juga menguasai seluruh sektor penjualan tanaman perkebunan.
3.    Dari segi birokrasi, peran bupati dan penguasa lokal dalam perekonomian semakin terbatas.
        Hal ini, dilakukan oleh pihak penjajah yang bertujuan untuk memangkas loyalitas rakyat terhadap penguasa pribumi, mempersempit kekuasaan wilayah penguasa pribumi, serta memperkecil penyelewengan dan kesewenang-wenangan penguasa pribumi.

APAKAH PAHAM LIBERALISME BISA DITERAPKAN DI INDONESIA MASA SEKARANG?
Secara umum, liberalisme ingin menciptakan suatu masyarakat yang bebas, dicirikan dalam suatu kebebasan, baik itu kebebebasan dalam berpikir, kebebasan berpendapat, beragama berpikir bagi para individuserta kebebasan pers. Liberalisme lalu berdampak pada aspek politik yang berwujud pada sistem Demokrasi, hal ini dikarenakan keduanya sama-sama mendasarkan kebebasan mayoritas.Walaupunkita tidak bisa selalu mengidentikkan bahwa Demokrasi sudah pasti Liberal. Demokrasi, sampai detik ini, merupakan sistem politik terbaik yang dipunyai oleh peradaban manusia karena menghargai perbedaan dari setiap manusia, dan menjunjung penyama-rataan hak-hak politik masyarakat dan kebebasan beropini rakyat.
Liberalisme di sisi lain juga berdampak pada aspek ekonomi, dalam wujud kapitalisme. Suatu sistem ekonomi yang sangat menekan campur tangan pemerintah dan bergantung pada mekanisme pasar demi “nilai-nilai kebebasan” yang tadi disebutkan.Juga demi memacu daya saing manusia dalam memenuhi kebutuhan ekonominya. Sangatlah masuk akal memang, jika manusia akan sangat terpacu untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi mereka jika diberi kepemilikan hak milik pribadi dan kebebasan mengelola dan mendaya gunakannya secara maksimal dan bebas.Dengan kebebasan yang diberikan kepada setiap individu dapat mengakibatkan individu tersebut melakukan eksploitasi terhadap sumber-sumber produksi yang ada.
Kebebasan yang bertanggung jawab ala liberalisme tidak melihat kebebasan secara keseluruhan sebagai kebaikan.Suara sebagian besar (yang belum tentu benar) menjadi hukum yang berlaku.batas-batasyang besar dari kebebasan individu bisa jadi merugikan kebebasan secara umum , dalam skala luas. Kebebasan yang diberikan sebagai individu yang bebas membiarkan manusia akan begitusaja membuat peraturan, akan memangsa manusia yang lemah.
Hobbes menganggap bahwa manusia memiliki sifat egois dan licik yang akan sangat membahayakan jika dibiarkan terus menerus. Ia berpendapat bahwa dalam keadaan alamiah dan bebas, manusia adalah serigala bagi manusia lainnya. Montesquieu, mengatakan bahwa kemerdekaan mutlak individu mempunyai kemungkinan yang sangat besar untuk mengancam kebebasan individu lain, sehingga harus ada pembatasan yang cukup oleh hukum dan Undang-Undang dari pemerintah.
Pada dasarnya dalam liberalisme melahirkan berbagai dengan kelemahan dan kekuatannya masing-masing.Oleh karena itu, tidak bisa kita anut secara penuh dan menyeluruh jika diterapkan di Indonesia. Nilai-nilai kebebasan, walau bagaimana pun, harus dibatasi, bukan dikekang secara tegas sesuai dengan kesepakatan nilai-nilai serta norma di Negara yang telah terbentuk akibat kultur, karena manusia hidup dalam lingkungan kemasyarakatan sebagai lingkup kecil, dan identitas bernama Negara dalam lingkup besar, sehingga kebebasan yang ia punya tidak bersinggungan dengan hak-hak yang juga dimiliki orang lain agar tercipta suatu kerukunan dan keadilan yang sebenar-benarnya.
Indonesia sendiri yang lebih menganut paham demokrasi Pancasila, yang mempunyai nilai-nilai yang luhur mengenai konsep-konsep kerja sama, kerukunan, dan gotong-royong yang menurut penulis merupakan nilai-nilai yang paling mulia dan memiliki makna “keadilan dan penghargaan hak-hak individu” dalam arti sesungguhnya oleh karena itu tidaklah cocok dengan liberalisasi di segala bidang, terutama bidang ekonomi. Di bidang ekonomi, Indonesia mempunyai ciri khas yang sangat mencerminkan kesahajaan dalam bentuk Pertanian, Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM).Pertanian bahkan bisa menjadi ujung tombak perekonomian dengan keadaan alam Indonesia yang sangat subur dan mendukung.
Jika kita lihat dari konstitusi Indonesia, yaitu Undang-Undang Dasar 1945, Liberalisasi di segala bidang juga amat tidak relevan dengan tujuan Negara dan pemerintah untuk membantu orang-orang terlantar dan tidak mampu untuk hidup berkecukupan serta untuk mencerdaskan seluruh rakyat Indonesia dengan kesempatan yang sama untuk mengenyam pendidikan yang seharusnya dipunyai oleh seluruh rakyat Indonesia.
Untuk itu sebagai Indonesia sebagai negara yang berdaulat tidak menjadikan segala sesuatu yang datang dari Barat sebagai anutan secara berlebihan, terlebih meniru secara menyeluruh, karena Bangsa kita tidak kalah hebat, bahkan sebenarnya jauh lebih hebat dibandingkan Negara-negara Barat tersebut. Nilai-nilai yang kita punya, yang terbentuk melalui proses yang panjang dan dilatarbelakangi oleh penyesuaian karakteristik iklim, karakteristik keadaan alam, maupun karakteristik sosiologis-kemasyarakatan, membentuk budaya, norma, dan nilai-nilai yang patut kita acungkan jempol dan tentu saja paling sesuai dengan diri kita sebagai masyarakat Indonesia.
Ideology liberalisme juga mempunyai kelemahan jika diterapkan di Indonesia, Kelemahan utama liberalisme adalah kurangnya perhatian terhadap nasib kaum miskin, buruh dan lainnya.Mereka menganggap siapa yang miskin itu yang hidupnya malas.Sangat ekstrem.Tapi anggapan itu tidak berlaku untuk kondisi Indonesia.
Jadi, penerapan liberalisme pada dasarnya tidak cocok diterapkan di Indonesia secara penuh.Indonesia sendiri dikenal dengan Negara yang selalu menggunakan system campuran. Sehingga, hal-hal yang positif dapat diikuti namun tetap merajuk pada budaya dan adat istiadat Negara kita, karena pada dasarnya manusia dilahirkan secara bebas namun norma dan adat istiadat yang masih terus dijaga oleh masyarakat Indonesia tetap mengikat kita sebagai manusia.

GENDER

3.    PANDANGAN BERBAGAI AGAMA TENTANG GENDER
3.1.    Gender Menurut Agama Islam
    Sejak 15 abad yang lalu Islam telah meghapuskan diskriminasi berdasarkan jenis kelamin. Islam memberikan posisi yang tinggi kepada perempuan. Prinsip kesetaraan dan keadilan gender dalam Islam tertuang dalam kitab Suci Al-Quran. Dalam ajaran Islam tidak dikenal adanya isu gender yang berdampak merugikan perempuan. Islam bahkan menempatkan perempuan pada posisi yang terhormat, mempunyai derajat, harkat, dan martabat yang sama dan setara dengan laki-laki.
Islam memperkenalkan konsep relasi gender yan mengacu kepaa ayat-ayat Al-Quran substantive yang sekaligus menjadi tujuan umum syariah. Adalah suatu kenyataan, masih banyak masyarakat, tidak terkecuali beberapa guru agama yang belum memahami makna qodrat, apabila berbicara soal jenis kelamin perempuan, dikaitkan dengan upaya mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender. Salah satu akibat dari salah memahami makna qodrat yang dikacaukan dengan peran gender adalah berbagai predikat yang bisa gender. Banyak orang menduga bahwa fungsi reproduksi menjadi alasan untuk mempertahankan domestikasi, sub ordinasi, marginalisasi, dan diskriminasi terhadap perempuan.
    Al-Quran sebagai “Hudan linnasi”, petunjuk bagi umat manusia, dan kehadiran Nabi Muhammad Rasulullah SAW dengan sunnahnya, sebagai “Rahmatan lil alamin”, tentu saja menolak anggapan di atas. Islam datang untuk membebaskan manusia dari berbagai bentuk ketidakadilan. Sejak awal dipromosikan, Islam adalah agama pembebasan.
    Islam adalah agama ketuhanan sekaligus agama kemanusiaan dan kemasyarakatan. Dalam pandangan Islam, manusia mempunyai dua kapasitas, yaitu sebagai hamba dan sebagai representasi Tuhan (khalifah) tanpa membedakan jenis kelamin, etnik, dan warna kulit. Islam mengamanatkan manusia untuk memperhatikan konsep keseimbangan, keserasian, keselarasan, dan keutuhan, baik sesama manusia maupun manusia dengan lingkungan alamnya.

3.2.    Gender Menurut Agama Katholik
    Ajaran resmi Agama Katholik yang khusus berbicara mengenai kesetaraan dan keadilan gender belum ada, namun cukup banyak pernyataan resmi gereja memperlihatkan bahwa laki-laki dan perempuan menempati kedudukan yang setara. Hal ini dapat dijumpai pada kitab Sui (Biblis) maupun dalam ajaran-ajaran gereja yang memuat mengenai kesamaan harkat dan martabat laki-laki dan perempuan.
Ajaran gereja (magisterium) juga banyak memuat mengenai bagaimana kesamaan martabat dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan berkeluarga, tentang hak-hak serta peranan perempuan yang sama dengan laki-laki, juga mengenai perempuan dan masyarakat.
Pandangan Agama Katholik tentang gender, relasi antara perempuan dan laki-laki, dapat dilihat dalam kitab-kitab Suci da tradisi, Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, sampai dalam ajaran gereja Kausili yang memuat mengenai masalah kesamaan harkat dan martabat laki-laki dan perempuan. 

3.3.    Gender Menurut Agama Kristen Protestan
    Alkitab Agama Kristen Protestan memaparkan bagaimana Allah mewujudkan kapi kasihNya terhadap manusia tanpa memandang jenis kelamin apa dia, dari golongan mana, berapa usianya, terang kasih Allah yang digenapi dalam pengorbanan Yesus Kristus adalah dunia yang dialami oleh manusia, laki-laki dan perempuan, tua dan muda.
Dalam Agama Kristen Protestan, Allah menciptakan manusia laki-laki dan perempuan dari debu tanah sama dan dibentuk sedemikian rupa menurut rupa dan gambarnyadan Allah melihat bahwa ciptaannya itu sungguh amat baik. Pada dasarnya perbedaan kodrat laki-laki dan perempuan berkaitan dengan fungsi biologis dan perbedaan itu adalah untuk saling melengkapi agar menjadi utuh. Dalam injil-injil synopsis dikatakan bahwa Yesus hadir dengan sikap yang baru terhadap perempuan, yaitu menghargai dn member kepada perempuan yang ditemuinya kepercayaan yang besar. Sikap Yesus terhadap perempuan juga ditunjukkan kepada perempuan yang baik-baik maupun perempuan pendosa. Adanya contoh-contoh yang bisa gender yang terdapat dalam Alkitab maupun dari tokoh-tokoh gereja adalah ketidakadilan gender yang lahir karena alasanalasan non teologis. Kaum teolog feminis Kristen Protestan berpendapat perlunya mendekonstruksikan dan menginterpretasikan kembalinya Alkitab melalui pandangan yang responsive gender, sehingga nilai-nilai yang luhur dan sesuai maksud penciptaan Allah bagi manusia muncul dipermukaan.



3.4.    Gender Menurut Agama Budha
    Dalam kehidupan bermasyarakat, Sang Budha tidak membedakan peran serta laki-laki dan perempuan. Mereka mempunyai peran yang setara dan adil. Seperti juga laki-laki, seorang perempuan dapat menjadi majikan, atasan atau guru (Bahramana) sesuai dengan khotbah Sang Budha. Mengacu pada perkembangan Budha Dharma 2555 tahun yang lalu, pemberdayaan dan kemitrasejajaran perempuan telah diperjuangkan dan ditumbuhkembangkan oleh Sang Budha. Hal ini dapat dikaji dari kisah-kisah siswa Budha yang sebagian adalah perempuan dan diterangkan pula bahwa perempuan membawa peranan penting dala perkembangan agama Budha.
    Kesetaraan gender dalam Agama Budha didasari kewajiban dan tangungjawab bersama dalam rumah tangga dan adanya kehendak bersama dalam menjalankan kehidupan berumah tangga. Menurut Agama Budha, manusia terdiri dari laki-laki dan perempuan yang muncul bersama di atas bumi ini, dan dia dapat terlahir sesuai dengan karmanya masing-masing, sehingga kedudukan laki-laki dan perempuan dalam Agama Budha tidak dibicarakan sebagai sesuatu yang bermasala. Agama Budha membimbing umatnya kepada lebih menghargai gender.
    Pada Paninivana Sutta, Sang Budha mengatakan, seluruh umat manusia tanpa tertinggal memiliki jiwa Budha. Laki-laki dan perempuan mempunyai tugas hidup yang agung, karenanya agar terjadi keseimbangan dalam menjalankan fungsi kehidupannya, maka keduanya mempunyai karakter yang tampak berlawanan, padahal justru dari hal inilah muncul keseimbangan.

3.5.    Gender Menurut Agama Hindu
    Tujuan hidup umat manusia menurut ajaran agama Hindu ada empat, yang dalam bahasa Sansekerta disebut Catur Parusharta (empat tujuan utama), yaitu Dharma, Arta, Karna, dan Moksa.
Pengertian gender dalam Agama Hindu merupakan hubungan social yang membedakan perilaku antara perempuan secara proporsional menyangkut moral, etika, dan budaya, bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan diharapkan untuk berperan dan bertindak sesuai dengan ketentuan social, moral, etika dan budaya dimana mereka berada. Ada yang pantas dikerjakan oleh laki-laki ditinjau dari sudut social, moral, dan budaya, tetapi tidak pantas dikerjakan oleh perempuan, demikian pula sebaliknya.
Sesuai dengan ajaran Agama Hindu, gender bukan merupakan perbedaan social antara laki-laki dan perempuan. Agama Hindu mengajarkan bahwa seluruh umat manusia diperlakukan sama di hadapan Tuhan sesuai dengan dharma baktinya.
    Manusia yang lahir ke dunia merdeka dan mempunyai martabat serta hak yang sama di hadapan Tuhan Yang Maha Esa, baik laki-laki maupun perempuan. Istilah dewa-dewi, Lingga yoni dalam ajaran Hindu menggambarkan bahwa dualism ini sesungguhnya ada dan saling membutuhkan karena Tuhan Yag Maha Esa menciptakan semua makhluk hidup selalu berpasanga. Di dalam kitab suci hubungan suami dan istri dalam ikatan perkawinan disebut sebagai satu jiwa dari dua badan yang berbeda.
    Lebih jauh di dalam Manapadharmasastra diuraikan bahwa Tuhan Yang Maha Esa menciptakan alam semesta beserta segala isinya dalam wujud “Ardha-nari-isvari”, sebagai sebagian laki-laki dan sebagian lagi sebagai perempuan.


4.    KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN
4.1.    Latar Belakang
Data statistic penduduk Indonesia menunjukkan bahwa jumlah kaum perempuan Indonesia persentasenya lebih besar dari kam laki-laki, yaitu 50,3%. Dengan jumlah tersebut, apabila didukung oleh kualitas yang tinggi, maka perempuan Indonesia akan menjadi potensi produktif dan merupakan modal bagi pembangunan.
Kenyataan yang ada sekarang ni adalah kedudukan dan peran perempuan Indonesia walaupun telah diupayakan selama dua dasawarsa, belum memadaidan menggembirakan. Ini disebabkan karena selama ini pendekatan pembangunan belum secara merata mempertimbangkan manfaat pembangunan secara adil bagi perempuan dan laki-laki sehingga hal tersebut turut member kontribusi terhadap timbulnya ketimpangan dan ketiakadilan gender.
Ketidaksetaraan dan ketidakadilan gende dikenal dengan istilah kesenjangan gender (gender gap) yang pada gilirannya menimbulkan permasalahan gender. Salah satu indicator yang dapat digunakan untuk mengukur kesenjangan Gender Adalah Gender Empowerment Measurement (GEM) dan Gender Related Development Index (GRDI) yang merupakan bagian tak terpisahkan dari Human Development Index (HDI).
Berdasarkan Human Development Report tahun 2002, GDI Indonesia menempati peringkat 91 dari 173 negara. Sedangkan HDI berada pada peringkat 110 dari 173 negara Ini masih tertinggal disbanding Negara-negara di ASEAN, misalnya Malaysia, Thailand, dan Philipina yang masing-masing berada pada peringkat 59, 70, dan 77 untuk HDI, dan pada peringkat 54, 60, dan 63 untuk GDI.
Untuk memperkecil kesenjangan tersebut, maka kebijakan dan program yang dikembangkan saat ini dan mendatang harus mengintegrasikan pengalaman, aspirasi, kebutuhan, an permasalahan perepuan dan laki-laki ke dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi pada seluruh kebijakan dan program pembangunan nasional, di samping meningkatkan kualitas hidup perempuan itu sendiri.

4.2.     Pengertian, Tujuan dan Indikator Pembangunan Pemberdayaan Perempuan
Pemberdayaan perempuan diartikan sebagai serangkaian upaya pemampuan perempuan untuk memperoleh akses kesejahteraan, kesempatan berpartisipasi sebagai pelaku dalam pengelolaan pembangunan, memutuskan serta mengawasi terhadap sumber daya ekonomi politik, social, dan budaya, agar perempuan dapat mengatur dirinya sendiri dan meningkatkan rasa percaya diri untuk mampu berperan dan berpartisipasi aktif dalam pembangunan.
Tujuan pembangunan pemberdayaan perempuan adalah untuk meningkatkan status, posisi, dan kondisi perempuan agar dapat mencapai kemajuan yang setara dengan laki-laki.

Pencapaian tersebut ditandai dengan:
1.    Terintegrasikannya kebijakan pemberdayaan perempuan pada semua kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan;
2.     Terwujudnya 440 kabupaten/kota yang responsive gender;
3.     Berperannya lembaga masyarakat dalam pemberdayaan perempuan.

Sasaran yang hendak dicapai oleh pembangunan pemberdayaan perempuan adalah
1.    Terjaminnya keadilan gender dalam berbagai produk peraturan perundang-undangan, program, dan kegiatan pembangunan;
2.    Membaiknya angka GDI (Gender-related Development Index) GEM (Gender Empowerment Measurement);
3.    Menurunnya tindak kekerasan terhadap perempuan;
4.    Meningkatkan kemampuan kelembagaan dan jaringan pengarustamaan gender dan anak termasuk ketersediaan data dan peningkatan partisipasi masyarakat di tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota.
Sasaran tersebut diuraikan ke dalam sasaran-sasaran operasional dalam bidang-bidang pendidikan kesehatan, ekonomi, hokum, lingkungan social dan budaya, perlindungan tenaga kerja, perlindungan perempuan usia lanjut, perlindungan perempuan cacat, perlindungan perempuan di daerah bencana dan konflik, perlindungan remaja putrid, politik dan pengambilan keputusan, peningkatan peran dan posisi perempuan dalam jabatan politik, perlindungan terhadap tindak kekerasan, pemberantasan tindak pidana perdagangan perempuan dan anak, penghapusan pornografi dan pornoaksi, tumbuh kembang anak, perlindungan anak, partisipasi anak, hak sipil dan kebebasan, kelembagaan anak, penciptaan lingkungan yang ramah anak, pelaksanaan pengarustamaan gender, dan pemberdayaan lembaga masyarakat dan swasta. 
   

D.    PENGARUSTAMAAN GENDER (GENDER MAINSTREAMING)
1.    Pengertian
Pengarustamaan Gender (PUG) adalah strategi yang dilakukan secara rasional dan sistematis untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender dalam sejumlah aspek kehidupan manusia melalui kebijakan dan program yang memperhatikan pengalaman, aspirasi, kebutuhan, dan permasalahan perempuan dan laki-laki ke dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi dari seluruh kbijakan dan program di berbagai bidang kehidupan dan pembangunan.
Dalam lampiran Instruksi Presiden RI No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarustamaan Gender dalam Pembangunan Nasional dapat disimak beberapa pengertian tentang Pengarustamaan Gender tersebut. Laporan Dewan Ekonomi PBB 1997, menyebutkan bahwa PUG adalah suatu proses penilaian implikasi dari setiap rencana aksi bagi perempuan dan laki-laki, mencakup peraturan, kebijakan-kebijakan, atau program-program pada tiap-tiap bidang di semua tingkatan pembangunan.

PUG sebagai suatu strategi untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender harus bear-benar terbukti tercermin dan terpadu dalam empat fungsi utama manajemen program setiap instansi, lembaga, maupun organisasi, yaitu dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi.
2.    Tujuan dan Sasaran Pengarustamaan Gender
Tujuan Pangarustamaan Gender adalah :
1)    Membentuk mekanisme untuk formulasi kebijakan dn program yang responsive gender.
2)    Memberikan perhatian khusus pada kelompok-kelompok yang mengalami marginalisasi sebagai dampak dari bias gender.
3)    Meningkatkan pemahamandan kesadaran semua pihak baik pemerintah maupun non pemerintah sehingga mau melakukan tindakan yang sensitive gender di bidang masing-masing.

Para pelaksana dari lembaga-lembaga pemerintah merupakan sasaran utama dari Pangarustamaan Gender (PUG). Demikian pula LSM/organisasi peremuan, organisasi swasta, organisasi profesi, organisasi keagamaan, sampai pada unit masyarakat yang paling kecil, yaitu keluarga, menjadi sasaran PUG.
3.    Prinsip Penerapan dan Ruang Lingkup Pangarustamaan Gender
Penerapan PUG di Indonesia didasarkan pada prinsip-prinsip menghargai keragaman (Pluralistis), bukan pendekatan dikotomis, melalui proses pemampuan sosialisasi da advokasi, dan menjunjung nilai HAM dan demokrasi. Ruang lingkup PUG mencakup aspek-aspek perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi.
Perencanaan yang responsive gender adalah perencanaan yang dibuat oleh seluruh lembaga pemerintah, organisasi profesi, organisasi swasta, masyarakat dan lainnya yang disusun dengan mempertimbangkan empat aspek: peran, akses, manfaat, dan control yang dilakukan secara setara antara perempuan dan laki-laki.

Pelaksanaan PUG perlu didukung dan diefektifkan dengan menyiapkan :
1)    Pemampuan para pelaksana PUG.
2)    Penyusunan perangkat analisis, pemantauan, dan penilaian.
3)    Pembentukan dan evaluasi PUG dilakukan dengan tepat waktu, dapat dipertanggungjawabkan, sederhana, transparan, menggunakan data terpilah menurut jenis kelamin, dan memakai indicator serta tolak ukur.


E.    PENGERTIAN KESETARAAN DAN KEADILAN GENDER
Kesetaraan dan keadilan gender adalah suatu kondisi dimana porsi dan siklus social perempuan dan laki-laki setara, serasi, seimbang dan harmonis. Kondisi ini dapat terwujud apabila terdapat perlakuan adil antara perempuan dan laki-laki. Penerapan kesetaraan dan keadilan gender harus memperhatikan masalah kontekstual dan situasional, bukan berdasarkan perhitungan secara matematis dan tidak bersifat universal. Jadi konsep kesetaraan adalah konsep filosofis yang bersifat kualitatif, tidak selalu bermakna kuantitatif.

1.    Pengertian
a.    Kesetaraan gender: kondisi dimana perempuan dan laki-laki menikmati status yang setara dan memiliki kondisi yang sama untuk mewujudkan secara penuh hak-hak asasi dan potensinya bagi pembangunan di segala bidang kehidupan.
b.    Keadilan gender: suatu kondisi adil untuk perempuan dan laki-laki melalui proses budaya dan kebijakan yang menghilangkan hambatan-hambatan berperan bagi perempuan dan laki-laki.



2.    Wujud Kesetaraan dan Keadilan Gender
a.    Akses: Kesempatan yang sama bagi perempuan dan laki-laki pada sumber daya pembangunan. Contoh: memberikan kesempatan yang sama memperoleh informasi pendidikan dan kesempatan untuk meningkatkan karir bagi PNS laki-laki dan perempuan.
b.    Partisipasi: Perempuan dan laki-laki berpartisipasi yang sama dalam proses pengambilan keputusan. Contoh: memberikan peluang yang sama antara laki-laki dan perempuan untuk ikut serta dalam menentukan pilihan pendidikan di dalam rumah tangga; melibatkan calon pejabat structural baik dari pegawai laki-laki maupun perempuan yang berkompetensi dan memenuhi syarat ”Fit an Proper Test” secara obyektif dan transparan.
c.    Kontrol: perempuan dan laki-laki mempunyai kekuasaan yang sama pada sumber daya pembangunan. Contoh: memberikan kesempatan yang sama bagi PNS laki-laki dan perempuan dalam penguasaan terhadap sumber daya (misalnya: sumberdaya materi maupun non materi daerah) dan mempunyai kontrol yang mandiri dalam menentukan apakah PNS mau meningkatkan jabatan struktural menuju jenjang yang lebih tinggi.
d.    Manfaat: pembangunan harus mempunyai manfaat yang sama bagi perempuan dan laki-laki. Contoh: Program pendidikan dan latihan (Diklat) harus memberikan manfaat yang sama bagi PNS laki-laki dan perempuan.

Berdasarkan uraian di atas, maka Kantor Kementerian Pemberdayaan Perempuan, dalam mensosialisasikan Pengarusutamaan Gender (PUG) dan penerapannya di Indonesia mengenal prinsip-prinsip sebagai berikut:
1)    Pluralistis
Yaitu menerima keragaman budaya, agama dan adat istiadat (pluralistis), karena bangsa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari yang terdiri dari berbagai suku bangsa, agama dan adat istiadat tadi merupakan kekayaan dan keragaman yang perlu dipertahankan di dalam Pengarusutamaan Gender tanpa harus mempertentangkan keragaman tersebut.
2)    Bukan pendekatan konflik
Yaitu pendekatan dalam rangka PUG tidak melalui pendekatan dikotomis yang selalu mempertimbangkan antara kepentingan laki-laki dan perempuan.
3)    Melalui proses sosialisasi dan advokasi
Prinsip yang penting dalam PUG di Indonesia adalah melalui perjuangan dan penerapan secara bertahap melalui proses sosialisasi dan advokasi. Dalam PUG tidak semudah membalikkan telapak tangan atau ibarat memakan ”cabe” begitu digigit terasa pedas. Tetapi pelaksanaannya harus dengan penuh pertimbangan melalui proses sosialisasi dan advokasi yang tidak bertentangan dengan kepentingan masyarakat.
4)    Menjunjung Nilai HAM dan Demokratisasi
Yaitu pendekatan PUG di Indonesia tidak melalui pertentangan-pertentangan dan penekanan-penekanan, sehingga ada kelompok-kelompok yang merasa dirugikan. PUG di Indonesia penerapannya akan selalu menjunjung nilai-nilai Hak Azazi Manusia dan demokratis, sehingga akan diterima oleh lapisan masyarakat tanpa ada penekanan-penekanan.


F.    MILLENIUM DEVELOPMENT GOALS (MDG)

Millennium Development Goals (Tujuan Pembangunan Milenium = MDG) lahir dari Deklarasi Milenium – suatu konsensus global yang belum pernah terjadi sebelumnya, yang disepakati pada tahun 2000 oleh 189 Negara Anggota PBB. Dalam Deklarasi ini negara-negara tersebut secara bersama-sama mengedepankan visi global bagi perbaikan kondisi kemanusiaan di seluruh dunia di bidang-bidang pembangunan dan pengurangan kemiskinan, perdamaian dan keamanan, perlindungan lingkungan dan hak asasi manusia dan demokrasi. Kebutuhan mutlak untuk memajukan hak asasi manusia dari seluruh umat manusia agar mencapai visi ini ditegaskan dalam Deklarasi. Secara khusus, pemajuan hak perempuan hingga kesetaraan gender diakui sebagai sangat perlu bagi kemajuan. Deklarasi menyatakan secara tegas ‘untuk memerangi segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan untuk mengimplementasikan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW)’. Lebih lanjut diakui arti penting mempromosikan kesetaraan dan keadilan gender dan pemberdayaan perempuan sebagai jalan yang efektif untuk memerangi kemiskinan, kelaparan dan penyakit dan untuk merangsang pembangunan yang benar-benar berkelanjutan. Pada saat yang sama, Deklarasi Milenium menegaskan kembali peran sentral kesetaraan gender dari perspektif Konferensi Dunia Keempat tentang Perempuan di Beijing (1995) dan konferensi-konferensi dunia lainnya seperti Konferensi Rio tentang Lingkungan dan Pembangunan (1992), Konferensi Wina tentang Hak Asasi Manuasia (1993), Konferensi Kairo tentang Kependudukan dan Pembangunan (1994), Pertemuan Puncak Dunia tentang Pembangunan Sosial di Kopenhagen (1995) dan Konferensi Istambul tentang Pemukiman Manusia (1996). Konferensi-konferensi dunia yang diselenggarakan oleh PBB pada tahun 1990-an ini merupakan pemacu bagi masyarakat internasional untuk bertemu di Pertemuan Puncak Milenium tahun 2000, dan menyetujui langkah-langkah yang dibutuhkan untuk mengurangi kemiskinan dan mencapai pembangunan yang berkelanjutan, dan Deklarasi Milenium memperbarui komitmen yang telah dinyatakan oleh semua Negara Anggota di konferensi-konferensi ini.

AGENDA MILENIUM KESETARAAN GENDER
Delapan komitmen kunci yang ditetapkan dalam Deklarasi Milenium menjadi Tujuan Pembangunan Milenium (MDG):
1. Menghapus kemiskinan ekstrim dan kelaparan
2. Mencapai pendidikan dasar universal
3. Mempromosikan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan
4. Penurunan angka kematian balita
5. Memperbaiki kesehatan ibu
6. Memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit-penyakit lain
7. Memastikan kelestarian lingkungan
8. Mengembangkan kemitraan global bagi pembangunan

MDG diikuti dengan 16 target global dan 48 indikator global. Tujuan, target dan indikator ini dimaksudkan agar bekerja bersama untuk mendorong tindakan yang efektif untuk mencapai pembangunan dan menghapus kemiskinan yang merupakan sasaran Deklarasi. Target-target dan indikator-indikator ini diciptakan untuk menjadi ukuran konkret sejauh mana negara-negara membuat kemajuan dalam mencapai Tujuan MDG, dan kemajuan ini dinilai secara teratur pada tingkat negara lewat laporan MDG nasional. Pencapaian MDG telah menjadi prioritas utama bagi semua mitra pembangunan – pemerintah nasional, sistem PBB maupun lembaga-lembaga keuangan internasional. Kenyataan bahwa kebutuhan untuk mengatasi ketidak-setaraan gender telah ditekankan oleh Deklarasi Milenium, dan bahwa MDG secara jelas menyebutkan Tujuan kesetaraan gender dan pengakuan bahwa kesetaraan gender penting bagi pencapaian semua tujuan, menunjukan bahwa MDG merupakan kesempatan yang berharga untuk pemajuan agenda kesetaraan gender.

MENGARUSUTAMAKAN KESETARAAN GENDER
Upaya-upaya untuk mencapai MDG meliputi cakupan yang luas dari sektor-sektor pemerintah, mitra pembangunan dan organisasi-organisasi masyarakat madani. Ini memberi kesempatan untuk memperbaiki koordinasi kepedulian atas kesetaraan gender dan menaikkannya ke tingkat kebijakan baru yang lebih tinggi. MDG akan membantu memperlancar dan memperkuat pemantauan dan meningkatkan akuntabilitas lembaga-lembaga sektoral dan kementerian dalam hubungannya dengan target-target dan indicator-indikator tertentu. Apabila pertimbangan-pertimbangan kesetaraan gender berhasil dimasukkan ke dalam upaya-upaya pencapaian Tujuan MDG, proses MDG akan membantu mengarusutamakan gender dalam cakupan yang lebih luas dari program dan kebijakan nasional daripada yang dimungkinkan sebelumnya. Penghapusan Kemiskinan dan Kelaparan Ekstrim

G.    KOMNAS PEREMPUAN
Gerakan perempuan Indonesia pada Era Reformasi menemukan pelbagai kemajuan sekaligus juga kemundurannya yang bersifat paradoks. Satu sisi, gerakan perempuan memperoleh pencapaiannya dalam pelbagai bentuk pelembagaan dan perangkat hukum yang melindungi hak-hak perempuan dan upaya membebaskan perempuan dari tindak kekerasan. Seperti: 1) Berdirinya Komisi Nasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) melalui Keputusan Presiden No. 181/1998; 2) Pengakuan hak-hak asasi perempuan sebagai hak-hak asasi manusia sebagaimana yang terdapat dalam Undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.;1 3) Instruksi Presiden (Inpres) No.9 tahun 2000 tentang pengarusutamaan gender dalam berbagai sektor pembangunan; 4) disahkannya Undang-undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), sebuah aturan yang melindungi perempuan dalam pelbagai bentuk kekerasan; 5) Berdirinya sejumlah lembaga yang dibentuk pemerintah agar perempuan korban kekerasan dapat mengakses keadilan seperti Ruang Pelayanan Khusus (RPK) dan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) yang didirikan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan (KPP).
Selain itu, berdiri dan berkembangnya pusat-pusat pengadaan layanan bagi perempuan korban yang didirikan oleh lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan dan keagamaan. Meskipun sejumlah kemajuan sudah dicapai gerakan perempuan di era reformasi ini, tetapi juga terdapat fakta bahwa marjinalisasi dan kekerasan terhadap perempuan pun terjadi pada masa-masa ini. Hal ini terdapat pada fakta kekerasan dan marjinalisasi terhadap perempuan, terutama perempuan dari kelompok kepercayaan minoritas.

1.    Dalam Undang-undang Republik Indonesia No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Bagian Kesembilan disebutkan bahwa: 1) Pengakuan hak perempuan sebagai hak asasi manusia. 2) Jaminan keterwakilan perempuan dalam sistem pemilihan umum, kepartaian, pemerintahan, baik legislatif, eksekutif maupun yudikatif. 3) Hak untuk memperoleh pendidikan 4) Hak untuk memilih, dipilih dan diangkat serta perlindungan terhadap hak kesehatan reproduksi.
2.    Saat ini terdapat Ruang Pelayanan Khusus (RPK) berjumlah 129 unit yang tersebar di RS Bhayangkara di seluruh Indonesia dan terdapat 23 unit P2TP2A di 19 Propinsi di Indonesia.
3.    Tercatat 41 lembaga layanan terbentuk di seluruh Indonesia atas inisiatif masyarakat, baik melalui organisasi perempuan, organisasi kemasyarakatan dan keagamaan.

Wujud dari marjinalisasi dan kekerasan tersebut diantaranya adalah: 1) pembatasan hak kemerdekaan berekspresi dalam berbusana dengan mewajibkan perempuan menggunakan pakaian dengan standar agama mayoritas, termasuk siswa-siswa perempuan di sekolah-sekolah menengah negeri di beberapa wilayah di Indonesia, sebuah peraturan yang tidak pernah terjadi sebelumnya di Indonesia.4 Kebijakan ini boleh jadi tidak dimaksudkan untuk melakukan tindakan diskriminatif, tetapi implementasi kebijakan tersebut berdampak kepada pembatasan, pembedaan, pengurangan atau pengucilan terhadap kelompok masyarakat tertentu; 2) pembatasan akses pada pekerjaan dan ekonomi dengan kebijakan pembatasan keluar malam bagi perempuan hingga pukul 10.00 sebagaimana yang terjadi di salah satu wilayah di Sumatera Barat. Padahal, banyak perempuan yang bertumpu kehidupan ekonominya dengan bekerja di malam hari seperti ibu-ibu tukang sayur di pasar, karyawati rumah sakit dan di tempat-tempat lain yang harus beroperasi di malam hari. Kasus Ny. Lilis, korban salah tangkap di kota Tangerang yang diduga sebagai pekerja seks adalah dampak dari kebijakan pembatasan hak perempuan untuk keluar malam; 3) pengesahan Undang-undang Pornografi yang mengutamakan standar nilai moral agama mayoritas dan cenderung mengabaikan pelbagai keragaman nilai yang menjadi karakter bangsa Indonesia ke dalam hukum nasional sehingga daerah-daerah seperti Bali, Nusa Tenggara Timur (NTT), Papua, dan Sulawesi Utara menolak pengesahan UU tersebut. Bahkan setelah UU ini disahkan pada tahun 2008, Gubernur Bali, Made Mangku Pastika, dan Ketua DPRD Bali, Ida Bagus Putu Wesnawa, menandatangani kesepakatan bersama untuk tidak melaksanakan UU tersebut dan memberikan perlindungan pada masyarakat Bali yang terkena pasal-pasal dalam UU Pornografi. Selain itu, undang-undang ini pun memiliki potensi mengkriminalkan perempuan, karena terdapat pasal yang multi tafsir tentang batasan pornografi.5; 4) penyerangan terhadap komunitas Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) di beberapa tempat yang berdampak pada kekerasan terhadap perempuan kelompok minoritas ini.

H.    REFORMASI PEREMPUAN

Bulan Maret ini merupakan bulan yang penuh makna bagi perempuan dimuka bumi ini, karena pada setiap tanggal 8 di bulan Maret ini seluruh dunia merayakan hari yang dikenal dengan International Women Day atau hari Perempuan sedunia. Beberapa Negara di belahan bumi ini bahkan menetapkan tanggal tersebut sebagai hari libur nasional, yaitu China, Rusia, Vietnam dan Bulgaria. Ratusan kegiatan dilaksanakan di berbagai belahan dunia tidak hanya pada tanggal 8 Maret, tetapi selama bulan Maret ini untuk memperingati perayaan hari Perempuan sedunia dan juga untuk mengapresiasi prestasi-prestasi kaum perempuan. Beberapa Negara, organisasi dan kelompok-kelompok perempuan memilih tema yang berbeda setiap tahunnya yang mana tema tersebut mencerminkan isu-isu keberhasilan perempuan di wilayah mereka masing-masing. United Nations pada tahun 2011 ini menetapkan “Kesamaan Akses Pendidikan, Pelatihan, Ilmu pengetahuan dan Teknologi: Jalan Menuju Pekerjaan yang Layak bagi perempuan”. Canada juga mengambil tema khusus perayaan yaitu “Kepemimpinan yang kuat; Kepemimpinan Perempuan, Kekuatan Dunia: Kesetaraan”. Bagaimana dengan Indonesia? Tema apakah yang diambil Indonesia untuk perayaan hari Perempuan sedunia ini? Walau pemerintah Indonesia belum menetapkan tema khusus untuk memperingati perayaan hari perempuan sedunia ini, namun bukan berarti negara ini tidak mempunyai isu keberhasilan Perempuan yang bisa dirayakan. Perjuangan dan pergerakan perempuan Indonesia tidak bisa diukur dengan sebatas tema. Yakinlah dimanapun dan kapanpun kita tetap bisa memperingati perayaan hari Perempuan ini, walau tidak melalui momentum khusus sekalipun. Secara nyata manuver-manuver perempuan Indonesia untuk bisa diakui sangat terlihat dan terekspose dalam beberapa aspek kehidupan dewasa ini. Apakah perempuan Indonesia masih selalu mengalami penindasan dan kekerasan ? Apakah Perempuan Indonesia masih dipandang sebelah mata ? Apakah Perempuan Indonesia sudah mampu bersaing ? dan begitu banyak lagi pertanyaan-pertanyaan yang bermunculan ketika posisi perempuan di negara ini akan menjadi bahan diskusi banyak pihak.
Secara kenyataan, perlahan dan pasti perempuan-perempuan Indonesia ini mulai menunjukan bahwa mereka adalah asset sumber daya manusia yang sangat berharga. Jika dipergunakan konsep reformasi sebagai sebuah gerakan untuk pembaharuan dan perubahan terhadap suatu hal yang telah ada pada suatu masa tertentu, maka bisa dikatakan bahwa perempuan Indonesia juga sedang berjalan ke arah reformasi tersebut. Sudah sejauh mana reformasi kaum perempuan negeri ini? Kalau dianalisa secara sekilas sebenarnya gerakan reformasi perempuan Indonesia sudah bermunculan dalam berbagai bidang yaitu di dalam bidang politik, pendidikan, teknologi, dan juga di dalam bidang sosial budaya.

Perempuan dan Politik
Pada saat ini sudahlah menjadi wacana umum ketika seorang perempuan memutuskan untuk terjun ke dunia politik. Indonesia bahkan merupakan salah satu negara yang mampu menunjukan kepada dunia bahwa pada suatu masa Negara ini rela dipimpin oleh seorang presiden perempuan. Setidaknya hal ini merupakan suatu gerakan yang luar biasa dan penghormatan terhadap posisi perempuan Indonesia. Indonesia mampu menunjukan sebagai sebuah Negara besar yang tidak membedakan pemimpinnya dari segi gender.
Diperkuat dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu semakin membuka peluang berperannya perempuan Indonesia dalam berbagai panggung politik nasional dengan jaminan yang sangat menjanjikan. Dalam kepengurusan partai politik, misalnya, Pasal 8 UU Nomor 10/2008 mensyaratkan sekurang-kurangnya 30 persen keterwakilan perempuan di tingkat pusat. Kondisi ini memberi kebebasan bergerak kepada perempuan melalui partai untuk menunjukkan idealisme dan pengabdiannya kepada masyarakat. Disini secara jelas Negara menunjukan sikapnya terhadap posisi Perempuan Indonesia. Dimana, mereka jelas-jelas sudah diberi kesempatan untuk masuk dalam panggung politik yang penuh dengan aktor laki-laki selama ini. Hampir di seluruh daerah di Indonesia, begitu banyak politikus-politikus perempuan bermunculan di panggung emas politik dan siap bersaing dengan kaum laki-laki. Walau terkadang sering di dengar juga berita-berita miring yang menghambat sepak terjang perempuan-perempuan ini, namun kenyataan sudah menunjukan partisipasi politik yang dilakukan srikandi-srikandi ini untuk maju satu langkah di dalam dunia keras politik tanah air ini.



Perempuan dan Pendidikan
Sampai saat ini memang masih banyak pihak yang prihatin dengan keterlibatan perempuan didalam sektor pendidikan terkait dengan kenyataan bahwa banyak perempuan yang tidak melanjutkan ke pendidikan tinggi. Sebenarnya banyak faktor yang mempengaruhi mengapa keterlibatan perempuan di dalam pendidikan ini masih berada di bawah laki-laki. Jika kita melihat ke dalam pandangan-pandangan tradisional sepertinya memang perempuan selalu ditempatkan dalam posisi yang tidak menguntungkan, salah satunya sebut saja pandangan terkait peran dan posisi perempuan yang hanya dan akan ada di dalam rumah saja, sehingga banyak masyarakat berpandangan bahwa pendidikan tinggi tidak diperlukan bagi perempuan. Padahal jika mau disadari perempuan yang berada di dalam rumah sekalipun memerlukan ilmu yang cukup untuk berada di dalam rumah khususnya untuk memberikan ilmu-ilmu itu kepada anak-anaknya kelak sebagai generasi permata bangsa ini. Namun hal ini bukan berarti Kartini-Kartini Indonesia tidak berupaya untuk terlibat dan maju di dalam pendidikan. Tidak pernah ada kata terlambat untuk memajukan perempuan Indonesia untuk terus berpartisipasi dalam dunia pendidikan. Begitu banyak program Pemerintah dan juga program-program yang dirancang pegiat-pegiat gender tanah air ini untuk terus menerus mengadvokasi partisipasi perempuan-perempuan ini dalam pendidikan.
Beberapa waktu belakangan ini, mulai bisa dilihat bermunculannya perempuan-perempuan Indonesia yang sukses di dalam pendidikan. Sebut saja nama Martha Tilaar dan Mooryati Soedibyo keduanya merupakan pakar ahli dari kosmetika tradisional Indonesia yang keahliannya dan produknya sudah mendapat pengakuan dari dunia internasional, ada lagi seorang pejuang wanita di bidang pendidikan bernama Butet Manurung. Wanita ini selama beberapa tahun belakangan ini berusaha keras demi mendidik anak-anak suku rimba yang berada di daerah hutan pedalaman di Jambi. Didalam dunia sastra, tentu saja ada Ayu Utami. perempuan Bali ini sukses menghebohkan dunia kesastraan Indonesia dengan mengeluarkan novel berjudul “Saman” yang otentik dengan bahasa yang sangat berani dalam menceritakan ranah seksualitas perempuan di Tanah Air. Dan masih begitu banyak lagi tokoh perempuan-perempuan emas lainnya yang namanya semakin mengharum karena tingkat intelektualitas mereka.
Keadaan perempuan masa kini, telah banyak mendorong perempuan Indonesia untuk mencapai pendidikan tinggi. Perempuan telah mendapatkan kesempatan yang seluas-luasnya untuk bersekolah. Sudah menjadi fakta umum bahwa prestasi anak perempuan di semua tingkat pendidikan (mulai SD sampai universitas) selalu menduduki peringkat yang tertinggi. Meskipun penelitian mengenai hal ini belum dilakukan, akan tetapi berdasarkan pengalaman, dari 10 peringkat tertinggi dari tiap jenjang pendidikan, ternyata 60% diantaranya adalah murid atau mahasiswa perempuan. Perempuan juga sudah mampu mencapai pendidikan tertinggi, seperti S1, S2, S3. Tenaga pengajar perempuan bergelar guru besar juga telah semakin meningkat. Juga perempuan masa kini sudah mampu melaksanakan tugas-tugas yang sebelumnya dianggap sebagai tugas laki-laki seperti pilot, sopir bus, satpam, insinyur perminyakan, insinyur mesin, insinyur tambang, dan lain-lain.
Diluar semua revolusi perempuan di bidang Pendidikan ini, penting sekali untuk diingat dan menjadi catatan bahwa Isu tentang kesetaraan dan pemberdayaan perempuan terutama dalam hal akses pendidikan masih menjadi isu penting di Indonesia, sebagaimana tertuang dalam Millenium Development Goals (MDG). Artinya, kesetaraan dan pemberdayaan perempuan adalah prasyarat bagi tercapainya pembangunan yang berorientasi pada manusia tanpa memandang jenis kelamin”.

Perempuan dan Teknologi
Perempuan dan dunia teknologi ibarat dua sisi dunia yang berbeda, banyak stereotype masyarakat yang berkembang bahwa teknologi identik dengan dunia maskulinitas laki-laki. Banyak anggapan bahwa teknologi bukan wilayah yang tepat untuk kaum perempuan. Pendapat umum bahwa perempuan dengan segala feminitasnya dan penggunaan perasaan ketimbang rasio menjadi satu alasan untuk mematahkan semangat perempuan dalam dunia ilmu pengetahuan teknologi. Ilmu eksakta yang mementingkan rasionalitas sepertinya tidak cocok untuk perempuan. Salah satu dari 12 isu kritis gerakan perempuan tahun 2006-2011 yang merupakan hasil Temu Nasional Aktifis Perempuan Indonesia (2006) adalah perempuan dan teknologi.
Agenda isu kritis ini berbunyi meningkatkan kapasitas perempuan dalam pemanfaatan berbagai teknologi; menggunakan teknologi untuk membangun simpul informasi dan komunikasi; memperkuat akses perempuan terhadap teknologi; dan kampanye teknologi yang ramah perempuan. Saat teknologi begitu pesat berkembang, tak bisa dielakkan oleh siapapun, sungguh sangat penting memang kita mulai mengorientasikan gerakan kita pada upaya mengadvokasi perkembangan teknologi agar lebih mendukung agenda pemberdayaan perempuan. Apakah memang perempuan Indonesia selalu tertinggal untuk dunia teknologi ini ? sepertinya tidak juga, saat ini para srikandi Indonesia ini juga mulai menggeliat di ranah teknologi ini. Daridata yang tersedia di www.checkfacebook.com juga menunjukan bahwa 40,5 % pengguna social media facebook di Indonesia adalah perempuan. Ini menunjukan bahwa kaum perempuan Indonesia juga sudah mulai merambah dunia teknologi berwawasan internet. Belum lagi lahirnya beberapa tokoh perempuan di bidang teknologi, seperi Betti Setiastuti Alisjahbana, ia merupakan sosok perempuan berwawasan luas tentang teknologi. Dia adalah perempuan pertama yang menduduki jabatan Presiden Direktur IBM di kawasan Asia Pasifik (1999 – 2008). Ada juga nama Megawati Khie, tokoh perempuan Indonesia yang berkiprah di dunia teknologi yang mendapat kepercayaan dari perusahaan komputer kelas dunia yaitu HP dan Dell untuk menduduki posisi strategisnya di Indonesia.
Pada akhir tahun 2007 lalu, juga lahir sebuah Kelompok Linux Cewek Indonesia, disingkat Kluwek, Lahirnya kelompok ini setidaknya mampu memberikan perspektif yang lebih kuat dalam berbagi pengetahuan mengenai teknologi informasi di kalangan perempuan khususnya dan bagi pencinta teknologi linux umumnya. Mungkin masih ada lagi beberapa nama Perempuan dan gerakan-gerakan perempuan Indonesia di luar sana yang bergeliat di bidang teknologi, setidaknya mereka semua mampu membuktikan dan menunjukan kepada khalayak bahwa teknologi bukanlah wilayah yang tabu dimasuki oleh kaum hawa.

Perempuan dan Kehidupan Sosial Budaya
Perempuan dalam tataran kehidupan sosial budaya timur memiliki peran dan status yang disimbolkan pada kelemahlembutan, posisi nomor dua dibanding kaum adam dan terkadang menjadi sosok yang tidak dimerdekatan dalam konteks sosial budaya masyarakat. Misalnya saja keterlibatan perempuan Indonesia dalam pemilihan Miss Universe yang pada awalnya menuai pro kontra bagi sebagian masyarakat Indonesia. Salah satu alasannya cukup sederhana dimana pemakaian baju berenang dianggap sebagai penilaian yang lebih menjual kepada eksploitasi tubuh perempuan dan dianggap terlalu vulgar untuk dipertontonkan untuk masyarakat luas. Padahal jika ditengok di dalam negeri sendiri baju minim sudah menjadi hal yang bisa dengan mudah ditemui, kenapa ajang yang salah satu bagiannya menampilkan pakaian renang bisa ditentang sedemikian keras, serta memicu terjadinya aksi protes? Dalam perkembangannya selama tiga tahun terakhir ini, Indonesia terus menerus mengirimkan wakilnya untuk mengikuti pemilihan Miss Universe tersebut, dan hal tersebut menunjukan persegeran paradigm masyarakat Indonesia untuk bisa menerima dan bahkan mendukung keterlibatan Perempuan Indonesia dalam ajang internasional tersebut.
Contoh lain terkait keberhasilan perempuan untuk mempengaruhi kehidupan sosial budaya terjadi di Bali. Dimana sistem patrilineal yang begitu kuat pada akhirnya mampu memberikan pengakuan para perempuan Bali untuk mendapatkan hak waris. Majelis Desa Pakraman adat Bali telah memberikan pengakuan terhadap adanya hak waris terhadap anak perempuan. Perubahan besar lainnya, adalah dalam masalah perceraian dan hak asuh anak. Selama ini, bila perceraian terjadi, seluruh harta bersama selama masa perkawinan sepenuhnya dikuasai pihak laki-laki. Tetapi saat ini Majelis Desa Pakraman Adat Bali menyebutkan bahwa harta tersebut harus dibagi secara adil. Pengasuhan anak pun dimungkinkan dapat diberikan kepada pihak perempuan sampai usia tertentu meskipun si anak berstatus sebagai penerus keturunan keluarga besar pihak laki-laki. Keputusan-keputusan tersebut merupakan dinamika perkembangan baru dan menjadi tonggak revolusi sosial bagi para perempuan Bali untuk lebih dipandang statusnya di dalam kehidupan patrilinealisme yang begitu kuat di wilayah ini.
Kalau selama ini Undang-undang Perkawinan Indonesia Nomor 1 tahun 1974, tentang kehidupan sosial politik dan masyarakat, kepala rumah tangga adalah suami atau seorang pria. Lebih dari itu, masyarakat dan nilai-nilai sosial Indonesia selama ini juga hampir tidak pernah mempertimbangkan perempuan sebagai kepala rumah tangga, sepertinya paradigma tersebut sudah mulai mengalami pergeseran. Dalam kenyataannya di kehidupan sosial dewasa ini, semakin banyak perempuan yang mengambil alih peran sebagai kepala rumah tangga. Dari data Sensus Ekonomi Nasional Indonesia (SUSENAS) 2007 menunjukkan bahwa jumlah rumah tangga yang dikepalai perempuan telah mencapai 13,60% atau sekitar 6 juta rumah tangga yang mencakup lebih dari 30 juta warga. Jika dibandingkan dengan data pada tahun 2001, tren ini meningkat rata-rata 0,1% setiap tahun.

PENUTUP


A.    KESIMPULAN
secara umum gerakan-gerakan reformasi perempuan Indonesia dalam beberapa bidang di atas menunjukan bahwa apabila diberi kesempatan yang seluas-luasnya kaum perempuan Indonesia ini akan mampu meningkatkan kualitasnya. Mereka adalah aset dan potensi pembangunan, sehingga strategi kesetaraan dan keadilan gender dalam pembangunan nasional juga harus terus diupayakan, apabila kaum perempuan ini dihambat untuk diberdayakan, maka dengan sendirinya juga akan menghambat upaya optimal untuk memajukan Pembangunan Nasional kita. Di manapun berada, di manapun lingkungannya, perempuan harus berani bergerak walau sekecil apapun. Menggali potensi diri dan berani bermimpi. Kualitas perempuan Indonesia ini merupakan sebuah kekayaan sumber daya manusia yang dimiliki bangsa ini.

B.    SARAN

Dengan banyaknya reformasi perempuan yang bermunculan, tetap yang perlu diingat adalah semua gerakan tersebut harus diiringi dengan nilai dan prinsip dasar sebagai pegangan agar gerakan tersebut berguna bagi dirinya dan masyarakatnya. Maka sudah selayaknya seluruh perempuan Indonesia bersemangat dan bersama-sama bangkit untuk merayakan reformasi perempuan di tanah air ini. Selamat untuk seluruh perjuangan perempuan di tanah air ini.



DAFTAR PUSTAKA


A.    Daftar Buku

BKKBN. 2000. Kumpulan bahan pembelajaran pelatihan Pengarusutamaan Gender (PUG) Bidang Kesehatan Reproduksi dan Kependudukan 2000. Jakarta: Pusat Pelatihan Gender dan Pemberdayaan Perempuan BKKBN.
BKKBN. 2000. Kumpulan bahan pembelajaran pelatihan Pengarusutamaan Gender (PUG) Bidang Kesehatan Reproduksi dan Kependudukan. Jakarta: Pusat Pelatihan Gender dan Pemberdayaan Perempuan BKKBN.
Darahim, A. 2000. Kesetaraan gender dalam Kehidupan Keluarga dan Masyarakat: Tinjauan Sosial Budaya dan Agama. Jakarta: BKKBN.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan (KPP). 2001. Pemantapan Kesepakatan Mekanisme Operasional Pengarusutamaan Gender Kesejahteraan dan Perlindungan Anak dalam Pembangunan Nasional dan Daerah: Bagian I dan II. Rakernas Pemberdayaan PP & KPA.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan(KPP). 2004. Bunga Rampai: Panduan dan Bahan Pembelajaran Pelatihan Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional. Kerjasama Kementerian Pemberdayaan Perempuan RI, BKKBN, dan UNFPA.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan. 2005. Bahan Pembelajaran Pengarusutamaan Gender. Kerjasama Kementerian Pemberdayaan Perempuan RI, BKKBN, dan UNFPA.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan. 2000. Materi Pokok Bagi Penyusunan Pedoman Umum Penyadaran Gender Draf 3: Tim Pokja Peranserta Masyarakat, Jakarta.
Megawangi, R. 1999. Membiarkan Berbeda: Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender. Jakarta: Mizan.
Puspitawati, H. 2006. Pengaruh Faktor keluarga, Lingkungan Teman dan Sekolah Terhadap kenakalan Pelajar di Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) di Kota Bogor. Disertasi S3. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.

B.    Internet

http://www.averroes.or.id/thought/sejarah-gerakan-perempuan.html (diakes pada tanggal 2 Juni 2011).

http://www.ti.or.id/index.php/news/2011/04/21/resensi-buku-politik-harapan-perjalanan politik-perempuan-indonesia-pasca-reformasi (diakses pada tanggal 5 Juni 2011).

http://nursugiyanto.blogspot.com/2011/03/gerakan-perempuan-di-indonesia.html (diakses pada tanggal 5 Juni 2011)

https://initialdastroboy.wordpress.com/2011/03/27/sejarah-lahir-dan-berkembangnya-gerakan-perempuan-di-dunia/ (diakses pada tanggal 6 Juni 2011)