A. Perang Salib Ketiga (1187–1192)
Terjadi setelah Sholahuddin al Ayubi berhasil
mempersatukan kembali wilayah-wilayah Islam di Mesir dan Syria. Pada
1171 Sholahuddin berhasil menyingkirkan kekuasaan Fathimiyah di Mesir yang
merupakan separatisme dari Khilafah di Bagdad, dan mendirikan pemerintahan
Ayubiah yang loyal kepada Khalifah. Pada 1187 al-Ayyubi berhasil merebut
kembali Jerusalem.
Tahun 1187, Salahuddin al Ayyubi berhasil merebut kembali
Yerusalem. Pasukan islam, sebaliknya, tidak melakukan pembunuhan pada penduduk
dan tetap menjaga bangunan-bangunan di kota, demi mendapatkan pajak (jizyah).
Ketika Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi menguasai Yerusalem dan
setelah berhasil mengalahkan pasukan angkatan perang salib di Hittin,
Shalahuddin
menghentikan permusuhan dan menghentikan pembunuhan. Tidak dibenarkan
pasukan Shalahuddin untuk membunuh rakyat penduduk Yerusalem. Tidak ada
balas dendam atas tindakan pasukan salib yang pada tahun 1099 melakukan
pembantaian terhadap umat Islam di Yerusalem, ketika pasukan salib datang
menguasai Yerusalem.
menghentikan permusuhan dan menghentikan pembunuhan. Tidak dibenarkan
pasukan Shalahuddin untuk membunuh rakyat penduduk Yerusalem. Tidak ada
balas dendam atas tindakan pasukan salib yang pada tahun 1099 melakukan
pembantaian terhadap umat Islam di Yerusalem, ketika pasukan salib datang
menguasai Yerusalem.
Salahuddin
terkenal sebagai tokoh yang sangat bermoral dalam standar seorang penakluk.
Pasukan salib merespon kekalahan dengan brutal menaklukkan Cyprus dan mendarat
di pantai barat Israel.
Jatuhnya
Yerusalem menyebabkan perang Salib ketiga. Kaisar Jerman, Perancis, Inggris
bergerak mengepung Acre dan kembali melakukan pembantaian terhadap penduduk.
Setelah Yerusalem
jatuh, pihak Takhta Suci Katolik Roma mengirimkan lagi
pasukan salib dibawah pimpinan Fredrik Barbarossa, Philip II August dari
Prancis dan Richard I Si Hati Singa dari Inggris ke Palestina. Pada tahun
1191 daerah Acre dapat dikuasai oleh pasukan salib. Dan Richard I Si Hati
Singa dari Inggris dengan pasukannya bisa menguasai wilayah Caesarea och
Jaffa. Tetapi, wilayah Yerusalem tidak pernah dikuasainya kembali.
pasukan salib dibawah pimpinan Fredrik Barbarossa, Philip II August dari
Prancis dan Richard I Si Hati Singa dari Inggris ke Palestina. Pada tahun
1191 daerah Acre dapat dikuasai oleh pasukan salib. Dan Richard I Si Hati
Singa dari Inggris dengan pasukannya bisa menguasai wilayah Caesarea och
Jaffa. Tetapi, wilayah Yerusalem tidak pernah dikuasainya kembali.
Serangan salib ketiga ini dipimpin oleh tokoh-tokoh Eropa yang paling terkenal: Friedrich I Barbarosa dari Jerman, Richard I Lion heart dari Inggris dan Phillip II dari Perancis. Namun di antara mereka ini sendiri terjadi perselisihan dan persaingan yang tidak sehat, sehingga Friedrich mati tenggelam, Richard tertawan (akhirnya dibebaskan setelah memberi tebusan yang mahal), sedang Phillip bergegas kembali ke Perancis untuk merebut Inggris justru selama Richard tertawan.
Ketika
bergerak ke Ascalon, pasukan Salib berhasil dikalahkan Shalahuddin dan kedua
belah pihak melakukan perdamaian serta saling menjamin keamanan masing-masing.
Setelah itu dilakukan perjanjian antara
Shalahuddin Al-Ayyub dengan Richard
I, pada tahun 1192, seluruh wilayah Jaffa sampai Tyre diserahkan kepada kaum
Kristen.
I, pada tahun 1192, seluruh wilayah Jaffa sampai Tyre diserahkan kepada kaum
Kristen.
Mereka tidak berhasil merebut Yerusalem, namun
sebuah perjanjian antara Richard the Lion Heart dengan Salahuddin al Ayyubi
memperbolehkan orang kristen tanpa senjata untuk berziarah di Yerusalem.
B. Kronologis Perang Salib Ketiga
Dengan
adanya permintaan bantuan tentara Salib ke Eropa, Eropa mengirimkan tentara
Salibnya yang ke-III. Mula-mulanya datang raja Austria dan Jerman bernama
Frederik membawa sebanyak 200.000 orang. Kemudian pada tahun 1190 datang lagi
tentara Eropa dengan pimpinan Richard Si Hati Singa sehingga tentara Salibiyah
ini sangat kuat dan dapat merebut kota Okka (Acre). Peristiwa ini sangat
menyedihkan hati kaum muslimin. Apalagi setelah mendengar bahwa Richard ini
sangat kejam, membunuh sebanyak 3000 orang tawanan Islam.
Kelalaian
membiarkan musuh bertahan pada suatu pelabuhan yang letaknya sangat strategis,
yang keadaan alamnya sukar ditaklukkan yaitu pelabuhan Shour di sebelah barat.
Dengan demikian musuh dapat memperkuat diri secara diam-diam dan mengirimkan
seorang pendeta ke Eropa untuk meminta bantuan.
Kelalaian
inilah yang sangat disesalkan oleh Sultan Shalahuddin. Kenapa dia membiarkan
musuh memperkuat diri pada pelabuhan Shour ini yang memudahkan mereka
berhubungan dengan Eropa untuk meminta bantuan. Karena menyadari akan kelalaian
ini Sultan Shalahuddin secepat kilat mengirimkan utusan ke Maghribi untuk
meminta bantuan kepada Sulatan Ya’kub bin Yusuf bin Abdul Mu’min, raja terbesar
dari daulayah Muwahiddin yang menguasai daerah Maghribi (Maroko) dan Andalusia
Selatan. Dimintanya Sulatan Ya’kup ini untuk memotong dan menghalang-halangi
jalannya tentara Eropa yang hendak datang ke Timur untuk membantu tentara
Salib. Sayang Sang Sultan khawatir kalau nanti tentara Eropa ini berbalik
menghantam negeri mereka sehingga Sang Sultan tidak memenuhi permintaan
Shalahuddin dan tentara Salib dapat lewat dengan bebasnya di Selat Gibraltar.
Berulang
kali tentara Salib mencoba hendak merebut kembali kota Yerusalem yang sudah dua
abad ditangan mereka, tetapi semuanya gagal. Sebab itu mereka merencanakan
untuk mengalihkan penyerbuan menuju Mesir, pusat pemerintahan Shalahuddin, dan
meninggalkan kota-kota yang telah mereka kuasai: Kaisariya, Yaffa dan Asqalan,
terbuka tanpa perlindungan. Kesempatan ini dipergunakan oleh Shalahuddin untuk
memukul musuh dari belakang sehingga Shalahuddin dapat merebut kota Yaffa dan
merampas semua perbekalan tentara Salib yang ada disana. Tentara Salib kalang
kabut. Pada saat itu Richard jatuh sakit dan meminta damai kepada Sultan
Shalahuddin.
Secara diam-diam
Shalahuddin kemudian menjadi seorang dokter Arab dan datang ke kemah Richard
untuk mengobati. Shalahuddin merawat dan mengobati luka-lukanya sehingga
sembuh. Saat itulah Sultan Shalahuddin menunjukkan siapa dirinya. Menghadapi
kenyataan ini Richard mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya dan
mengakui dari lubuk hatinya yang paling dalam akan kebaikan hati serta
keberanian luar biasa Shalahuddin. Maka keduanya sepakat untuk mengadakan
perdamaian yang terjadi tahun 1192 M/588H. Setahun kemudian wafatlah Sultan Shalahuddin
dalam usia 75 tahun pada tahun 589 H/1193 M. Shalahuddin dikenang sebagai
pahlawan perang Salib sepanjang masa.
¬
Perang Salib Ketiga (1189–1192), juga dikenal sebagai Perang Salib Para Raja, adalah sebuah perang yang dikobarkan para pemimpin Eropa untuk mendapatkan kembali Tanah Suci dari tangan Shalahudin Al-Ayyubi dalam rangkaian Perang Salib.
Perang Salib Ketiga (1189–1192), juga dikenal sebagai Perang Salib Para Raja, adalah sebuah perang yang dikobarkan para pemimpin Eropa untuk mendapatkan kembali Tanah Suci dari tangan Shalahudin Al-Ayyubi dalam rangkaian Perang Salib.
Setelah Perang Salib Kedua,
dinasti
Zengid yang berhasil mengontrol Suriah terlibat lam konflik dengan Mesir
pimpinan dinasti Fatimiyah,
yang berakhir dengan bersatunya Mesir dan Suriah di bawah pimpinan Shalahudin Al-Ayyubi. Shalahudin Al-Ayyubi
kemudian menggunakan kekuatannya untuk menaklukan Yerusalem pada tahun 1187.
Serangan salib ketiga ini dipimpin oleh tokoh-tokoh Eropa yang paling terkenal:
Friedrich I Barbarosa
dari Jerman, Richard I Lionheart
dari Inggris dan Phillip II dari Perancis. Namun di antara mereka
ini sendiri terjadi perselisihan dan persaingan yang tidak sehat, sehingga
Friedrich mati tenggelam, Richard tertawan (akhirnya dibebaskan setelah memberi
tebusan yang mahal), sedang Phillip bergegas kembali ke Perancis untuk merebut
Inggris justru selama Richard tertawan.
Kegagalan dari Perang Salib Ketiga lalu mengarah pada panggilan untuk Perang Salib Keempat
enam tahun setelah Perang Salib Ketiga berakhir pada 1192.
C. Daulah
Ayyubiyah (567-649 H/1171-1248)
Pendiri
dinasti ini Shalahuddin lahir di Takriet 532 H/1137 M dan meninggal pada tahun
589 H/1193 M, dikenal oleh bangsa Eropa dengan nama ”Saladin” pahlawan perang
Salib dari keluarga Ayyubiyah suku Kurdi.
Daulah Fathimiyah waktu itu
telah lemah tidak sanggup menghadapi tentara Salib yang hendak menguasai Dunia
Islam. Rajanya Al Adhid I, inilah telah tua dan sakit, meminta bantuan kepada
Nuruddin Zanki raja Syam. Nuruddin mengutus Shalahuddin keponakannya membawa
angkatan bersenjata membantu Mesir. Dalam perjuangannya beliau berhasil
sehingga kemudian menjadi Sultan di Mesir sebagai pendiri dinasti Ayyubiyah.
Perjuangan Shalahuddin sampai
menjadi sultan dapat dibagi menjadi 3 periode:
- Periode pertama, periode berjuang di Mesir
Beliau muncul pertama kali sebagai
prajurit biasa di Mesir pada tahun 559 H/1164 M sewaktu umurnya 27 tahun.
Ketika itu Nuruddin Zanki, pamannya, mengirimkan angkatan bersenjata yang
terdiri dari suku Kurdi dan Turkuman di bawah pimpinan Shirkuh dibantu oleh
banyak staf komando, Shalahuddin salah satunya. Tentaranya diminta untuk
menyerang Tyre agar bisa mengalihkan serangan tentara Salib di Mesir.
Permintaan itu menyebabkan Nuruddin campur tangan dalam urusan Mesir dan
menjadi tahu bahwa Mesir telah lemah menghadapi tentara Salib dan memberi
kesempatan kepada Shalahuddin sebagai wakil Nuruddin untuk menguasai Mesir.
Shirkuh sesudah memimpin
angkatan selama 2 bulan, meninggal. Kematian Shirkuh digantikan oleh
Shalahuddin. Karena kepintarannya khalifah Al-Adhid mempercayakan jabatan menteri
kepadanya. Emudian Shalahuddin menghadapi kota Dimyat untuk merebut Mesir.
Shalahuddin menunjukkan keberaniannya menghalau musuh.
Datanglah saatnya Shalahuddin
tampil ke tempat yang paling atas sebagai penguasa Mesir. Ketika khalifah
Al-Adhid meninggal, Shalahuddin diangkat menjadi penguasa Mesir, tetapi beliau
tidak bersedia menjadi raja pelanjut daulayah Fathimiyah. Ia memproklamirkan
Mesir menyatu dengan pemerintahan Abbasiyah di Baghdad. Di sini namanya
menanjak sebagai pemersatu Dunia Islam yang tadinya terpecah menjadi Abbasiyah
yang sunni dan Fathimiyah yang beraliran Syi’ah.
Shalahuddin secara
berangsur-angsur memperkuat kedudukannya tanpa menimbulkan kecurigaan orang
Mesir dan Nuruddin Zanki di Syria. Beliau berusaha melemahkan pengikut khalifah
dan mencari kepercayaan rakyat yang kebanyakan pengikut aliran sunni.
Shalahuddin berusaha mendekati rakyat dan mengangkat orang-orang kepercayaannya
menduduki jabatan penting di Mesir. Setelah teguh kedudukannya dipanggillah
segala kaum keluarganya, Ayah, dan saudara-saudanya supaya hidup bersama di
Mesir. Sesudah kuat kedudukannya dihentikan khutbah jum’at memuji khalifah
Fathimiyah, dikembalikan memuji khalifah Bagdad.
Pada tahun
1174 Shalahuddin menguasai Mesir mendirikan dinasti Ayyubiyah. Ada tahun 1181 M
Malik al-Shaleh meninggal, maka Shalahuddin menguasai wilayah Mesir, Syam,
Mesopotamia dan Yaman. Dinasti
ini berkuasa selama 90 tahun, mempunyai sepuluh orang sultan:
1) Shalahuddin Yusuf (1174-1193 M)
2) Al Aziz bin Shalahuddin (1193-1198 M)
3) Manshur bin Al-Aziz (1198-1199 M)
4) Al-Adil I Ahmad bin Ayyub (1199-1218 M)
5) Al-Kamil I (1218-1238
M)
6) Al-Adil II (1238-1240
M)
7) Sholeh Najmuddin (1240-1249 M)
8) Muazzham Tauran bin Sholeh (1249-1249 M)
9) Syajarat al-Durr istri Malik Sholeh (1249-1249 M)
10) Asyraf bin Yusuf (1249-1250 M)
Dengan demikian Shalahuddin
mempunyai dua tugas uatama, sebagai seseorang negarawan yang berhasil
mendirikan dinasti Ayyubiyah dan seorang panglima perang alib yang berhasil
mengalahkan tentara Salib. Untuk tugas pertama beliau banyak mengadakan
pembangunan di seluruh negara, membangun administrasi negara, membangun
ekonomi, perdagangan, memajukan ilmu pengetahuan, membangun madrasah dan
sekolah, mengembangkan bidang keagamaan mazhab Ali sunnah. Untuk tugasnya yang
kedua membangun persatuan bangsa Arab di bawah ruangan Abbasiyah di Baghdad.
- Periode kedua, periode menghadapi Syria (1174-1186 M)
Karena kedudukannya yang teguh
di Mesir, banyaklah orang yang cemburu atas kenaikannya dan kebesarannya. Di
sampaikan kepada Nuruddin bahwa Shalahuddin hendak merampas Mesir dari
kekuasaannya. Maka disiapkan angkatan bersenjata hendak menyerang Mesir
menghajar Shalahuddin. Shalahuddin telah bersiap pula, padahal musuh-musuh
Islam sedang menyusun kekuatan untuk melanjutkan peperangan merampas negeri
Islam. Namun sebelum hal itu terjadi tiba-tiba mangkatlah Nuruddin Zanki raja
Syam di Damaskus pada tahun 569 H.
Karena putera raja masih kecil, maka Shalahuddin
memproklamirkan dirinya sebagai raja Mesir dan ”pelindung” raja Syam.
Shalahuddin menjadi penguasa Arab terpenting mempersatukan Mesir, Syria,
Mesopotamia, dan Yaman untuk melawan tentara Salib. Orang Kurdi dan Turkuman
bergabung dengan pasukan Shalahuddin yang sangat berpengaruh di wilayah Asia
Barat. Akhirnya dengan terang-terangan dinyatakan kekuasaannya yang penuh atas
Mesir dan Syam sesudah Shalahuddin berhasil memadamkan segala kekacauan yang
terjadi di Syria. Raja Al-Malik al Sholeh pengganti Nuruddin dapat dikalahkan.
DI tahun 572 H beliau kembali ke Mesir dan diangkatlah Thauran Syah menjadi
wali Syam. Dan kalau ia sedang di Syam maka wasirnya, Bahruddin, menjalankan
titahnya di Mesir.
Untuk mempertahankan diri melawan pengikut Fathimiyah di
Mesir dan melawan bahaya orang Salib di Syria dan Palestina, Shalahuddin
mendirikan benteng Kairo di atas bukit Muqattam yang paling barat. Tempat ini
menjadi pusat pemerintahan dan kubu Militer yang sanggup menangkis serangan-serangan
dari luar. Ini adalah rencana Shalahuddin untuk menghubungkan benteng ini
dengan perbentengan Kairo kuno zaman Fathimiyah dan memperluas benteng sehingga
memagari letak kota Fustat sepanjang sungai Nil. Namun demikian rencana ini
belum bisa diselesaikan dan benteng hanya dapat diselesaikan setelah Saladin
meninggal dunia.
Di bawah Baha’al-Din Quraqush,
penghubung benteng Cairo, jembatan-jembatan di Gizah, dan tembok besar
direalisasikan. Dengan perampasan terhadap Acre pada tahun 583 H/1187 M,
Saladin mengangkat Quraqush sebagai gubernurnya, di tahun berikutnya. Ketika
Franks menguasai kota ini lagi pada tahun 583 H/1191 M, Quraqush ditangkap
sebagai seorang tawanan, tetapi dia dibebaskan pada tahun berikutnya dengan
membayar uang tebusan yang besar. Dia kemudian menetap di Cairo sampai ia meninggal dunia tahun 597 H/1201 M
- Periode ketiga periode berjuang di Palestina (1186-1193 M)
Masa ini digunakan seluruhnya
untuk perang suci melawan tentara salib. Kebijaksanaan Shalahuddin adalah
membentuk persatuan negara Arab untuk mengusir orang Salib.
Peselisihan atau konflik
antara persatuan orang-orang Arab dengan orang-orang Salib diperbaharui lagi.
Ketika Reginald, menguasai benteng Karak yang dapat tahan serangan di pantai
Hijaz, mengepung kapal-kapal jamaah haji muslim dan bermaksud untuk
menghancurkan rumah suci di Mekkah, dia diburu armada Mesir dan pasukan
perangnya digulungkan. Perdamaian kemudian diputuskan antara kedua belah pihak.
Namun demikian, Regianld
mengingkari perjanjian perdamaian dengan menyerang kafilah-kafilah pedangan
yang lewat dekat kubu pertahanannya. Maka dari itu Saladin menyerang
orang-orang Salib dan menghancurkan mereka di Hittin dekat Tiberias tahun 1187.
Kemudian diikuti penundukkan atas Palestina. Acre (Akka), Nablus, Ramleh,
Caesaria, Jaffa, Ascolon dan Beirut jatuh ke tangan Saladin. Pada tanggal 2
Oktober pada tahun yang sama Yerusalem menyerah dengan panji-panji yang sangat
memuaskan.
Negeri Tripolis, kekuasaan
Antioch, seluruh kota-kota pesisir utara Tyre, dan daerah perbentengan termasuk
Safad dan Karak dikuasai. Tyre Belfort hanya satu-satunya benteng yang masih
tetap ada di tangan Franks. Tyre sendiri merupakan tempat berkumpul bagi Franks
yang mulai mengepung Acre (1189 M) dan mendapatkan bala bantuan dari perang
suci yang ketiga.
Kemenangan-kemenangan Saladin
menimbulkan kecemasan Paus, raja-raja dan pemimpin-pemimpin Eropa, dan masalah
perang suci ketiga (perang Salib) menjadi masalah mereka yang utama. Dengan memimpin
100.000 orang, Frederick Barborossa dari Jerman berjalan menuju Palestina
menembus Asia Minor, tetapi tenggelam dalam perjalanannya. Pasukan perangnya
bubar kecuali sedikit sisa-sisa yang sampai ke Syria. Pasukan-pasukan Salib
Acre dibantu oleh pasukan-pasukan Philip II, Raja Perancis dan Richard dari
Inggris yang merampas pulau Cyprus dalam perjalanannya.
Perang Salib ketiga, namun
demikian, adalah merupakan suatu kegagalan di sebabkan dengan adanya
perselisihan faham yang timbul antara pemimpin-pemimpin orang Salib ini. Philip
II kembali ke Perancis, meninggalkan Richard untuk melanjutkan peperangan
melawan umat Islam. Keberanian dan semangat ksatria yang Richard perlihatkan
menimbulkan perasaan kagum musuh-musuhnya, yang memberi gelar ”The Lion Heart”.
Perang suci ini berkesudahan
dengan perjanjian perdamaian di Ramleh pada tahun 1192. Diantaranya syarat-syarat
penting perjanjian perdamaian itu ialah:
a. Yerusalem tetap berada di tangan umat
Islam, dan umat Kristen diijinkan untuk menjalankan ibadah haji di tanah suci.
b. Orang-orang Salib akan mempertahankan
pantai Syria dari Tyre sampai Jaffa.
c. Umat Islam akan mengembalikan harta
rampasan (relics) Kristen kepada umat Kristen.
Sebelum perang yang sangat
menentukan di Hittin pada tahun 1187, tidak ada satu incipun dari Palestina
sebelah barat Yordan adalah ada di tangan umat Islam. Setelah perjanjian
perdamaian di Ramleh pada tahun 1912, seluruh daerah merupakan wilayah kekuasan
umat Islam, kecuali jalur sempit pantai dari Tyre sampai Jaffa.
Saladin adalah seorang yang
sangat sopan, simpatik asketik, sholeh dan rajin. Dia juga merupakan contoh
ksatria Arab terbaik.
Saladin merupakan pemimpin
bangsa Arab yang tidak tertandingi negara-negara yang terbentang dari pegunungan
Kurdistan sampai ke padang pasir Libyan. Raja Georgia an Armenia dan Sultan
Koniya dan bahkan kaisar Konstantinopel menuntut penggabungan.
D. Sholahuddin al Ayyubi (Pahlawan Perang Salib)
Siapapun
akan takjub melihat indah dan megahnya benteng sholahuddin, benteng yang
terletak di puncak tertinggi kota Kairo ( jabal muqottom ). Dari benteng ini,
kota Kairo terlihat jelas. Dan karena alasan tersebut, pada tahun 1183 M
seorang pahlawan perang salib, Sholahuddin al-Ayyuby, membangun benteng sebagai
tempat pertahanaan terakhir dan pengawasan bagi kota Kairo, Fustat dan
sekitarnya. Di utara benteng terdapat masjid Muhammad Ali Pasha yang dibangun
dengan arsitektur Turki Utsmaniy disertai kubahnya yang indah menjulang 52
meter ke angkasa dan dua puncak menara dengan ketinggian lebih dari 84 meter .
Mesjid ini terbuat dari marmer murni dengan dihiasi lampu-lampu kristal yang
sangat besar dan banyak, sehingga menampilkan kesan eksotik dan mewah. Terdapat
juga di dalamnya masjid Qolawun, sumur Yusuf dan dua buah musium; Museum
Permata (Qashrul Jawharah) terdiri dari perhiasan raja - raja Mesir seperti
singgasana Raja Farouk dan Museum Polisi (Mathaf as-Syuthah).
Pada tahun 1095
telah terjadi Perang salib; perang untuk merebut kota Jerussalem dari tangan
orang Islam. Selain itu, juga merupakan permohonan kaisar Bizaintium terhadap
kekaisaran Romawi untuk mempertahankan negrinya dari serangan Islam Saljuk.
Dimotivasi oleh Paus Urbanus II yang mengumumkan ampunan dosa bagi setiap orang
yang bersedia dengan suka rela mengikuti perang suci itu. Maka keluarlah
ribuan umat Kristian dalam rangka meramaikan perang. Mereka yang ingin
mengikuti perang ini diperintahkan agar meletakkan tanda salib di badannya; sehingga
perang ini disebut Perang Salib.
Pada akhirnya kaum Salib dapat mengepung
Baitul Maqdis yang dipimpin oleh anak-anak Raja Godfrey dari Lorraine Perancis,
Bohemund dari Normandy dan Raymond dari Toulouse. Akan tetapi, penduduk kota
suci itu tidak mau menyerah kalah begitu saja. Mereka berjuang mempertahankan
kota Suci itu selama satu bulan. Pada 15 Juli 1099, Baitul Maqdis jatuh ke
tangan pasukan salib dan tercapailah cita-cita mereka. Jerussalem tidak punya
tempat lagi bagi orang-orang yang kalah. Beberapa orang mencoba mengelak dari
kematian dengan cara mengendap-ngendap ke benteng, sedangkan yang lain
berkerumun di berbagai menara untuk mencari perlindungan, terutama di
masjid-masjid. Namun, mereka tetap tidak dapat menyembunyikan diri dari
pengejaran orang-orang Kristian itu. Umat Islam dipaksa terjun dari
puncak-puncak menara dan atap-atap rumah, mereka dibakar hidup -hidup,
dari tempat persembunyian bawah tanah diseret ke hadapan umum dan digantung
secara masal.
Jatuhnya kota suci Baitul Maqdis ke tangan
kaum Salib sangat mengejutkan para pemimpin Islam. Mereka tidak menyangka kota
suci yang telah dikuasainya selama lebih 500 tahun itu dapat dengan mudah
direbut. Para penguasa negara Islam bersedia bergabung untuk merampas balik
kota suci tersebut. Di antara pemimpin yang paling gigih berusaha menghalau
tentera Salib ialah Imamuddin Zanki dan dilanjutkan oleh anaknya Nuruddin Zanki
dengan dibantu panglima Asasuddin Syirkuh.
Setelah hampir empat puluh tahun tentara Salib
menduduki Baitul Maqdis, Shalahuddin Al-Ayyubi lahir ke dunia. Keluarga
Shalahuddin taat beragama dan berjiwa pahlawan. Ayahnya, Najmuddin Ayyub adalah
seorang terkemuka dan beliau pulalah yang mentarbiyah Shalahuddin sejak kecil.
Sholahuddin Yusuf bin Najmuddin Ayyub dilahirkan di Irak pada tahun 532 Hijrah
/1138 M dan wafat pada tahun 589 H/1193 M di Damsyik. Sholahuddin terlahir dari
keluarga Kurdish di kota Tikrit (140 km barat laut kota Baghdad) dekat sungai
Tigris, pada tahun 1137M. Masa kecilnya selama sepuluh tahun- dihabiskan untuk
belajar di Damaskus, di lingkungan dinasti Zangid yang memerintah Syria waktu
itu, yaitu Nuruddin Zanki.
Selain belajar keislaman, Sholahuddin mendapat
pelajaran kemiliteran dari pamannya Asadudin Shirkuh, seorang panglima perang
Turki Seljuk. Bersama dengan pamannya, Sholahuddin menguasai Mesir dan
mendeposisikan sultan terakhir dari kekhalifahan Fatimiyyah.
Pada tahun
549 H/1154 M, panglima Asasuddin Syirkuh memimpin tenteranya merebut dan
menguasai Damsyik. Shalahuddin yang waktu itu baru berusia 16 tahun turut serta
sebagai pejuang. Pada tahun 558 H/1163 M, panglima Asasuddin membawa
Shalahuddin Al-Ayyubi yang berusia 25 tahun untuk menundukkan Daulah Fatimiyyah
yang beraliran Syiah di Mesir. Dan pasukannya waktu itu terdiri dari Mamluk
(hamba atau pelayan kerajaan. Dari sinilah usaha dia berhasil mendirikan kerajaan Mamluki.
Khalifah Daulat Fatimiyah terakhir, Adhid
Lidinillah dipaksa oleh Asasuddin Syirkuh untuk menandatangani perjanjian. Akan
tetapi, wazir besar Shawar merasa cemburu melihat Syirkuh semakin
populer di kalangan istana dan rakyat. Diam-diam Shawar pergi ke Baitul Maqdis
dan meminta bantuan dari pasukan Salib untuk menghalau Syirkuh dari
kekuasaannya di Mesir. Pasukan Salib yang dipimpin oleh King Almeric menyambut
baik permintaan itu. Maka terjadilah pertempuran pasukan Asasuddin dengan King
Almeric yang berakhir dengan kekalahan Asasuddin. Perjanjian damai pun dibuat antara tentara Salib
dan panglima Asasuddin dan Shalahuddin. Keduanya diperbolehkan kembali ke
Damsyik.
Kerjasama seorang wazir besar Shawar
dengan orang -orang Salib itu telah menimbulkan kemarahan Nuruddin Zanki dan
para pemimpin Islam lainnya termasuk Baghdad. Mereka pun mempersiapkan tentera
besar yang dipimpin oleh panglima Syirkuh dan Shalahuddin Al-Ayyubi untuk
menghukum si pengkhianat Shawar. Perang pun terjadi dengan mengalahkan pasukan
King Almeric dan mengusit mereka dari Mesir.
Panglima Shirkuh dan Shalahuddin kembali ke ibu
kota Kairo disambut dengan perlawanan dari pasukan Shawar. Akan tetapi, pasukan
ini tidak bertahan lama, Shawar pun melarikan diri dan bersembunyi. Khalifah
Al-Adhid Lidinillah terpaksa menerima dan menyambut kedatangan panglima Syirkuh
untuk kedua kalinya.
Suatu hari, panglima Shalahuddin Al-Ayyubi berziarah ke kuburan seorang wali Allah di Mesir dan ternyata wazir besar Shawar bersembunyi di situ. Shalahuddin segera menangkap Shawar, membawanya ke istana dan dihukum mati.
Suatu hari, panglima Shalahuddin Al-Ayyubi berziarah ke kuburan seorang wali Allah di Mesir dan ternyata wazir besar Shawar bersembunyi di situ. Shalahuddin segera menangkap Shawar, membawanya ke istana dan dihukum mati.
Khalifah Al-Adhid melantik panglima Asasuddin
Syirkuh menjadi Wazir Besar menggantikan Shawar. Beliau tidak
lama memegang jabatan, dikarenakan wafat pada tahun 565 H/1169 M. Kemudian
Khalifah Al-Adhid melantik panglima Shalahuddin Al-Ayyubi menjadi Wazir
Besar menggantikan Syirkuh, atas persetujuan pembesar Kurdi dan Turki. Walaupun
berada di bawah Khalifah Daulat Fatimiyyaah, Shalahuddin tetap melantik
Nuruddin Zanki sebagai pemimpinnya. Nuruddin Zanki berulang kali mendesak
Shahalahuddin agar menangkap Khalifah Al-Adhid dan merebut kekuasaannya.
Kemudian diserahkan kembali pada Daulah Abbasiah di Baghdad. Baru pada tahun
567 H/1171 M, Shalahuddin mengumumkan runtuhnya Daulah Fatimiyyah dengan
menyerahkan kuasa sepenuhnya kepada Daulah Abbasiah. Ketika peralihan kekuasaan
itu dibuat, Khalifah Al-Adhid sakit keras sehingga dia tidak mengetahui
peristiwa besar yang sedang menimpa negerinya. Sehari setelah pengumuman itu,
Khalifah Al-Adhid wafat dan dikebumikan sebagaimana Khalifah.
Dengan demikian berakhirlah kekuasaan
Daulat Fatimiyyah yang dikuasai oleh kaum Syi’ah selama 270 tahun. Kondisi ini
telah lama ditunggu-tunggu oleh golongan Ahlus sunnah di seluruh negara Islam,
terlebih lagi Mesir.Mereka sangat berterima kasih kepada Panglima Shalahuddin
Al-Ayyubi yang dengan bijaksana melakukan hal itu secara aman dan
damai.Bertepatan dengan peristiwa ini, Panglima Besar Shalahuddin Al-Ayyubi
meresmikan masjid Al-Azhar yang selama ini dikenal sebagai pusat
pengajian Syiah, menjadi pusat pengajian Ahlus sunnah Wal Jamaah.
Tatkala Damsyik mendapat serangan kaum
Salib, Shalahudin menggerakkan pasukannya ke Syiria untuk mempertahankan kota
tersebut. Kemudian Shalahuddin menyatukan Syiria dengan Mesir sekaligus membuat
Dinasti Al-Ayyubiyah dengan beliau sebagai Amir pertama.
Tidak lama kemudian, Sultan Shalahuddin dapat
menggabungkan Negeri-Negeri An-Nubah, Sudan, Yaman dan Hijaz kedalam kekuasaannya
yang besar. Negara di Afirka yang telah diduduki oleh terntara Salib dari
Normandy juga telah dapat direbut dalam waktu singkat. Dengan ini, kekuasaan
Shalahuddin menjadi besar dan kekuatan tentaranya juga sudah mencukupi untuk
mengusir tentera Kristian yang menduduki Baitul Maqdis selama berpuluh tahun.
Sifatnya yang lemah lembut, zuhud, wara dan
sederhana membuat rakyat sangat mencintainya. Demikian juga para ulama yang
senantiasa mendoakan agar cita-cita sucinya untuk merampas kembali Tanah Suci
berhasil dengan baik.
Setelah merasa kuat, Sultan Shalahuddin menumpukan
perhatiannya untuk meghancurkan tentara Salib yang menduduki Baitul Maqdis dan
merebut kota Suci itu kembali. Cara pertama yang digunakan adalah mengajak
mereka berdamai. Kaum Salib menyangka bahawa Shalahuddin telah menyerah kalah.
Mereka menerima perdamaian tersebut dengan sombong. Shalahuddin hampir
tertawan. Akhirnya, beliau kembali ke markas dan menyusun kekuatan yang lebih
besar.
Suatu kejadian yang mengejutkan Shalahuddin setelah
perjanjian damai disepakati, yaitu tindakan sudah mengira bahwa orang-orang
Kristian itu akan mengkhianati perjanjiannya. Untuk ini, beliau telah
mempersiapkan pasukannya.
Ternyata perkiraan Shalahuddin tidak salah, baru
saja perjanjian itu disepakati, kaum Salib telah membuat pelanggaran. Sultan
Shalahuddin segera bergerak melancarkan serangan, tapi kali ini beliau mendapat
kegagalan dan seorang panglima Salib, Count Rainald de Chatillon, bergerak
bersama pasukannya untuk menyerang kota Makkah dan Madinah. Akan tetapi pasukan
ini mendapat perlawanan mujahid Islam di Laut Merah, sehingga pasukan
Count Rainald berusaha mundur dan kembali ke Jerussalem. Dalam perjalanan
pulang, mereka berjumpa dengan kafilah yang mengiringi saudari
shalahuddin. Tanpa berfikir panjang, Count dan pasukannya menyerang kafilah
tersebut dan menawan mereka termasuk saudari Shalahuddin. Dengan angkuh Count
berkata: “Apakah Muhammad, Nabi mereka itu mampu datang untuk menyelamatkan
mereka?”.
Seorang anggota kafilah yang dapat meloloskan diri
melaporkan hal tersebut kepada Shalahuddin.. Sultan sangat marah terhadap
gencatan senjata itu, iapun mengirim utusan ke Jerussalem agar semua tawanan
dibebaskan. Akan tetapi, mereka tidak memberikan jawaban. Akhirnya, Sultan
keluar membawa pasukan untuk menghukum kaum Salib yang sering mengkhianati
janji itu. Terjadilah
pertempuran sangat besar di gunung Hittin, perang inipun dikenal dengan Perang
Hittin.
Dalam pertempuran ini Shalahuddin menang besar.
Pasukan musuh yang berjumlah 45,000 orang hancur binasa dan hanya tersisa
beberapa ribu saja yang -sebagian besar- menjadi tawanan, termasuk Count
Rainald de Chatillon. Mereka dibawa ke Damaskus. Count Rainald yang telah
menawan saudari perempuan Sultan dan menghina Nabi Muhammad itu digiring ke hadapan
Sultan, lantas berkata: “Nah, bagaimana jadinya, telah terbukti bagi engkau
sekarang! Apakah saya tidak cukup menjadi pengganti Nabi Besar
Muhammad untuk melakukan pembalasan terhadap berbagai penghinaanmu itu?”.
Shalahuddin mengajak Count masuk
Islam, tapi dia tidak mu. Maka dia pun dihukum mati karean telah menghina
Nabi Muhammad. Setelah melalui banyak peperangan dan menaklukkan berbagai
benteng dan kota, sampailah Sultan Shalahuddin pada tujuan utamanya yaitu
merebut kembali Baitul Maqdis. Kini beliau mengepung Jerussalem selama empat
puluh hari, membuat penduduk di kota itu tidak dapat berbuat apa-apa dan
mengalami kekurangan bahan pokok dan makanan. Waktu itu Jerussalem dipenuhi
dengan orang-orang pelarian perang Hittin. Tentera pertahanannya sendiri tidak
kurang dari 60,000 orang.
Pada mulanya Sultan menyerukan agar kota Suci itu
diserahkan secara damai. Beliau tidak inginseperti yang dilakukan oleh Godfrey
dan orang-orangnya pada tahun 1099 yang melakukan membalas dendam. Akan tetapi,
pihak Kristian menolak tawaran baik tersebut, bahkan mereka mengangkat Komandan
Perang untuk mempertahankan kota itu. Karena mereka menolak seruan, Sultan
Shalahuddin bersumpah akan membunuh semua orang Kristian di kota itu demi
membalas dendam atas peristiwa 90 tahun yang lalu. Mulailah pasukan kaum
Muslimin melancarkan serangan ke kota dengan anak panah dan manjanik.
Kaum Salib membalas serangan dari dalam benteng.
Setelah empat belas hari melakukan serangan, kekuatan kaum Salib melemah
sehingga beberapa pemimpin Kristian menemui Sultan Shalahuddin dan menyatakan
keinginannya untuk menyerahkan kota Suci secara aman serta melindungi nyawa
mereka. Akan tetapi, Sultan menolak dengan berkata: “Aku tidak akan menaklukkan
kota ini kecuali dengan kekerasan sebagaimana kamu dahulu menaklukinya dengan
kekerasan. Aku tidak akan membiarkan seorang Kristian pun melainkan terbunuh
sebagaimana engkau membunuh semua kaum Muslimin di kota ini dulu". Pemimpin
Jerussalem datang menghadap Sultan dengan merendahkan diri dan minta
dikasihani. Membujuk sekaligus merayu dengan segala cara, akan tetapi Sultan
tidak merespon mereka.
Akhirnya ketua Kristian berkata: “Jika engkau
tidak mau berdamai, kami akan membunuh semua tahanan (terdiri dari kaum
Muslimin sebanyak 4000 orang) yang ada pada kami. Kami juga akan membunuh anak cucu kami dan
perempuan-perempuan kami. Setelah itu kami akan binasakan rumah-rumah dan
bangunan-bangunan yang indah, semua harta dan perhiasan yang ada pada kami akan
kami bakar. Kami juga akan memusnahkan Kubah Shahra’, kami akan hancurkan semua
yang ada sehingga tidak ada satupun yang bisa dimanfaatkan lagi. Setelah
itu, kami akan keluar untuk berperang mati-matian. Jika hal itu terjadi,
kebaikan apalagi yang engkau bisa harapkan?”.
Setelah mendengar kata-kata itu, Sultan
Shalahuddin menjadi lembut dan bersedia untuk memberikan keamanan bagi mereka.
Maka berlangsunglah penyerahan kota secara aman dengan syarat setiap penduduk
harus membayar uang tebusan. Laki-laki membayar sepuluh dinar, perempuan lima dinar dan anak-anak dua
dinar. Barangsiapa yang tidak mampu membayar tebusan akan menjadi tawanan kaum
Muslimin dan menjadi hamba sahaya. Semua rumah, senjata dan alat-alat peperangan lainnya menjadi milik kaum
Muslimin. Mereka diperbolehkan pergi ke tempat manapun. Mereka diberi tempo
selama empat puluh hari untuk memenuhi syarat tersebut. Bagi yang tidak sanggup
memenuhinya sampai batas waktu yang ditentukan, maka ia akan menjadi tawanan.
Ternyata, ada 16,000 orang Kristian yang tidak sanggup membayar uang
tebusan dan kesemuanya ditahan sebagai hamba sahaya.
Pada hari Jumaat 27 Rajab 583 Hijrah, Sultan
Shalahuddin bersama kaum Muslimin memasuki Baitul Maqdis dengan melantunkan
“Allahu Akbar” dan bersyukur kehadirat Allah SWT. Air mata kegembiraan menetes
di pipi kaum Muslimin. Para ulama berdatangan dan mengucapkan selamat terhadap
Sultan Shalahuddin atas keberhasilan yang dicapai.
Jatuhnya Jerussalem ke tangan kaum
Muslimin membuat Eropa marah. Mereka melancarkan sumbangan yang disebut
“Saladin tithe”, yaitu derma wajib untuk melawan Shalahuddin yang hasilnya
digunakan untuk membiayai perang Salib. Dengan angkatan perang yang besar,
beberapa raja Eropa berangkat untuk merebut kembali kota Suci itu. Maka
terjadilah perang Salib ketiga yang sangat sengit. Namun, Shalahuddin masih
dapat mempertahankan Jerussalem. Setahun setelah perang Salib ke-tiga, Sultan
Shalahuddin pulang kerahmatullah.
Sultan Shalahuddin adalah seorang pahlawan
yang menghabiskan waktunya dengan bekerja keras siang dan malam untuk Islam.
Hidup nya sangat sederhana. History of the World menyebutkan sifat-sifat
Shalahuddin sebagai berikut: “Keberanian dan keberhasilan Sultan Shalahuddin
itu terjelma seluruhnya pada perkembangan keperibadian yang luar biasa. Sudah
menjadi kebiasaan bagi Sultan Shalahuddin membacakan Kitab Suci Al-Quran kepada
pasukannya menjelang pertempuran berlangsung. Minumannya tidak lain hanya air
putih, memakai pakaian yang terbuat dari bulu yang kasar, dan mengizinkan
dirinya dipanggil ke pengadilan. Beliau juga mengajarkan anak-anaknya sendiri
tentang agama Islam…….”. Seluruh kaum Muslimin yang menyaksikan kepergiannya
menitiskan air mata. Kekuasaannya yang terbentang luas dari Asia hingga Afrika
itu hanya meninggalkan warisan, 1 dinar dan 36 dirham. Tidak meninggalkan emas,
tanah bahkan kebun.
DAFTAR
PUSTAKA
Sunanto, Musyrifah. 2003. Sejarah Islam Klasik Perkembangan
Ilmu Pengetahuan Islam. Jakarta: Prenada Media.
Ibrahim Hassan, Hassan. 1989. Sejarah Dan
Kebudayaan Islam. Yogyakarta: Kota Kembang.
www.
Wikipedia.com/perangsalib3. (diakses 27 Mei 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar