Selamat Datang di Blog Ninosnina ^_^

Bintang-ku

Sabtu, 24 Desember 2011

Bersatunya Pemuda Pemudi Indonesia Dalam Sumpah Pemuda


Latar Belakang
Budi Utomo, yang didirikan pada tanggal 20 Mei 1908, pada mulanya adalah gerakan pemuda, tetapi setelah kongresnya yang pertama tanggal 5 Oktober 1908. Organisasi ini berubah menjadi gerakan orang-orang tua. Sebagian besar pemimpinnya adalah golongan bangsawan yang sudah berumur. Oleh karena itu, banyak pemuda yang merasa tidak puas terhadap organisasi ini.
      Organisasi pemuda yang lain adalah Tri Koro Darmo, yang berdiri pada tanggal 7 Maret 1915 di Jakarta, di bawah pimpinan R. Satiman Wiryosanjoyo, Kadarman, dan Sunardi. Anggota Tri Koro Darmo berasal dari anak-anak sekolah menengah Jawa dan Madura yang menuntut ilmu di Jakarta. Inilah gerakan pemuda pertama yang sesungguhnya. Tri Koro Darmo yang berarti tiga tujuan mulia (sakti, budi, dan bakti) berusaha memperkokoh persatuan antara pemuda Jawa, Sunda, Madura, Bali, dan Lombok untuk mencapai Jawa Raya.
Asas perkumpulan ini:
1.      Pertalian antara murid-murid bumiputra di sekolah-sekolah menengah, sekolah kejuruan, dan sekolah vak
2.      Menambah pengetahuan anggota-anggotanya
3.      Memperdalam rasa cinta akan bahasa dan budaya Indoesia
Karena pemuda-pemuda Sunda dan Madura merasa tidak puas, maka untuk menghindari perpecahan.Tri koro Darmo berubah menjadi Jong Java pada tahun 1918. Organisasi ini terbuka bagi seluruh pemuda Jawa serta berjanji untuk tidak terjun sama sekali ke bidang politik. Akan tetapi perkembangan politik akhirnya menyeret Jong Java ke kancah poitik. Namun, sebagian tetap menolak gagasan ini. Perpecahan terjadi tahun 1924 karena ada golongan yang ingin membawa organisasi inike bidang politik denpagan agama Islam sebagai dasar perjuangan dan politik. Usul yang didukung H. Agus Salim ini tetap ditolak sehingga orang-orang yang ingin berpolitik akhirnya mendirikan Jong Islamieten Bond. Untuk menggalang persatuan dengan organisasi Islam lainnya, dibentuklah Pemuda Muslimin Indonesia.

Di daerah-daerah berkembang juga organisasi pemuda yang bersifat kedaerahan antara lain:
©      Jong Sumatranen Bond (1917) dipelopori oleh Mohammad Hatta dan Muhammad Yamin
©      Jong Batak dipimpin oleh Amir Syarifuddin
©      Jong Ambon dipimpin oleh J. Leimena
©      Jong Celebes dipimpin oleh Arnold Manuhutu
©      Jong Borneo
©      Jong Minahasa
©      Timoress Verbond
©      Selain itu, di Jakarta dibentuk PPPI (Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia) pada tahun 1918 dengan tokohnya antara lain Wongsonegoro.
©      Di Bandung juga berdiri Jong Indonesia yang kemudian berubah menjadi Pemuda Indonesia. Pemuda Indonesia dimotori oleh Mr. Sartono, Ir. Soekarno, Ir. Anwari, dan Mr. Sunarto.
Organisasi-organisasi yang bersifat kedaerahan ini perlu dipersatukan. Oleh karena itu, diadakanlah Kongres Pemuda I yang berlangsung tanggal 30 April-2 Mei 1926 di Jakarta yang dipimpin oleh Tabrani. Kongres ini bertujuan menanamkan semangat kerjasama antar perkumpulan pemuda. Mereka berusaha memutuskan untuk mengembangkan persatuan pemud-pemuda Indonesia sebagai bangsa Indonesia untuk mengatasi kesenjangan antargolongan, agama, bahasa. Tetapi usaha ini gagal karena rasa kedaerahan masih lebh kuat.
Sedangkan Kongres Pemuda II tanggal 27-28 Oktober 1928 di Jakarta berhasil mencetuskan Sumpah Pemuda. Kongres ini diprakarsai oleh Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia untuk mencoba kembali mempersatukan segala perkumpulan pemuda. Sumpah Pemuda berisikan tiga sendi persatuan, yaitu persatuan tanah air, bangsa, dan bahasa. Kongres itu juga menyerukan agar Sumpah Pemuda dijadikan sebagai asas wajib organisasi kebangsaan Indonesia. Saat itu juga diperdengarkan lagu Indonesia Raya gubahan Wage Rudolf Supratman sebagai lagu kebangsaan Indonesia. Kemudian, berdasarkan kongres yang di adakan di solo pada tahun 1930, terbentuklah fusi organisasi pemuda ini menjadi Indonesia Muda yang bertujuan untuk mewujudkan Indonesia Raya. 
 
A.   Sejarah Sumpah Pemuda


Pada pertengahan 1923, serombongan mahasiswa yang bergabung dalam Indonesische Vereeninging (nantinya berubah menjadi Perhimpunan Indonesia) kembali ke tanah air. Kecewa dengan perkembangan kekuatan-kekuatan perjuangan di Indonesia, dan melihat situasi politik yang di hadapi, mereka membentuk kelompok studi yang dikenal amat berpengaruh, karena keaktifannya dalam diskursus kebangsaan saat itu. Pertama, adalah Kelompok Studi Indonesia (Indonesische Studie-club) yang dibentuk di Surabaya pada tanggal 29 Oktober 1924 oleh Soetomo. Kedua, Kelompok Studi Umum (Algemeene Studie-club) direalisasikan oleh para nasionalis dan mahasiswa Sekolah Tinggi Teknik di Bandung yang dimotori oleh Soekarno pada tanggal 11 Juli 1925.
Suatu gejala yang tampak pada gerakan mahasiswa dalam pergolakan politik di masa kolonial hingga menjelang era kemerdekaan adalah maraknya pertumbuhan kelompok-kelompok studi sebagai wadah artikulatif di kalangan pelajar dan mahasiswa. Diinspirasi oleh pembentukan Kelompok Studi Surabaya dan Bandung, menyusul kemudian Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI), prototipe organisasi yang menghimpun seluruh elemen gerakan mahasiswa yang bersifat kebangsaan tahun 1926, kelompok Studi St. Bellarmius yang menjadi wadah mahasiswa Katolik, Cristelijke Studenten Vereninging (CSV) bagi mahasiswa Kristen, dan Studenten Islam Studie-club (SIS) bagi mahasiswa Islam pada tahun 1930-an.
Lahirnya pilihan pengorganisasian diri melalui kelompok-kelompok studi tersebut, dipengaruhi kondisi tertentu dengan beberapa pertimbangan rasional yang melatari suasana politis saat itu. Pertama, banyak pemuda yang merasa tidak dapat menyesuaikan diri, bahkan tidak sepaham dan kecewa dengan organisasi-organisasi politik yang ada. Sebagian besar pemuda saat itu, misalnya menolak ideologi Komunis (PKI) maka mereka mencoba bergabung dengan kekuatan organisasi lain seperti Sarekat Islam (SI) dan Boedi Oetomo. Namun, karena kecewa tidak dapat melakukan perubahan dari dalam dan melalui program kelompok-kelompok pergerakan dan organisasi politik tersebut, maka mereka kemudian melakukan pencarian model gerakan baru yang lebih representatif.
Kedua, kelompok studi dianggap sebagai media alternatif yang paling memungkinkan bagi kaum terpelajar dan mahasiswa untuk mengkonsolidasikan potensi kekuatan mereka secara lebih bebas pada masa itu, dimana kekuasaan kolonialisme sudah mulai represif terhadap pembentukan organisasi-organisasi massa maupun politik.
Ketiga, karena melalui kelompok studi pergaulan di antara para mahasiswa tidak dibatasi sekat-sekat kedaerahan, kesukuan, dan keagamaan yang mungkin memperlemah perjuangan mahasiswa. Ketika itu, disamping organisasi politik memang terdapat beberapa wadah perjuangan pemuda yang bersifat keagamaan, kedaerahan, dan kesukuan yang tumbuh subur, seperti Jong Java, Jong Sumateranen Bond, Jong Celebes, dan lain-lain.
Dari kebangkitan kaum terpelajar, mahasiswa, intelektual, dan aktivis pemuda itulah, munculnya generasi baru pemuda Indonesia: generasi 1928. Maka, tantangan zaman yang dihadapi oleh generasi ini adalah menggalang kesatuan pemuda, yang secara tegas dijawab dengan tercetusnya Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Sumpah Pemuda dicetuskan melalui Konggres Pemuda II yang berlangsung di Jakarta pada 26-28 Oktober1928, dimotori oleh PPPI.
Gagasan penyelenggaraan Kongres Pemuda Kedua berasal dari Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI), sebuah organisasi pemuda yang beranggota pelajar dari seluruh indonesia. Atas inisiatif PPPI, kongres dilaksanakan di tiga gedung yang berbeda dan dibagi dalam tiga kali rapat. Rapat pertama, Sabtu, 27 Oktober 1928, di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond (KJB), Lapangan Banteng. Dalam sambutannya, Soegondo berharap kongres ini dapat memperkuat semangat persatuan dalam sanubari para pemuda. Acara dilanjutkan dengan uraian Moehammad Jamin tentang arti dan hubungan persatuan dengan pemuda. Menurutnya, ada lima faktor yang bisa memperkuat persatuan Indonesia yaitu sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan, dan kemauan.
Rapat kedua, Minggu, 28 Oktober 1928, di Gedung Oost-Java Bioscoop, membahas masalah pendidikan. Kedua pembicara, Poernomowoelan dan Sarmidi Mangoensarkoro, sependapat bahwa anak harus mendapat pendidikan kebangsaan, harus pula ada keseimbangan antara pendidikan di sekolah dan di rumah. Anak juga harus dididik secara demokratis.
Pada sesi berikutnya, Soenario menjelaskan pentingnya nasionalisme dan demokrasi selain gerakan kepanduan. Sedangkan Ramelan mengemukakan, gerakan kepanduan tidak bisa dipisahkan dari pergerakan nasional. Gerakan kepanduan sejak dini mendidik anak-anak disiplin dan mandiri, hal-hal yang dibutuhkan dalam perjuangan.
Sebelum kongres ditutup diperdengarkan lagu “Indonesia” karya Wage Rudolf Supratman. Lagu tersebut disambut dengan sangat meriah oleh peserta kongres. Kongres ditutup dengan mengumumkan rumusan hasil kongres. Oleh para pemuda yang hadir, rumusan itu diucapkan sebagai Sumpah Setia, berbunyi :
SOEMPAH PEMOEDA

Pertama :
- KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH AIR INDONESIA

Kedua :
- KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA, MENGAKOE BERBANGSA JANG SATOE, BANGSA INDONESIA

Ketiga :
- KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGJOENJOENG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA

Djakarta, 28 Oktober 1928



Panitia Kongres Pemoeda terdiri dari :
Ketua              : Soegondo Djojopoespito (PPPI)
Wakil Ketua    : R.M. Djoko Marsaid (Jong Java)
Sekretaris        : Mohammad Jamin (Jong Sumateranen Bond)
Bendahara       : Amir Sjarifuddin (Jong Bataks Bond)
Pembantu I      : Djohan Mohammad Tjai (Jong Islamieten Bond)
Pembantu II    : R. Katja Soengkana (Pemoeda Indonesia)
Pembantu III   : Senduk (Jong Celebes)
Pembantu IV   : Johanes Leimena (yong Ambon)
Pembantu V    : Rochjani Soe'oed (Pemoeda Kaoem Betawi)

Peserta :
1. Abdul Muthalib Sangadji
2. Purnama Wulan
3. Abdul Rachman
4. Raden Soeharto
5. Abu Hanifah
6. Raden Soekamso
7. Adnan Kapau Gani
8. Ramelan
9. Amir (Dienaren van Indie)
10.Saerun (Keng Po)
11. Anta Permana
12.Sahardjo
13. Anwari
14. Sarbini
15. Arnold Manonutu
16. Sarmidi Mangunsarkoro
17. Assaat
18. Sartono
19. Bahder Djohan
20. S.M. Kartosoewirjo
21. Dali
22. Setiawan
23. Darsa
24. Sigit (Indonesische Studieclub)
25. Dien Pantouw
26. Siti Sundari
27. Djuanda
28. Sjahpuddin Latif
29. Dr.Pijper
30. Sjahrial (Adviseur voor inlandsch Zaken)
31. Emma Puradiredja
32. Soejono Djoenoed Poeponegoro
33. Halim
34. R.M. Djoko Marsaid
35. Hamami
36. Soekamto
37. Jo Tumbuhan
38. Soekmono
39. Joesoepadi
40. Soekowati (Volksraad)
41. Jos Masdani
42. Soemanang
43. Kadir
44. Soemarto
45. Karto Menggolo
46. Soenario (PAPI & INPO)
47. Kasman Singodimedjo
48. Soerjadi
49. Koentjoro Poerbopranoto
50. Soewadji Prawirohardjo
51. Martakusuma
52. Soewirjo
53. Masmoen Rasid
54. Soeworo
55. Mohammad Ali Hanafiah
56. Suhara
57. Mohammad Nazif
58. Sujono (Volksraad)
59. Mohammad Roem
60. Sulaeman
61. Mohammad Tabrani
62. Suwarni
63. Mohammad Tamzil
64. Tjahija
65. Muhidin (Pasundan)
66. Van der Plaas (Pemerintah Belanda)
67. Mukarno
68. Wilopo
69. Muwardi
70. Wage Rudolf Soepratman
71. Nona Tumbel

Catatan:
·         Sebelum pembacaan teks Soempah Pemoeda diperdengarkan lagu"Indonesia Raya"
gubahan W.R. Soepratman dengan gesekan biolanya.
·         Teks Sumpah Pemuda dibacakan pada tanggal 28 Oktober 1928 bertempat
di Jalan Kramat Raya nomor 106 Jakarta Pusat sekarang menjadi Museum Sumpah
Pemuda, pada waktu itu adalah milik dari seorang Tionghoa yang bernama Sie
Kong Liong.
·         2 Golongan Timur Asing Tionghoa yang turut hadir sebagai peninjau
Kongres Pemuda pada waktu pembacaan teks Sumpah Pemuda ada 4 (empat) orang
yaitu:
a. Kwee Thiam Hong
b. Oey Kay Siang
c. John Lauw Tjoan Hok
d. Tjio Djien kwie

B.   Isi Sumpah Pemuda
Rumusan Sumpah Pemuda ditulis Moehammad Yamin pada sebuah kertas ketika Mr. Sunario, sebagai utusan kepanduan tengah berpidato pada sesi terakhir kongres. Sumpah tersebut awalnya dibacakan oleh Soegondo dan kemudian dijelaskan panjang-lebar oleh Yamin.
Sumpah Pemuda versi orisinal:
Pertama
Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.
Kedoea
Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.
Ketiga
Kami poetera dan poeteri Indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.

Sumpah Pemuda versi Ejaan Yang Disempurnakan
Pertama
Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia.
Kedua
Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.
Ketiga
Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

A.   Peserta
Para peserta Kongres Pemuda II ini berasal dari berbagai wakil organisasi pemuda yang ada pada waktu itu, seperti Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Batak, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, Sekar Rukun, PPPI, Pemuda Kaum Betawi, dll. Di antara mereka hadir pula beberapa orang pemuda Tionghoa sebagai pengamat, yaitu Oey Kay Siang, John Lauw Tjoan Hok dan Tjio Djien Kwie namun sampai saat ini tidak diketahui latar belakang organisasi yang mengutus mereka. Sementara Kwee Thiam Hiong hadir sebagai seorang wakil dari Jong Sumatranen Bond. Diprakarsai oleh AR Baswedan pemuda keturunan arab di Indonesia mengadakan kongres di Semarang dan mengumandangkan Sumpah Pemuda Keturunan Arab.

B.    Gedung

Bangunan di Jalan Kramat Raya 106, tempat dibacakannya Sumpah Pemuda, adalah sebuah rumah pondokan untuk pelajar dan mahasiswa milik Sie Kok Liong.
Gedung Kramat 106 sempat dipugar Pemda DKI Jakarta 3 April-20 Mei 1973 dan diresmikan Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin, pada 20 Mei 1973 sebagai Gedung Sumpah Pemuda. Gedung ini kembali diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 20 Mei 1974. Dalam perjalanan sejarah, Gedung Sumpah Pemuda pernah dikelola Pemda DKI Jakarta, dan saat ini dikelola Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata.
C.     Kontribusi Etnis Tionghoa
Para pemuda dari berbagai suku atau etnis pada hari itu mencetuskan Sumpah Pemuda untuk bersatu Tanah Air, bersatu bangsa, dan bersatu bahasa: Indonesia!
 
Jadi sejak semula, para pemuda itu sudah memiliki visi multikultural, visi menghargai keragaman atau pluralisme. Lalu, adakah kontribusi etnis Tionghoa dalam Sumpah Pemuda tersebut? Sejarah mencatat, kontribusi itu terlihat dari dihibahkannya gedung Soempah Pemoeda oleh Sie Kong Liong. Selain itu, ada beberapa nama dari kelompok Tionghoa yang duduk dalam kepanitiaan, di antaranya Kwee Tiong Hong dan tiga pemuda Tionghoa lainnya. Lebih dari itu, menurut banyak sumber sejarah, dalam hal bahasa Indonesia, kontribusi etnis ini sesungguhnya tidaklah kecil.
Semula etnis Tionghoa di Jawa khususnya lebih suka berbahasa Jawa. Namun kebijakan pemerintah Belanda dengan sistem tanam paksa (1830-1870) memutuskan sistem pas (passenstelsel) yang memisahkan orang Tionghoa dengan orang Jawa. Praktis, sejak saat itu, etnis ini mulai berbahasa Melayu yang menjadi cikal bakal bahasa Indonesia. Banyak pemikir dan generasi muda Tionghoa ketika itu juga lebih suka menulis dalam bahasa Melayu, baik wartawan maupun sastrawan.
Apalagi, surat kabar berbahasa Melayu juga mulai dicetak di percetakan yang hampir semuanya milik etnis Tionghoa, seperti Soerat Kabar Bahasa Melayoe (1856) dan Bintang Soerabaja (1860). Awal abad 20, terbit koran besar Pewarta Soerabaia, Sin Tit Po, dan Sin Po. Harian Sin Po adalah surat kabar pertama yang menjadi pelopor penggunaan kata Indonesia.
Lewat media bercorak Indonesia itulah, etnis Tionghoa sedikit banyak juga menggelorakan semangat kemerdekaan. Jadi bisa dilihat dalam perjuangan meraih kemerdekaan, paling tidak dari 1928 hingga 1945, etnis Tionghoa juga bahu membahu dengan etnis lain untuk mengupayakan kemerdekaan.
Dipinggirkan
Sayangnya, sejak negeri ini merdeka, perlahan tapi pasti, etnis Tionghoa justru dimarjinalisasi, bahkan didiskriminasi. Paling kentara di era Soeharto yang belakangan diusulkan diganjar gelar pahlawan nasional, meski banyak kalangan menolaknya (Surya, 25/10). Harus diakui, selama berkuasa (1965-1998), kebijakan Pak Harto justru sangat anti-Tionghoa. Memang Pak Harto ‘melahirkan’ beberapa konglomerat Tionghoa di masa itu, seperti Liem Sioe Liong dan Bob Hasan. Namun mereka tak lebih sebagai broker atau cukong (meminjam istilah Leo Suryadinata, pakar etnis Tionghoa dari National University, Singapura) dan menjadi sapi perah rezim berkuasa.
Kebijakan Pak Harto terhadap etnis Tionghoa dalam banyak hal memang mengadopsi kebijakan serupa di era penjajah Belanda. Jika masa Orba ada politik broker, masa kolonial juga menjadikan etnis Tionghoa sebagai penarik pajak dan menempatkannya secara berbeda sebagai warga Asia Timur Raya yang berbeda dengan warga pribumi. Dengan pass and zoning system, orang Tionghoa ditempatkan dalam ghetto (pecinan) dan jika akan keluar masuk kawasan, harus menunjukkan surat pass.
Bahkan, dalam beberapa hal rezim Soeharto justru lebih kejam daripada kolonial, karena Orba menerapkan kebijakan yang bisa disebut cultural genocide atau pembunuhan budaya Tionghoa. Jika Belanda masih mengizinkan perayaan Imlek, Orba malah melarangnya. Lewat Inpres No 14/1967, segala hal yang terkait dengan agama, kepercayaan, dan adat istiadat Tionghoa, terlarang dari muka umum. Barongsai atau liang liong harus sembunyi, huruf dan lagu Mandarin tak boleh diputar di radio. Sekolah-sekolah berbahasa Mandarin ditutup.
Menghargai
Pascalengsernya Soeharto (21 Mei 1998), presiden negeri ini seperti menyadari kekeliruan Soeharto terhadap etnis Tionghoa. Lewat spirit Sumpah Pemuda, mereka seolah meyakini Indonesia yang berdaulat hanya bisa berdiri tegak jika setiap komponennya (etnis atau agama) memiliki semangat dan visi multikultural yang menghargai keragaman dan perbedaan. Sikap memarjinalisasi jelas bertentangan dengan semangat Sumpah Pemuda.
Tak heran sejak Habibie, Gus Dur, Megawati, dan kini SBY, etnis Tionghoa diakui dan dijamin kesetaraan posisinya dengan anak bangsa yang lain dalam hukum Indonesia. Etnis Tionghoa bebas berpartisipasi dalam politik dan memainkan peran aktifnya dalam demokratisasi yang berlangsung. Di mana-mana juga muncul kegairahan etnis Tionghoa untuk ikut arus mainstream, berperan dan berkontribusi lebih besar bagi keharuman dan kejayaan Indonesia. Akhirnya kita sadar bahwa suku, agama, ras, antargolongan (SARA) sesungguhnya juga bisa menjadi modal untuk meraih kejayaan negeri ini.
Semangat Sumpah Pemuda jelas perlu terus dihidupkan oleh seluruh komponen bangsa guna menjaga dan merawat Indonesia yang kini menghadapi 1001 persoalan. Terlebih melapuknya patriotisme dan nasionalisme akibat gempuran globalisasi serta menguatnya kepentingan golongan, dan masih maraknya korupsi serta bangkrutnya penegakan hukum di negeri ini.
Kita yakin bila semua suku, etnis, elemen apapun di bangsa ini mau memberikan sumbangan positifnya, kita akan bisa meraih kejayaan, bukan Indonesia yang rusak karena tercerai berai akibat egosentrisme yang menonjolkan hanya etnis kita sendiri yang paling berkontribusi.
 
PENUTUP
A.   Kesimpulan
Sumpah Pemuda merupakan bukti bahwa pada tanggal 28 oktober 1928 Bangsa Indonesia dilahirkan, oleh karena itu seharusnya seluruh rakyat Indonesia memperingati momentum 28 oktober sebagai hari lahirnya bangsa Indonesia, proses kelahiran Bangsa Indonesia ini merupakan buah dari perjuangan rakyat yang selama ratusan tahun tertindas dibawah kekuasaan kaum kolonialis pada saat itu, kondisi ketertindasan inilah yang kemudia mendorong para pemuda pada saat itu untuk membulatkan tekad demi Mengangkat Harkat dan Martabat Hidup Orang Indonesia Asli, tekad inilah yang menjadi komitmen perjuangan rakyat Indonesia hingga berhasil mencapai kemerdekaannya 17 tahun kemudian yaitu pada 17 Agustus 1945.
B.   Saran
Keanekaragaman yang ada bukanlah penghambat bagi para pemuda pada zaman dulu untuk menyatukan visi dan misi mereka. Karena itulah kita harus mensyukuri keanekaragaman yang ada sebagai anugerah dan bukan untuk di perdebatkan sebagai suatu masalah.
Apabila para pemuda pada zaman dulu harus berjuang buntuk mencapai kemerdekaan, maka kita sebagai pemuda yang hidup pada masa kemerdekaan ini harus bisa mengisi kemerdekaan dengan hal-hal yang positf.
Dengan semangat sumpah pemuda mari kita bangun pemuda Indonesia yang kreatif dan mampu bersaing dalam dunia global.
DAFTAR PUSTAKA


http://id.wikipedia.org/wiki/Sumpah_Pemuda (diakses pada tanggal 18 April 2011)

www.museumsumpahpemuda.go.id ( diakses pada tanggal 18 April 2011)






Tidak ada komentar:

Posting Komentar